Jakarta | Lintas Gayo – Di tengah padatnya jadwal kerjanya sebagai wakil rakyat, Nova Irinsyah, Anggota DPR RI asal Aceh masih sempat meluangkan waktu kepada tamu-tamunya, termasuk Lintas Gayo. Pahadal, saat yang bersamaan, Nova sudah memiliki jadwal rapat dimana teman-temannya sudah meninggu di pelataran parkir Senayan.
Alhasil, Nova pun harus dengan segera meninggalkan Kompleks Parlemen Senayan. Pun demikian, Nova tetap menyambut Lintas Gayo dengan ramah, bersahaja, lemah lembut, dan bersahabat meskipun dengan waktu yang cukterp batas. Tidak berhasil ditemui di ruangannya, lantai 21 Gedung DPR RI, akhirnya, Lintas Gayo berhasil menjumpai putra Nurdin Sufi [Bupati Aceh Tengah Periode 1970-1974] ini di Café Begawan Solo, Lantai I Gedung DPR RI, Jum’at (4/11/2011).
Beberapa waktu yang lalu, di pelbagai media, khususnya di Aceh, santer diberitakan bahwa Nova—sapaan Nova Iriansyah—positif maju sebagai kandidat Wakil Gubernur yang berpasangan dengan Muhammad Nazar, S.Ag. Penetapannya pun begitu menghentak publik. Betapa tidak, Jum’at, pukul 21.00, surat penunjukkan dan penetapan Nova sebagai pendamping Nazar baru keluar dari Partai Demokrat. Sementara, pukul 00.00 batas terakhir penutupan pendaftaran Calon Gubernur/Wakil Gunernur Aceh.
Di situs berita Lintas Gayo, sebelumnya diberitakan, majunya pasangan ini turut menoreh sejarah baru dalam dunia perpolitikan di Aceh. Betapa tidak, pertama: kedua pasangan ini terbilang masih “pasangan” muda. Nazar—panggilan Muhammad Nazar yang tidak lain Wakil Gubernur Aceh sekarang—lahir tahun 1973. Sementara itu, Nova Iriansyah, lahir tahun 1963.
Walau terpaut sepuluh tahun, mereka—Nova-Nazar—terbilang anak muda yang berprestasi di masanya. Sebab, di usia seperti itu, mereka telah mencapai karir politik yang tidak semua orang dapat meraihnya. Kedua: adanya perpaduan keseimbangan pesisir dan pedalaman Aceh. Nazar mewakili pesisir. Sebaliknya, Nova mewakili daerah pedalaman Aceh yang mayoritas didiami suku Gayo, Alas, dan Singkil. Harmonisasi inilah yang jarang terjadi selama ini. Dalam dunia perpolitikan Gayo sendiri, dapat dikatakan, Nova-lah orang Gayo pertama yang maju sebagai Aceh 2. Dan, Nova pula yang membukakan jalan untuk itu.
Ditanya soal yang akan dikerjakannya bila terpilih sebagai “dwi tunggal” Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, bersama Nazar, Alumni S-1 Institut Teknologi Surabaya (1988) dan S-2 Institut Teknologi Bandung (1998) ini mengatakan, prioritas utama mereka adalah penegakan good governance dan pemantapan etos kerja aparat pemerintah. Lebih lanjut, rinci Politisi Partai Demokrat ini, mencoba menggali akar budaya sebagai basis kultural untuk penguatan etos kerja. Di lain pihak, bersama DPRA, pemberdayaan Aceh perlu didorong melalui percepatan penerbitan qanun-qanun ekonomi. Juga, efektivitas investasi dari pengusaha lokal, luar propinsi, regional, dan luar negeri.
Dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi (Agrobisnis), jelas suami DR. Ir. Dyah Erti Idawati, MT tersebut, pembangunan infrastruktur tidak bisa ditawar-tawar. Bahkan, optimalisasi dana otonomi khusus (Otsus) ke sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan harus benar-benar diefektifkan. Disamping itu, kerawanan kebocoran anggaran dalam semua sektor juga harus diantisifasi. Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tepat dan berhasil guna.
Selanjutnya, ungkap Ketua Dertemen Perindustrian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demorat tersebut, pembangunan sektor pendidikan harus seimbang antara hardware dan software. Nova yang duduk di Komisi V DPR RI menilai, perlunya gedung dan fasilitas fisik pendidikan. Demikian halnya dengan beasiswa/fellowship untuk putra/i Aceh yang berprestasi dan kurang mampu.
Yang tidak kalah penting, sampai Mantan Ketua Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiahkuala (2004-2006) tersebut, percepatan pembangunan wilayah poros tengah—Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subussalam, dan Aceh Singkil—perlu segera diwujudkan. Percepatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesenjangan dengan wilayah pesisir Aceh. Lebih dari itu, masyarakat wilayah poros tengah mesti diberikan pula kesempatan yang sama. Dengan begitu, stabilitas atau keseimbangan sosiokultral terjaga, sehingga pembangunan Aceh akan lebih efektif (al-Gayoni/03)