Takengen | Lintas Gayo – Benarlah sangat kata – kata, “Jagalah lapang mu sebelum datang sempit mu, jagalah sehat mu sebelum datang sakit mu”. Kalimat diatas tentu menganjurkan kita untuk berhati – hati, dan berbuat maksimal dalam banyak hal dalam menjaga waktu dan kesempatan. Serta mensyukuri dan menjaga kesehatan, karena dua hal itu, kesehatan dan kesempatan akan mampu membawa manusia dalam kebaikan atau justru kealpaan.
Terngiang ungkapan tersebut, mengena langsung pada saya saat terbaring dalam pengobatan di rumah sakit datu Beru Takengen (30/05/2017). Kurang lebih seminggu yang lalu saya putuskan berobat dengan “Maestro dokter” dr Munadi,SpPD-KKV (Spesialis Penyakit Dalam-Konsultan Kardiovaskular) / Internist-Cardiologist.
Setelah sebelumnya saya “swalayan” berobat ke beberapa dokter internis/SpoG ( spesialis penyakit dalam) di seputaran Takengen. Beberapa dokter mendiagnosa saya dengan penyakit yang mendekati benar, akan tetapi dari 4 bulan yang lalu ada juga dokter yang analisa diagnosa dan keputusan penyakit yang disampaikan ke saya sangat kurang tepat dan jauh dari tepat. Jujur saya kecewa, dan ingin marah rasanya, karena kalau saya tidak ambil keputusan tepat justru agak fatal.
Akan tetapi terkadang, memaafkan itu lebih baik. Sambil terus berikhtiar. Baik secara medis dan Non medis saya tempuh. Sunnah nabi Muhammad SAW dengan ” Berbekam” saya jalani. Ruqyah Syar’iyah saya jalani. Karena penyakit bisa datang dari medis dan non Medis.
Diatas saya katakan saya putuskan berobat pada “Maestro dokter”, Munadi adalah keputusan yang tepat saya ambil menurut saya, paling tidak sampai saat ini.
” Mengobati pasien bukan persoalan sulit, akan tetapi yang paling sulit dan harus hati – hati adalah memastikan diagnosa pasien !. Agar benar – benar kita menyelesaikan akar persoalan dari penyakit dan berusaha mencari kesembuhan pasien”, ini kalimat yang saya dengar dari beliau saat pertama berobat dengan dr. Munadi di suatu kesempatan. ( Rabu 24/05/2019).
” Saya juga bekerja dengan passion (rasa/penjiwaan) sehingga tidak menjadi beban buat saya“, Tambahnya.
Dalam percakapan itu, dengan pasien yang lain, Munadi menjelaskan, Pasien harus ‘cerewet/cembebek’ bertanya dengan lugas pada dokter hal – hal terkait dan proses tindakan lanjut penanganan oleh dokter/tim dokter tehadap pasien. ” Pasien harus mau nanya, dan harus jelas, dimanapun berobat, dan dokter harus menjelaskan, kalau dokter tidak mau menjelaskan, ya berhentikan saja dokter itu, banyak koq dokter lain “, cetusnya bersungguh-sungguh. “Dokter itu dari kata doktrin ( menjelaskan/membagikan ilmu/menerangkan ilmu_kepada pasien). Jadinya dokter selain mendiagnosa dan memberi langkah tindak lanjut ke pengobatan ya juga membagi ilmu pada pasien”, ujarnya menjelaskan.
Hampir 45 Menit saya berkonsultasi dengan beliau, diperkuat dengan alat Echo yang tampak begitu familiar dengan dr.Munadi.
Saya jadi merasa wajar, kenapa begitu banyak pasien yang mengantri menunggu penangananya. Karena memang cara dia “mengobati” pasien yang selain dengan ilmu juga dengan hati.
Alangkah menyenangkan nya bila banyak dokter seperti beliau di negeri ini. Saya menjadi sedih juga, kenapa pemerintah daerah tidak menyekolahkan orang – orang pintar anak negeri ini untuk menjadi dokter – dokter handal seperti maestro dr. munadi, agar antrian baik di ruang Echo juga poliklinik rumahsakit tidak terus memanjang.
“Terlepas dari beberapa capaian positif yang ada, Pemerintah harus lebih serius dan lebih baik lagi dalam peningkatan layanan kesehatan, dan lebih radikal (ke akar persoalan), sehingga mutu pelayanan dan tingkat kesehatan masyarakat lebih baik”, harap Munadi.
Memang, kita harus menyakini, bahwa yang menyembuhkan, bukanlah si dokter, bukan pula obatnya. Melainkan Allah SWT. Dokter dan obat adalah perantara, hanya saja Rasulullah juga men Sunnah kan kita berobat, berikhtiar. Sekalian juga kita harus mawas diri, penyakit tidak semata mata ditafsirkan penyakit. Melainkan penyakit bisa juga teguran, peringatan atau juga bentuk kasih sayang Allah terhadap hambanya. ( Yunadi HR/LG 008).