tu

Johansyah*

Kata tu dalam bahasa Gayo merupakan akhiran yang menunjukkan perilaku atau perbuatan yang berlebihan dan kesan maupun akibat yang ditimbulkan kuran baik. Makna sederhana tu adalah terlalu, misalnya kayatu (terlalu kaya), lementu (terlalu lama), panetu (terlalu pandai), narutu (terlalu panjang),  kucaktu (terlalu kecil) dan tu lainnya. Barangkali ada kemiripan dengan bahasa Inggris yaitu too yang juga bermakna terlalu, seperti too arrogant, too bold, too long dan too lainnya.

Dalam situasi suhu politik yang kian memanas menjelang pilkada ini, setidaknya dalam menjalin relasi serta membangun komunikasi antar individu maupun kelompok kita harus mewaspadai sikap dan perilaku tu. Hal ini sesuai juga dengan anjuran Nabi Saw bahwa sesuatu yang lebih baik adalah pertengahan. Hal ini juga menuntut seseorang agar menjaga keseimbangan perbuatan atau perilaku sehingga tidak menimbulkan kesan negatif dan penyesalan.

Jika dipetakan, menjelang pilkada ini ada tiga kelompok yang menjadi semacam circle (lingkaran) yang berusaha menjalin komunikasi politik yaitu calon bupati/wakil bupati (Cabup/wabup), tim sukses (timses) dan masyarakat sebagai objek promosi atau sebagai ‘gadis’ yang didekati oleh cabup/wabup beserta timsesnya agar tertarik kepada mereka. Dalam proses pendekatan ini barangkali berbagai langkah akan ditempuh oleh calon maupun timses agar disenangi masyarakat sehingga perilaku yang dianggap tu (terlalu) juga di tempuh.

Jika ada calon yang mengatakan bahwa dia memiliki modal besar maka pasti dia akan menang, maka itu dianggap sepuhtu (terlalu sombong), atau ada calon yang tidak terlalu sibuk dengan mengadakan sosialisasi dan pendekatan, hanya berdo’a agar dipilih, maka itu dianggap selotu (terlalu santai), atau ada tipe calon yang tanpa modal dan persiapan dana serta tidak memiliki relasi yang baik dengan masyarakat, lalu pede menjadi calon, itu dianggap nekattu (terlalu berani).

Demikian halnya dengan timses, banyak yang menunjukkan perilaku-perilaku aneh, minsalnya dia sering mengatakan bahwa jika masyarakat memilih calon yang meraka usung maka jalan di sekitar kampung mereka akan diaspal. Dalam hal ini masayarakat jangat terlalu cepat percaya (pecayatu). Ada juga tim sukses yang mengatakan bahwa jika calon yang didukungnya terpilih maka dia akan meminta diangkat menjadi kepala dinas. Model ini dapat dikatakan sebagai sifat yang terlalu ambisi (nesutu). Ada juga timses memperlihatkan dengan sengaja bantuan yang diberikan kepadanya; misalnya sepeda motor, handpone atau sarana-sarana lain sebagai sarana pendukung yang disiapkan calon untuk dia. Orang model ini dapat digolongkan sebagai orang yang terlalu senang (senangtu).

Barangkali kita merasakan bahwa akhir-akhir ini memiliki kedekatan dengan salah satu calon; entah karena teman sekolah dulu, atau berkenalan di kantor, maupun diperkenalkan oleh timses. Sebaiknya kita berpikir untuk tidak terlalu dekat (dekattu), sebab jika calon tersebut terpilih mungkin kondisinya akan berubah drastis, atau bagaimana nanti kemudian setelah tidak terpilih.

Penulis merasa lucu, ketika mendengan calon legeslatif (caleg) beberapa tahun dulu gagal menjadi anggota dewan, dia menuntut kepada masyarakat agar apa yang diberikannya dikembalikan lagi kepadanya. Kalau kita sempat berkhayal, perilaku ini persis seperti perilaku anak-anak yang semula memberi kue kepada temannya, lalu memintanya lagi karena tidak mau ikut perintahnya (mukekekanaken).

Ada juga seorang caleg yang mencaci maki keluarganya sendiri karena tidak serius mendukungnya dalam proses pemilihan. Akibatnya kemudian hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi rusak. Ya, jika dipikir kenapa kita harus merusak hubungan kekeluargaan hanya karena gagal memperoleh kursi menjadi anggota dewan, bukankan kalaupun memperoleh kesempatan duduk menjadi anggota dewan durasi waktunya sangat singkat?. Selebihnya kita akan kembali kepada masyarakat dan berkedudukan sama seperti yang lainnya.

Sisi lain mengapa sifat dan perilaku tu perlu kita waspadai, sebab tidak sedikit dari para calon yang secara mental tertekan serta merasa perjuangannya sia-sia; dia telah mengeluarkan uang miliaran, bantuan-bantuan yang dibutuhkan masyarakat, akan tetapi ternyata semua itu hanya berbuah kekalahan. Mengapa hal ini terjadi, mungkin karena mereka ini telalu percaya diri (pedetu) bahwa dia akan menang.

Kita juga berharap jangan sampai timses maupun masyarakat memelihara sifat dan perilaku tu ini sebelum semua terjadi. Banggakanlah calon yang kita sukai, namun jangan terlalu bangga (banggatu), atau boleh saja kita membenci seorang calon lantaran Karena pernah menyakiti kita, namun jangan terlalu dibenci (gelitu). Makanya orang tua kita sering bilang, ike galak enti galaktu, ike gelipe enti gelitu (kalau senang sekedarnya, kalau benci juga sekedarnya).

Semua bentuk perbuatan menyangkut tentang apapun dan di manapu serta dengan siapapun sejatinya dibuat sedang-sedang saja, jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jarak. Silahkan dukung pasangan yang menurut kita baik dan mampu, namun jangan paksakan orang dengan ‘iklan-iklan’ kita yang sudah diselimuti ambisi.

Perhitungen

Agar tidak terjerumus kepada penyakit tu, maka sebaiknya kita harus mempunyai perhitungan (perhitungen); yakni melihat, menimbang, menganalisa dengan jeli dan memutuskan secara hati-hati dan cerdas agar setiap langkah dan keputusan yang diambil tidak terlalu beresiko dan tidak berbuah penyesalan. Kadang-kadang ada yang berprinsip bahwa pertimbangan tidak boleh lama, yang penting adalah ketegasan dalam bersikap. Namun sering kali juga cepat dalam mengambil keputusan tanpa pertimbangan akan berakibat buruk karena mukarattu, serapahtu atau mamangtu (terlalu cepat).

Perilaku terlalu menggambarkan sikap gegabah, ketidaksabaran dan pekerjaan yang menuntut hasilnya instant. Jika model berpikir seperti ini ditempuh maka penulis yakin hasilnya juga tidak akan pernah baik dan masimal. Sebaliknya, semua pekerjaan perlu perhitungan yang matang. Hal ini akan menunjukkan adanya proses kedewasaan berpikir seseorang yang memang tidak semua dapat melakukannya.

Akhirnya kita berharap kepada cabup/wabup jangan terlalu (dalam semua aspek), demikian halnya timses maupun masyarakat. Kita harus jalani semuanya dengan penuh kedewasaan dan kejernihan akal budi. Sebab hasil yang baik hanya akan lahir dari proses yang berkualitas. Jangan ‘terlalu’ dalam segala hal agar tidak menimbulkan ketidakselarasan, perpecahan, kekecewaan dan penyesalan.

*Penulis adalah mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.