Lautan Jenazah Yang Terlupakan

Lautan Jenazah Yang Terlupakan

Oleh : Martha Andival

Entah mengapa, peringatan tsunami kali saya seperti kembali melihat wajah Supriadi. Malam itu, Jum’at, 20 Juni 2009. Supriadi melemparkan semua keluh kesahnya sebagai pelukis. Bagaimana Ia menggoreskan cat minyak diatas kanvas, dari lautan jenazah yang memenuhi Banda Aceh pasca tsunami hingga menuju Istana Presiden di Jakarta untuk menyerahkan hasil karyanya kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Lukisan itu berjudul Lautan Jenazah,” kata Supriadi kepada saya.

Supriadi bersama SBY
Supriadi bersama SBY

Malam itu, dengan cekatan lelaki 38 tahun tersebut mengeluarkan dua buah sertifikat dari sebuah amplop berwarna coklat dan menyerahkan kepada saya, bahwa lukisan Lautan Jenazah benar-benar ada. Kedua sertifikat itu berstempel Istana Presiden dan Museum Indonesia atas lukisan Lautan Jenazah yang dibawanya ke Jakarta dengan air mata.

Ditemani secangkir teh hangat, ia hanya memandang bintang di angkasa bersama malam yang terus menanjak. Asap rokok terus menerus menyembul dari bibirnya.

Setelah memejamkan kedua matanya, ia mulai bercerita perjalanan hidupnya bersama lukisan Lautan Jenazah. Malam panjang yang selalu dilaluinya untuk mencari jalan keluar untuk menyiapkan keberangkatannya ke Jakarta, Istana Negara Kepresidenan. “Kamana lagi harus meminta dukungan,” ujarnya lirih dalam hati.

Bingung dan panik, demikian yang tengah dirasakan Supriadi saat itu. Undangan Presiden SBY merupakan cita-cita lama. Namun, saat cita-cita itu telah ada ditangannya, justru kegalauan yang dirasakannya.

Sebagai pelukis jalanan, Supriadi tentu bukanlah seorang seniman kaya. Apalagi, ia harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah, bukanlah perkara mudah mengumpulkan uang dalam waktu sekejap.

Akhirnya, setelah mendapat persetujuan sang istri, Supriadi menjual benda-benda berharga miliknya. Tidak lain untuk memenuhi undangan SBY. Menyerahkan “Lautan Jenazah”.

Itulah sepenggal kenangan yang dikatakan Supriadi kepada saya.
Ada rasa haru yang membuncah saat ia melalui awal perjalanannya bersama “Lautan Jenazah”. Dari Ulee Lheu Banda Aceh menuju Istana Presidenan di Jakarta pada Januari tahun 2006 lalu.

Supriadi menambahkan, saat tsunami menerjang Aceh akhir tahun 2004 silam, dirinya menuju Banda Aceh untuk mencari dan membantu anggota keluarganya yang menjadi korban. Salah satu adik kandungnya meninggal bersama ratusan ribu korban tsunami lainnya.

Berbulan-bulan di Banda Aceh, ia masih selalu terpikir apa yang harus diberikan untuk Aceh dan negara.

Suatu malam, disaat duduk sendiri. Sebuah inspirasi berkelebat di kepalanya. Mengapa tidak membuat lukisan, sedang dirinya seorang pelukis. Saat itu, sebut Supriadi, dirinya tidak memiliki uang. Walau pernah mencoba meminta bantuan kepada pejabat-pejabat di Banda Aceh, tapi semuanya tidak ada yang memberi.

Akhirnya, berkat jasa teman-teman yang rela merogoh dompetnya, ia membeli kanvas (kain belacu) seukuran 4,5 x 2,5 meter dan beberapa kaleng cat.

Setelah semuanya terkumpul, Supriadi mulai menggerakkan kuas-kuas diatas kanvas. Tembok dinding belakang Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh dijadikannya sebagai penyangga. “Saya selesaikan lukisan itu dalam waktu tiga bulan. Bahkan, salah seorang pegawai RS Ibu dan Anak sempat mengira jika saya seorang kuli bangunan,” kata Surpiadi.

Pada 26 Desember 2005, peringatan setahun tsunami digelar. Atas inisiatif sendiri -tanpa bantuan dan sumbangan siapapun termasuk Pemerintah Aceh- Supriadi ikut memajangkan lukisannya pada pameran tsunami di Ulee Lheu. Saat itu, Presiden SBY ikut menghadiri peringatan setahun tsunami tersebut.

Diantara ribuan pengunjung, SBY sempat berhenti dan tertegun melihat lukisan Supriadi yang terpampang diantara lukisan lainnya.

“Apa judul lukisan ini,” tanya SBY kepada Supriadi, setelah mengetahui dirinya pemilik lukisan tersebut.

“Lautan Jenazah” jawab Supriadi.

“Setelah pameran ini, akan dibawa kemana lukisan itu,” tanya SBY lagi.

