Takengen | Lintas Gayo – Alumnus ilmu politik dari Universitas Diponegoro Semarang (Undip) ini merupakan mantan ketua Panwas terbaik Aceh. Penghargaan dari Bawaslu RI itu, ternyata tidak membuatnya lolos kembali saat seleksi Panwas Kabupaten Aceh Tengah.
Mantan ketua Panwas termuda di Indonesia ini “tersingkir”. Persoalanya hanya sederhana, soal legalisir ijazah. Panitia menggugurkanya karena legalisir ijazah dosen Fisipol di Universitas Gajah Putih (UGP) ini, dileges oleh notaris.
DPRK Aceh Tengah (Komisi A) yang melakukan seleksi Panwas Aceh Tengah “menggugurkan” Yunadi HR, Sip, karena legalisir ijazahnya tidak dileges oleh badan resmi sesuai dengan surat Kementrian Pendidikan (Mendiknas no 81 tahun 2004).
Sementara Yunadi melegesnya di notaris yang juga punya dasar dan kekuatan hukum, sesuai dengan UU No 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Yunadi bertahan dengan aturan yang diyakininya, bahwa ijazah yang dilegesnya di notaris, adalah sah dan resmi secara hukum karena dikuatkan dengan undang-undang. Namun Yunadi digugurkan panitia seleksi Panwas Aceh Tengah yang berpedoman pada surat Mendiknas no; 81 tahun 2004.
“Bukan kita gugurkan, namun aturanya demikian. Panitia berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Tidak ada niat kami menggugurkan seseorang, namun semuanya ditentukan oleh peraturan yang berlaku,” sebut Tawar SE, Sekwan DPRK Aceh Tengah, ketika diminta media keteranganya.
Kontra versial penafsiran tentang persoalan ini bermunculan di media. Yunadi yang menjadi ketua Panwas termuda di Indonesia ini tersingkir dari “pusaran pertarungan politik yang tahapanya akan mulai digelar 2016 ini.”
Yun, panggilan akrabnya, manusia yang dikenal tegas saat Pilkada 2011 lalu. Bahkan dirinya menjadi saksi sampai ke Mahkahmah Konstitusi (MK) tetap dengan prinsip yang diyakini, benar sesuai fakta. Media ketika itu meramaikan persoalan Pilkada Aceh Tengah yang berlarut-larut, bahkan adu kekuatan, walau ahirnya Gubernur Aceh melantik Nasaruddin- Khairul Asmara ahir Desember 2012.
Catatan saat Pilkada, lelaki kelahiran 8 Februari 1979 ini sering mendapat ancaman. Bahkan saat dilangsungkan pertemuan dengan para kandidat di Gedung Ummi, Pendopo, Aceh Tengah, Yunadi tetap diserang dari berbagai pihak.
Seiring dengan perjalanan waktu, Yun beserta tim Panwasnya mengumpulkan data demi data dan mengungkapkan semuanya kepermukaan, tentang adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada, bahkan dia ahirnya bersebarangan dengan KIP Aceh Tengah.
“Saya tidak punya kepentingan di sini, saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan aturan. Kalau itu di luar aturan, saya tidak berani melakukanya. Bahkan dalam menegakkan kebenaran yang saya yakini, saya siap mati,” sebut Yunadi, ketika dilangsungkan pertemuan dengan para kandidat dan pendukungnya, serta Muspida Aceh Tengah.
Sikap Yun, yang kini sudah mulai menggemari petak 64 (catur) terbukti sampai di MK, dia tetap dengan prinsipnya. Sikap tegas dalam menegakkan aturan ini, membuat Yunadi mendapatkan penghargaan dari Bawaslu RI sebagai ketua Panwas terbaik Aceh.
Kini mantan ketua Panwas terbaik Aceh ini, kembali mengikuti seleksi proses calon Panwas. Namun dibabak awal dia sudah tersingkir. Persoalan ijazah yang dilegesnya jadi masalah, dimana menurut Dosen UGP sejak 2009 ini memiliki legalitas hukum, namun legal menurut Yun, tidak bagi panitia seleksi.
Walau telah mengajukan keberatan, namun dia tetap kandas. Muncul wacana ketika itu untuk dituntaskan ke Pengadilan agar ada keputusan yang legal. Namun Yunadi, tidak melakukanya.
“Kita ambil hikmahnya. Bila berperkara dalam soal ini banyak mudaratnya. Ada kesan seolah-olah saya ambisi jabatan di Panwas dan harus diluluskan. Selain itu yang akan digugat juga bukan orang lain, walau itu menyangkut tentang lembaganya,” sebut Yunadi.
“Allah sudah menggariskan hidup seseorang. Saya sudah berusaha, ijazah hasil perjuangan saya di Undip dileges oleh notaries. Bila kita panjangkan persoalan ini akan panjang, namun saya ambil hikmahnya. Ada apa dibalik ini, Allah yang maha tahu,” sebut Yunadi, ketika ditanya awak media.
Namun, Yun, akan tetap melakukan yang terbaik untuk daerahnya, khususnya dalam Pilkada nanti. Walau tidak lagi masuk dalam “pusaran”, dia keluar dari system, namun dia akan tetap berkarya dengan versinya, apalagi mengamati perkembangan politik di Aceh Tengah.
Tulisanya masih bernas tentang politik di negeri dingin ini. Dia akan menuangkanya ide dan pemikiranya serta fakta yang didapat di lapangan, dalam bentuk tulisan.” Berkarya itu tidak ada istilah berhenti,” sebut lelaki yang kini sudah gemar bermain kuda dan benteng saat melindungi raja dari gempuran lawan. (LG 001)
Berita Terkait :
Gerak Gayo: Gugurkan Calon “Cacat” Panwaslu