Ketika ajakan ke Serule di tawarkan kepadaku, aku langsung mengiyakannya. Serule bagiku selalu menarik, menantang dan diselaputi misteri. Misteri ?, iya , misteri. Kenapa ?, karena Serule yang masuk dalam kalimat sakral gayo, “ Asal linge awal serule”, selalu mencari jawab akan makna dari kata filosofi itu.
Jumat (4/8) pekan lalu, perjalanan ke Serule dimulai. Ditemani mereka yang memang mahir berada di alam bebas untuk berbagai keperluan survey dan pendataan dari pegawai kantor Bappeda yang juga terlibat di olah raga federasi panjat tebing Takengen.
Perjalanan selepas Ashar itu, menggunakan mobil double gardan dan sebuah motor gunung. Jalan mulus hot mix Mendale-Serule , memasuki Utung – utung harus ekstra hati hati dan menakutkan bagi pengendara.
Betapa tidak, di lokasi ini , bekas longsoran yang memakan korban pengendara dan pemancing dibawahnya ini , jalannya masih bergelombang sehingga tak nyaman dan rata rata kenderaan menarik pedal gas di lokasi ini.
Jalan mulus yang dibangun dana asing dari Jepang ini , kini menjadi jalan utama menuju kawasan Gayo Lues yang sebelumnya menggunakan jalan Bur lintang, Isaq . Menurut pengendara, jalur Serule lebih dekat dan lebih nyaman.
Tiba dikawasan Serule, sudah senja. Jika dahulu pinus mercusi yang oleh masyarakat gayo disebut Uyem terlihat utuh, kini tidak lagi. Pinus pinus itu sudah dilukai di empat bagian sisi batang bawahnya untuk diambil getahnya.
Entah bagaimana metode pengambilan getah pinus seperti ini berlaku. Karena, pinus mercusi yang tumbuh di gayo dahulu pernah diolah Belanda hingga perusahaan Negara PNP. Namun metode pengambilan getah tidak seperti saat ini. Hanya dua sisi pohon pinus yang di lukai untuk diambil getahnya.
Di kawasan Atu Payung, sebuah tower komunikasi telepon seluler sejak lama sudah dibangun. Tapi entah kenapa , tower tersebut tidak dilanjutkan pembangunannya sehingga komunikasi terputus dengan dunia luar.
Pada tower yang dibangun disisi jalan tersebut tidak dilengkapi perangkat komunikasi seperti tower lainnya sehingga hubungan telepon biasa dilakukan , tapi untuk tower Atu Payung, hanya tower tok.
Perjalanan kami tidak berhenti di Serule. Tujuan utama adalah Gerfa. Hampir 50 menit perjalanan diatas tanah kuning dari Serule. Jalanan mulai meliuk dan dipenuhi rerumputan di sisi jalan. Serule hingga ke Gerfa adalah wilayah Peruweren.
Peruweren adalah istilah gayo yang menunjukkan bahwa tempat tersebut areal untuk beternak. Umumnya kerbau. Dulu, saat musim batu cincin, Gerfa adalah salah satu sumber batu untuk cincin seperti solar, nephrite dll.
Hingga tidak heran, setiap hari puluhan orang memenuhi kawasan sungai Gerfa untuk mencari peruntungan mencari batu mulia dijadikan cincin yang berharga mahal.
Dua buah tenda dibangun oleh tangan tangan cekatan yang sudah biasa hidup di alam bebas, seperti Bintik, Ajo, Kayu Kul, Salihin dan Konadi. Sebagian nama tersebut adalah nama alias yang dipakai pecinta alam yang bukan nama sebenarnya.
Derasnya sungai Gerfa yang mengalir jauh hingga ke Aceh Timur ini seolah menunjukkan kerasnya alam untuk disiasati agar bisa hidup berdampingan dalam keselarasan, bukan mengeruk keuntungan pribadi sehingga tidak arif berakhir bencana alam bagi masyarakat luas.
Setelah tempat mengaso aman, para pecinta alam yang tergabung di federasi panjat tebing ini cekatan memasak menggunakan peralatan standar gunung atau militer. Jika dahulu memasak menggunakan paraffin atau spiritus, kini sudah menggunakan tabung gas kecil.
Dan tentu saja semua kegiatan ini diawali ritual minum kopi Arabica gayo yang seolah sudah menjadi menu wajib sebelum dan sesudah makan. Bahkan tradisi minum kupi roasting arabika gayo tanpa gula ini berlangsung berkali kali, bisa sampai 5-8 kali tanpa terasa neq.
Setelah perut aman. Sungai gerfa mulai dijajal. Berbagai peralatan pancing keluar dari sarangnya. Termasuk berbagai jenis umpan yang diracik sendiri hingga menggunakan umpan binatang, seperti udang dan kerudik.
Tapi, malam itu , hingga dini hari Sabtu (5/8) berakhir tanpa strike. Namun di pagi Sabtu , setelah bangun , menggunakan umpan ikan kecil dari plastic yang berwarna menyala, Ajo yang juga disapa Lakun menarik dua ikan pedih yang mengejar umpannya. Pun begitu Bintik yang berhasil menangkap seekor.
Senyum lebar mengembang hari itu karena mendapat hasil memuaskan untuk sarapan siang yang diolah tangan Kayu Kul dengan menu andalannya “Masam Jing”. (Bersambung)