“Akan saya serahkan untuk negara,” kata Supriadi mantap.

“Tolong bawa lukisan ini ke Istana Negara di Jakarta,” pinta SBY.

Supriadi masih ingat, bagaimana pejabat Aceh saat itu meminta nomor telepon dan berjanji memberi dukungan. Supriadi semakin percaya usahanya tidak akan sia-sia. Lautan Jenazah akan menjadi aset negara.

Namun sayang, semuanya hanya janji-janji. Nyatanya, hingga hari ini tidak ada satupun pejabat yang memberikan dukungan. “Padahal saya bukan minta uang,” ujar Supriadi.

Bersusah payah Supriadi mendatangi kantor-kantor dinas di Banda Aceh, akan tetapi tidak satupun yang siap membantu biaya keberangkatannya ke Jakarta. “Panik luar biasa. Saya telah mencoba mendatangi pejabat-pejabat di Aceh agar dapat membiayai keberangkatan saya ke Jakarta. Akan tetapi semuanya diam tanpa memberi solusi,” kenangnya.

Uang penjualan barang-barang berharaga miliknya akhirnya menjadi ongkos keberangkatan ke Jakarta. Sendiri tanpa ditemani istri atau famili lainnya.

Sesampainya di Jakarta, Supriadi segera melapor ke Istana Presiden perihal maksudnya tersebut. Pihak Istana menerimanya dan membuat janji, bahwa ia harus menunggu dua bulan untuk bisa bertemu langsung dan menyerahkan “Lautan Jenazah” kepada SBY.

Selama dua bulan di Jakarta -sambil menunggu panggilan ke Istana- Supriadi kembali menjadi pelukis jalanan. Menjual hasil lukisan untuk kebutuhan hidup. Dua bulan berselang, hari-hari yang ditunggu itu datang juga. Ia menuju istana dengan baju kiriman sang istri di Takengon.

Anehnya, saat berada di Istana Negara, justru ia melihat Gubernur Aceh (saat itu dijabat PJS Mustafa bubakar) bersama pejabat-pejabat Aceh sudah hadir di Istana.

Ia sempat ingin menitikkan airmata membandingkan perjalannya ke Jakarta. Bagaimana ia harus berjuang untuk mencapai istana dengan menjual barang-barang berharganya, mendatangi satu persatu kantor dinas, namun tidak ada yang peduli. Akan tetapi, mengapa disaat penyerahan “Lautan Jenazah” justeru mereka ada di Istana Negara.

“Mereka tidur enak di hotel, sedangkan saya sebagai pemilik Lukisan yang akan diserahkan kepada Istana hanya tidur menumpang dirumah teman dan menjadi pelukis jalanan untuk bisa makan. Sedih tentu, tapi apa mau dikata. Karena sudah digariskan seperti itu,” kata Supriadi berkaca-kaca.

Dihadapan para pejabat Aceh itu, SBY mengamanahkan Supriadi untuk menemui mereka sesampainya di Aceh untuk mendukung program saya kedepannya terkait seni lukis ini.

Anehnya, setelah mereka melihat penyerahan “Lautan Jenazah” yang diterima langsung oleh presiden SBY, disaksikan Andi Malaranggeng dan Widodo AS, tidak ada satupun pejabat Aceh itu yang mengajak Supriadi untuk membangun seni di Aceh, apalagi memberikan uang sumbangsih atas biaya kepulangannya ke Aceh.

Harapan tinggal harapan. Sesampainya di Banda Aceh, Supriadi menemui PJS Mustafa Abubakar di Pendopo. Saat itu gubernur berjanji membangun sanggar seni Aceh yang diusulkan Supriadi atas bantuan dana dari lsm asing. Nyatanya, semua hanya omong kosong.

Begitupun saat menghadap Kuntoro di Kantor BRR Leung Bata Banda Aceh, Surpiadi hanya menerima uang dari lukisan yang dijual kepada Kuntoro seharga tiga juta rupiah. Padahal ia tidak meminta uang.

Harapan Supriadi kembali besar, saat Gubernur Aceh berganti. Ia mencoba menjumpai Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar. “Beliau memberi nota kepada saya untuk menjumpai Adnan Madjid, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata saat itu. Saya berpikir, nota tersebut tentu akan menjadi pertimbangan dan pasti akan disetujui. Nyatanya sama saja. Nihil.” Kata Supriadi.

Aceh Dalam Sejarah

Selain lukisan Lautan Jenazah, beberapa lukisannya juga diminta pejabat-pejabat di Jakarta, seperti Syamsul Siregar, Wiranto, Fachrul razi dan pejabat lainnya. Serta dua sertifikat sebagai penghargaan hasil karyanya. Sertifikat Istana Negara dan Sertifikat Museum Indonesia.

Surat Tanda Terima
Surat Tanda Terima dari Istana Negara

Lahir di Montasik Aceh Besar, September 1965. Supriadi kecil tumbuh dan berkembang di Medan Sumatera Utara.

