Sang Petualang “Penambal Jalanan”

Warna Vespanya mulai legam. Kondisinya, tidak lagi seperti dua puluh tahun lalu. Berkilat dan selalu di sentuh dengan kain, walau tidak kotor.

Pagi itu, sekira Pukul 7.15 WIB, dirinya sudah mulai memanaskan vespa bututnya. Aktifitas ini dilakukannya hampir setiap pagi, kecuali hari Minggu.

Maklum, sang istri tercinta bekerja sebagai seorang guru, di salah satu Sekolah Dasar di pinggiran Danau Laut Tawar.

Firdaus Khalid, demikian masyarakat memanggilnya. Ukuran tubuhnya hanya 155 centimeter dan umur memang sudah sedikit larut 61 tahun. Namun, jangan tanya semangatnya. Ketegaran dalam menjalani hidup selalu di hadapinya dengan berdoa.

“Hanya dengan shalat dan berdoa kita bisa menyelesaikan masalah hidup ini”, papar Firdaus satu waktu kepada Lintas Gayo.

Pagi itu, seteguk kopi telah membasahi tenggorokanya. Lalu sang Istri dengan mengenakan pakaian seorang guru dengan kacamata minus langsung menempel di belakang Firdaus, dengan sedikit memegang erat perawakanya yang langsing milik Daus, panggilan sehari-harinya.

Dirinya paling tidak bisa suka melihat, bila ada badan jalan raya yang di potong oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar Aceh Tengah sehingga menggangu perjalannya saat mengantar istri ke sekolah. Memang belakangan PDAM sering membelah badan jalan untuk memasang pipa, namun setelah itu tidak di benarkan.

“Mereka bekerja sesuka hatinya”, gerutu Daus, sambil menghisap dengan berbagai merek dalam satu bungkus, malam ketiga bulan Ramadhan pekan lalu.

Usai mengantarkan istri tercinta, Daus memang tidak pulang langsung ke rumah untuk mengurusi dua anak gadisnya yang sudah sekolah di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun dirinya kembali ke jalan yang telah dilaluinya.

Usahanya ternyata untuk melakukan penambalan terhadap badan jalan yang sudah berlubang tadi. “ini pekerjaan mulia”, kata Daus. Hal ini memang bukan baru sekarang dilakukanya. Beberapa tahun belakangan, Daus memang sudah sering melakukan kegiatan beramal ini.

Dalam melaksanakan tugasnya, Firdaus, hanya membutuhkan bongkahan aspal yang telah di buang, dan mencari satu jerigen oli bekas dari beberapa bengkel. Dirinya bekerja hanya sendiriaan, tanpa tukang atau konsultan yang mendampinginya.

“Oli bekas ini untuk perekat aspal jalan yang sudah di bongkar tadi”, jelas Daus, di jumpai Lintas Gayo  saat sedang melakukan “Proyek amalnya”, di jalan seputaran Rumah Sakit Datu Beru Takengen pekan lalu.

Selain bekerja tanpa pamrih, dalam membantu penguna jalan dengan menimbun badan jalan yang rusak, pria kelahiran salah satu dusun di pinggiran Kota Takengen ini, selalu memberikan petuahnya kepada sahabat-sahabatnya.

“Jangan banyak macam-macam, dengan satu macam saja hidup ini sudah susah”, begitu kalimat yang sering kali keluar dari mulutnya, jika ada sahabatnya yang di timpa masalah.

Artinya bagi Daus, jalani hidup ini dengan satu macam, yaitu dengan shalat. “Hanya itu yang buat kita hidup damai”, katanya lagi. Walau tak jarang Daus yang semangatnya layaknya anak berumur belasan tahun ini, harus tidur di Masjid, karena pintu rumah sudah di kunci sang Istri. Semangat bergerilya dalam beramal selalu tanpa ada rasa lelah dilakukanya.

Selain kegiatan beramal tadi. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebagai kepala keluarga Daus, juga mempunyai keahlian yang sudah puluhan tahun digelutinya, walau dengan cara otodidak, yaitu sebagai Fotografer lepas di Aceh Tengah-Bener Meriah bahkan Banda Aceh sekalipun.

Beberapa instansi pemerintah, pengusaha perhotelan, tokoh perpolitikan sampai petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Aceh, sudah tidak asing dengan penampilan sosok Daus yang ramah dan bersahaja. Dengan tubuh kecil, sebuah tas tergantung di belakang badan dan kamera selalu siap membidik segala moment. Siapa saja pasti terkejut saat wajah lucu kita sudah tercuci dengan hasil sangat bagus.

Demikian ungkap Samsul salah seorang guru Silat di Takengen, dirinya kaget saat Daus mengantarkan hasil foronya ke rumah. “Bagaimanapun saya harus bayar mahal hasil karya, Daus”, jelas Samsul.

Jangan tanya apa isi tasnya, didalam lengkap segala perbekalan mandi dan tidak ketinggalan sebuah sarung serta Sajadah, untuk yang satu itu dimanapun dirinya mendengar suara Azan, tanpa perintah dirinya mengambil Air Wuduk.

Sebuah kamera selalu terjinjing di bahunya, kemanapun dirinya melangkah. Baginya kamera adalah “istri kedua”. Dirinya tidak pernah canggung menghadapi momen apa saja yang tengah berjalan.

Di Sabang saat ada even Balap Sepeda Gunung, Daus tidak mau ketinggalan selalu hadir untuk mengambil mengabadikan momen itu, kebetulan juga saat itu anak-anak sepeda dari Takengen juga menghadiri acara tadi. Daus seizin ketua tim atlit sepeda Takengen, Khalisuddin mengijinkan untuk bersama.

Sepulang dari turnamen balap sepeda Sabang. Daus yang sudah “larut” mencoba untuk bersepeda ria di Banda Aceh. Namun apa, sepeda yang dikendarainya di hantam oleh sepeda motor di kawasan Ulee Kareng. “Pelak sebelah kiri saya rusak”, maksudnya kaki sebelah kirinya, posisi lutunya bergeser dan sempat di rawat inap di RS. Zainal Abidin beberapa hari.

Dirinya bekerja tidak pernah mengharap imbalan, apalagi untuk kepentingan masyarakat luas. Baginya hidup ini sangat indah dengan aturan yang telah tertulis di dalam Alqur`an, lalu mengapa kita mengingkari kehidupan ini dengan berdusta akan kebesaran ALLAH, ungkapnya. (A Mude Sastra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Saluut selamat berjuang bang Daus, setelah mengalami sakit yang berkepanjangan asset daerah ini bangkit kembali bahkan lebih semangat dari sebelumnya. jaga kesehatan bang, karyamu akan di kenang oleh masyarakat ini…………….