Oleh: Marah Halim*
Sebulan dalam setahun, Allah memberi kesempatan kepada orang-orang yang benar-benar beriman kepada-Nya untuk melakukan pembersihan diri. Pintu kasih sayang dan taubat dibuka selebar-lebarnya, sedang pintu kemarahan (neraka) ditutup serapat-rapatnya. Konon, setan-setan yang sebelum Ramadhan bebas menggoda manusia, maka dalam Ramadhan ini dibelnggu oleh Allah agar tidak bebas berkeliaran. Jadi, Ramadhan adalah kesempatan untuk bersih-bersih diri, lahir dan batin.
Ramadhan mungkin dapat dianalogikan dengan momen “pengampunan” yang diberikan Presiden kepada para narapidana atau tahanan politik pada setiap peringatan hari kemerdekaan negara. Kalau Presiden berhak memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, maka Allah dengan kebesaran-Nya memberikan rahmah (kasih sayang, grasi), maghfirah (ampunan, amnesti), ‘itqu minannar (bebas dari api neraka, abolisi dan pembersihan pada hari raya Idul Fitri (rehabilitasi). Tahapan-tahapan ini seolah-olah sengaja diberikan oleh Allah agar kita tidak sungkan memasuki Ramadhan.
Tahap pertama adalah rahmah, kasih sayang. Allah telah menyeru orang beriman agar mereka memasuki bulan Ramadhan dengan wajah berseri-seri seraya mengucapkan “Marhaban ya Ramadhan”. Allah Maha Tahu jika hamba-Nya tidak luput dari dosa. Hamba yang berdosa pasti merasa takut kepada Allah, karena itu Allah menyediakan pintu rahmah agar mereka tidak sungkin dan segan memasuki ramadhan.
Ramadhan, adalah momen dimana Allah memberikan grasi, amnesti, abolisi, serta rehabilitasi kepada mereka-mereka yang bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan. Karena itu, amat disayangkan jika masih ada di antara kita yang menyia-nyiakan kesempatan itu. Merujuk kepada hadits dan ayat di atas, hakikatnya, kita semua adalah “para narapidana berlumur dosa” di hadapan Allah SWT. Jika para napi sangat merindukan saat-saat pembebasan itu, mengapa orang yang berdosa tidak gembira dengan kesempatan pembersihan jiwa itu. Allah SWT sendiri seolah mempromosikan kemuliaan bulan Ramadhan dengan memuji bulan itu sebai lebih baik dari seribu bulan. Umur seorang anak manusia pun mungkin tidak sampai seribu bulan.
Sebuah hadits Qudsi mengatakan bahwa setiap anak Anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang tahu diri, yang menginsafi dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Melakukan kesalahan memang sudah fitrah manusia, karena itu tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa. Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar kita selalu mengikuti keburukan apapun yang kita lakukan dengan melakukan kebaikan. Dosa sekecil apapun, kalau itu rutin dilakukan, pasti menjadi dosa besar juga. Mustahil, dalam sebelas bulan pra-Ramadhan, tidak ada dosa yang kita lakukan. Karena itu, setiap menjelang Ramadhan, setiap pribadi muslim dianjurkan untuk melakukan introspeksi diri, melakukan penilain, sejauh mana kesalahan dan kekeliruan yang telah pernah kita lakukan.
Pembersihan diri dalam perspektif Islam sangat berbeda dengan perspektif agama lain. Islam tidak mengenal lembaga tertentu sebagai wasilah untuk mendapatkan pengampunan seperti yang terdapat dalam agama Kristen. Islam juga tidak mengenal pembersihan diri dengan mandi di Sungai Gangga seperti yang dilakukan oleh umat Hindu. Dalam Islam, siapa yang melakukan pelanggaran dan tersesat, larut dalam keadaan itu, maka dia sendirilah yang harus memperbaikinya dengan bertaubat. Arti taubat adalah kembali, maknanya kembali kepada rel yang telah digariskan oleh Allah.
Fase yang ketiga dari Ramadhan adalah pembebasan dari api neraka (’itqumminannar). Fase ini setelah melewati fase sebelumnya, rahmah dan maghfirah. Kalau seseorang sudah mendapat rahmat dan ampunan dari Allah, maka logikanya ia akan dibebaskan ancaman api neraka.
Fase-fase Ramadhan dari rahmah, maghfirah dan ’itq minannar bukanlah fase yang dilalui tanpa ada syarat. Syaratnya adalah peningkatan kualitas ibadah dan pengahayatannya dari hari demi hari selama Ramadhan. Fase-fase itu ibarat tangga yang tidak mungkin tidak dilewati. Kita bisa mencapai anak tangga terakhir dengan syarat kita bisa menjejak kaki di tangga sebelumnya, karena itu sejak anak tangga yang paling bawah sampai anak tangga yang ketiga puluh tidak boleh ada yang patah, sebab kalau patah maka akan menyulitkan langkah untuk mencapai anak tangga berikutnya. Salah sekali jika ada yang memilah dan memilih hanya sepuluh hari terakhir sebagai hari yang diisi dengan serius, sementara dua puluh hari sebelumnya dianggap tidak penting. Yang benar adalah dari awal serius, makin berlalu hari Ramadhan semakin serius, dan puncaknya adalah shalat ’ied sebagai simbol kemenangan jiwa.
Semoga di Ramadhan 1432 H ini amalan kita semakin baik secara kualitas dan semakin banyak secara kuantitas. Amin ya Rabb al-’Alamin.
*Widyaiswara BKPP Aceh