Keluarganya merantau ke Medan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Bersama sang ayah, Jahruddin, dan ibu, Cut Habibah (Almarhum) ia memulai kehidupan baru di Medan tepatnya di Jalan Serdang Gang Sado. Saat itu, keluarganya menumpang pada salah seorang warga keturunan jawa, Slamet (kemudian menjadi ayah angkatnya).

Ayah Slamet, demikian Supriadi memanggil, tidak memiliki keturunan sehingga dirinya diangkat menjadi anak.
Pendidikan, mulai Sekolah Dasar (SD) hingga SMA ditamatkannya di Medan.

Seni lukis telah menjadi darah dagingnya sejak kecil. Tiada hari tanpa menggambar. Bahkan, para guru sekolah merasa heran melihat Supriadi. Dimanapun berada, tangannya selalu mencoba menyatukan titik demi titik menjadi sebuah gambar. Hal itu ternyata tidak sia-sia. Buktinya, Supriadi kecil pernah meraih Juara II pada sebuah perlombaan melukis untuk sekolah dasar di Medan waktu itu. Kegemarannya melukis tidak pernah berhenti hingga ia menamatkan SMA.

Setamat SMA, kondisi perekonomian keluarga semakin berat. Apalagi, sepeninggal ibunda tercintanya yang telah berpulang ke Rahmatullah. Membuatnya semakin yakin untuk segera merantau meninggalkan Medan.

Akhirnya, di awal tahun 1983, Supriadi merantau ke Jakarta atas doa restu keluarga. Tidak ada uang dan family yang siap menampunya di Jakarta. Hanya modal tekad dan keyakinanlah yang mengantarnya ke Jakarta.

Untuk biaya keberangkatan, Supriadi menggadaikan ijazahnya di loket Bus ALS di Medan. “Sampai saat ini ijazah saya masih belum saya ambil. Saya tidak tahu apakah masih ada atau sudah hilang. Karena memang sudah lama sekali,” ujar Supriadi tersenyum.

Kebutuhan makan selama perjalanan ke Jakarta, Supriadi hanya berharap belas kasihan para supir dengan cara mencuci bus yang ditumpanginya. Setiap bus berhenti untuk istirahat, ia mencuci dan membersihkan dalam bus saat penumpang lainnya mandi dan makan.

Sesampainya di Jakarta, Supriadi menjadi pelukis jalanan. Uang hasil jerih payah melukis itulah yang ia gunakan untuk mengontrak sebuah kamar dan menutupi biaya hidup sehari-hari. Selama menjadi pelukis jalanan di Jakarta, Supriadi mengaku hanya beberapa kali menerima hasil penjualan lukisan yang lumayan.

Namun, kebahagiaan yang ia dapatkan selama di Jakarta adalah saat ia berjumpa langsung Affandi, Hardi, Barli dan anaknya Agung. Saat itu, ada pameran lukisan di Gedung NISP, para pelukis jalanan seperti dirinya diundang untuk melihat pameran tersebut. “Kami sempat berbincang-bincang dengan maestro-maestro lukis Indonesia tersebut,” kenangnya.

Perjalanan terus melaju. Pada tahun 1989, Supriadi menemukan jodohnya, Marlis Dara. Seorang gadis dari dataran tinggi Gayo, Takengon.

Dari pernikahan itu, Supriadi dikaruniai 3 orang anak, 2 putra satu putri. Anak pertamanya, Azza Afrissaufa –saat ini kuliah di LP3i Banda Aceh- pernah mewakili Provinsi Aceh sebagai duta pelajar dan bertemu Presiden SBY di Jakarta.

Sejak tahun 1990, dia menetap di Takengon dan bekerja serabutan menjadi pelukis lepas. Melukis pamflet dan dinding sekolah merupakan pekerjaannya untuk membiayai kebutuahn hidup keluarga.

Supriadi mengaku lelah berharap dan meminta dukungan. “Biarlah saya mengumpulkan uang sendiri. Saya sedang menyiapkan frame lukisan “Aceh Dalam Sejarah”. Mudah-mudahan lukisan ini bermanfaat,” ujar Supriadi.

Saat ini, dirinya tengah menyelesaikan 60 buah kanvas seukuran 1 hingga 2 meter untuk “Aceh Dalam Sejarah”.

“Semoga dari frame “Aceh dalam Sejarah” ini, dapat dilelang untuk membantu anak-anak korban tsunami yang masih banyak tinggal dipanti-panti,” tutur Supriadi.

Itulah kenangan pelukis jalanan, Supriadi. Kepada saya, ia berharap lukisan “Aceh Dalam Sejarah” dapat diselesaikan walau berat.

Saya terdiam. Tsunami enam tahun tlah berlalu. Hati ini masih berharap dapat melihat, bagaimanakan bentuk lukisan “Lautan Jenazah” itu. Apa yang menarik dari lukisan itu hingga Presiden SBY berhasrat untuk memiliki lukisan tersebut.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.