Tadi di situs Lintas Gayo dimuat sebuah berita yang mengabarkan bahwa Anda Suhada, putra mantan Bupati Aceh Tengah Mustafa M Tamy yang maju mencalonkan diri sebagai Bupati Aceh Tengah periode mendatang.
Dalam berita yang dirilis oleh situs Lintas Gayo tersebut http://www.lovegayo.com/7768/anda-syuhada-ingin-teruskan-13-terobosan-mustafa-m-tamy.html dikatakan :
“Atas kecintaannya kepada Aceh Tengah, Anda panggilan Akrab Anda Suhada M.M. Tamy ingin melanjutkan 13 terobosan program membangun Aceh Tengah yang pernah digulirkan oleh ayahandanya semasa menjabat dan membuat program-program baru untuk. 13 terobosan tersebut dilihat dinilai masih jalan ditempat dan belum maksimal pelaksanaannya.”
Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari seorang pembaca bernama Poen Van Labhang yang mengatakan :
Jangan…. Jangan….!!! Jangan terulang lagi perbuatan ni Ama’mu i takingen orom Terobosan 13 si nge munge.., genap nge selama ini kami murasakan apa yang telah di kerjakan oleh ama’mu pudaha, dan nge genap sep jere ni sumberdaya alam i Gayo yang belum patut/siap di lakukan pembangunan dan kami tereh kahe i tamah rusako mien ton pediangen ni kami orom anak dan kumpu’ni kami puren…!! dan genap kami berharap Misi ken kam hanya untuk “Munetahi si Rusak’ni Akibat Perbueten ni Ama’mu” dan para pemimpin si tengah berdediang i Gayo siloni. ini cocok Visi ken Kam:>> ” KELUMIT SIGERE MUKEMEL SEKIERNA ULUNG BEBARI GERE TAU DIRI.
Pernyataan Poen Van Labhang ini disambut oleh Ivan Rasyid dengan mengatakan :
Muninget ken Mustafa M Tamy…boleh jadi Mustafa M Tamy itu jelek…tapi sejelek jeleknya Mustafa M Tamy we nge berbuat adakah sebelum dan setelah Mustafa M Tamy lebih baik Ungkapkanlah kejelekan Mustafa M Tamy…tapi bandingkanlah dengan yg lainnya…..
Perdebatan di atas adalah cermin dari karakter khas orang Gayo yang jarang sekali bisa ditemui di suku-suku lain di Nusantara.
Gayo adalah Gayo. Suku ini tidak mengenal gelar Tuanku, Tengku, Datuk Masayu, Raden dan berbagai gelar Jawa yang begitu banyak dan rumit urut-urutannya, Andi, La, Wa, Gusti dan lain-lain yang merupakan gelar kebangsawanan yang biasa kita temukan di berbagai suku di Nusantara. Gelar yang membuat pemiliknya secara psikologis merasa lebih tinggi dibanding anggota masyarakat lainnya, sekaligus mengintimidasi anggota masyarakat lain untuk merasa lebih rendah dibanding anggota masyarakat lainnya.
Bahkan di masyarakat Aceh yang tinggal berdampingan dan saling berbagi peradaban dengan Gayo pun kita tidak menemukan karakter seperti ini. Di Aceh, meskipun tidak separah di Jawa. Kultur hirarkis berbau feodal ini masih terasa dalam masyarakatnya. Di Aceh, bahkan sampai hari ini kita masih bisa menemukan sekelompok masyarakat keturunan bangsawan bergelar Teuku. Bahkan yang sudah berpendidikan tinggi pun yang secara sadar masih menurunkan sikap ‘sadar kelas kepada anak keturunannya. Sampai hari ini kita masih bisa menemukan orang Aceh dari kelompok ini yang hanya mau menikah dengan perempuan yang bernama depan CUT.
Di Gayo semua orang secara sekilas tampak sama rata. Tingkat sosial orang Gayo tidak mungkin bisa kita ketahui dari nama yang di sandangnya. Kalaupun ada gelar penghormatan yang disandang oleh orang Gayo yang membuatnya terlihat lebih tinggi dari anggota masyarakat lainnya. Itu adalah gelar ‘Tengku’ dan gelar ‘Pang’. Tapi gelar ini bukanlah gelar yang didapatkan berdasarkan keturunan, gelar ini juga tidak bisa diwariskan. Karena ‘Tengku’ gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada pencapaian prestasi seorang individu dalam hal kedalaman ilmu dan ‘Pang’ adalah gelar yang diberikan untuk mengapresiasi keberanian seseorang.
Kenapa demikian?. Itu karena Orang Gayo adalah orang-orang yang terlahir sebagai KAUM REPUBLIKAN yang memandang semua orang sesukunya SETARA, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Seperti ditulis John Bowen dalam bukunya “Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989” “Gayo peoples; true republican; born egaliterian”.
Akibatnya, di mata orang Gayo, tidak akan pernah ada seorang pemimpin yang sempurna. Orang Gayo tidak pernah menganggap seorang pemimpin itu sebagai seseorang yang berkuasa secara penuh terhadap jiwa dan raganya. Sebagaimana seorang pemimpin dipandang dalam masyarakat feodal manapun di seluruh dunia.
Karena di mata orang Gayo, semua orang Gayo adalah setara. Kalau kebetulan sekarang ada orang Gayo yang menjadi pemimpin, orang Gayo tidak akan buta melihat kekurangannya. Kelebihan akan diakui, tapi kesalahan juga tidak akan dilupakan. Tapi anehnya, kalau pemimpinnya bukan Orang Gayo, orang Gayo relatif lebih toleran terhadap kesalahan.
Tapi kalau pemimpin itu adalah orang Gayo, jangan harap kesalahan tersebut akan pernah dilupakan. Sebagaimana orang Jawa mulai melupakan kesalahan Soekarno dan Soeharto. Jangan harap orang Gayo akan mengkultuskan seorang pemimpin seperti orang Aceh mengkultuskan Iskandar Muda, Daud Beureueh dan Hasan Tiro.
Seorang pemimpin bagi orang Gayo hanyalah orang yang diberi kepercayaan sementara untuk bertindak mewakili kemauan komunitasnya. Jadi jangan harap orang Gayo akan mengkultuskan pemimpin dengan gelap mata seperti yang dilakukan oleh orang Jawa bahkan Aceh.
Jadi siapapun yang berniat menjadi pemimpin di Gayo. Dia sudah siap menjadi pemimpin di Gayo, artinya kalau dia berbuat tidak sesuai dengan aspirasi orang Gayo yang dipimpinnya dia sudah siap menjadi sasaran hujatan orang Gayo sepanjang masa.
Mengingat semua calon bupati Aceh Tengah yang maju tahun ini adalah orang-orang Gayo yang sudah sangat paham karakter orang Gayo yang akan dipimpinnya. Konsekwensi seperti ini tentu sudah harus sangat mereka sadari.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo Warga Tangerang