Sholat Subuh telah kami laksanakan, dengan hati masih berasa gusar, aku diseret-seret oleh adikku untuk pulang, karena iya tak tahan lagi menahan lapar.
“Ini baju buat mu ran, nanti di pakai ya?” Betapa bahagianya aku mendapatkan baju baru dari ibu, bergegaslah aku membuka baju dan celana saat itu juga dengan usiaku yang masih tiga belas tahun, aku ganti dengan baju yang aku kira ibu telah membelinya kemarin atau kapan, aku tak perduli yang penting baju baru telah ada untuk di pakai pada ulang tahun kawanku.
Sesampainya di sana, semua orang telah ramai nampaklah kawan-kawan SMP ku berjejer rapi duduk di kursi yang terbuat dari plastik, bewarna hijau.
Namun kenapa mereka tertawa melihatku? Apa yang salah denganku, apakah tampangku sama halnya seperti badut?.
Aku tak tahan lagi dengan tawaan mereka, dengan berlari sekencang-kencangnya aku pulang kerumah dan melepas pakaian baruku, aku ceritakan semuanya padanya, namun ibu hanya terdiam saja melihat ceritaku, aku pun tak mau mendengarkan komentarnya lagi, bergegaslah aku kekamar tanpa mau tau kenapa aku ditertawakan oleh yang lain.
Dua puluh satu tahun, delapan tahun setelah peristiwa itu aku sangat terharu dan mentertawakan diriku sendiri, dan barulah aku menyadari betapa bodohnya kala itu, aku malu dengan baju baru pemberian ibuku, ternyata malam disaat hujan itu ibu menjahitkan pesanan baju orang kaya, yang dari sisa baju itulah dibuatkan oleh ibu yang dengan cerdiknya mengambil sedikit-demi sedikit untukku, pantaslah baju itu berlengan pontong, dan bercelana sepaha.
Kalaulah aku tau dari mana asal baju itu maka tak ada lagi kata malu yang hinggap di hatikku kala itu (Bersambung)