Bocah dalam gendongannya itu menangis, lalu dia ayunkan sedikit bersamaan dengan ayunan tubuhnya, si bocah terdiam. Lantas, Perempuan bertubuh padat itu pun kembali menghidangkan tiga gelas kopi luwak, segelas teh biasa, pesanan 4 lelaki yang tampaknya cukup akrab dengan pemilik warung.
“Lemang piyen potong? (Lemang berapa potong?),” tanya etek pemilik warung. Etek adalah sebutan untuk perempuan lebih muda di Gayo Lues, sama halnya sebutan “Inong” di Aceh, atau panggilan “Ipak” di Gayo Takengon.
Berselang beberapa saat, sebuah bus berpenumpang padat hingga ke bubung, tentu bersamaan dengan barang belanjaan yang menjulang ke atas, menepi ke warung itu. separuh penumpang–termasuk penumpang di bubung atas–turun menuju ke warung. mereka beristirahat, karena perjalanan melewati tiga kampung lagi, yakni Uring, kampung Gajah, dan Pining.
Begitulah suasana warung Aslyn, sebuah warung ‘kecil’ yang berada di lembah gunung di kawasan Alur Emon, kampung Gajah, Kecamatan Pining, Gayo Lues.
Tapi sedikit yang tahu kalau ibu pemilik warung itu–si penggendong anak tadi, bukan perempuan biasa, dialah satu-satunya lulusan Sarjana Hukum asal gayo Lues di Universitas Jayabaya Jakarta di penghujung tahun 2009 lalu.
Ismaini SH, begitu namanya. Biasa disapa Kak Asmani. Usaha warung Aslyn dia jalankan bersama sang suami Marlya, Seorang sarjana Pendidikan STAIS Tanjung Priok. Selain itu, Lelaki ini juga mantan pekerja kapal di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Membuka warung di pedalaman Gayo Lues itu bukan tanpa alasan, Asmani memang kecewa pada pemerintah Gayo Lues, lantaran keinginannya menjadi pegawai negeri kandas. “Dua kali ikut tes PNS dua kali gagal pula,” katanya. “Koq tes PNS harus bayar, dua kali tes tidak lulus karena aku tidak mau bayar, sampai puluhan juta lho,” katanya kepada The Atjeh Post, selasa 28 Februari 2012 di Kampung Gajah, Gayo Lues.
Kecewa tak berarti putus asa.Tidak menjadi pegawai negeri maka dia memilih membuka warung saja. Rumah makan Aslyn di Belangkejeren juga miliknya, dan sekarang sedang mempersiapkan penginapan . “Tapi baru delapan kamar aja,” jelasnya.
Kenapa memilih Arul Emun, Kampung Gajah? desa tanpa listrik dan sinyal seluler itu? katanya, karena tenang. Selain itu mereka meneruskan pekerjaan orang tua menanam kopi. Orang tuanya–tanpa dia sebut nama–sudah tinggal disitu sejak puluhan tahun silam, ketika transportasi masih menggunakan kuda lantaran jalan berbatu, becek, dan debu. Tapi kini tinggal Asmani dan suami saja, sehingga usaha warung menjadi pilihan yang tepat,selain suami ikut membuka usaha tempel ban, karena warga yang melintas sering mengalami bocor ban dan terkadang kalau sepeda motor rusak, mereka dapat membantu.
Ketika ditanya fungsi kesarjanaannya, Wanita kelahiran Belangkejeren, 18 Mei 1984 itu mengaku tetap memfungsikannya membantu orang kampung. “Kalau orang kampung ada masalah hukum, saya sering diminta untuk mendampingi mereka. Kadang-kadang saya sendiri terus yang urus,” jelas Asmani.
Diakui Asmani, kalau hidup memang perlu proses. Maka dia bersama keluarga, suami dan kedua anaknya, sedang berproses untuk menjalani hidup. Kebahagiaan menurutnya, menjadi hal terpenting dalam hidup, dan membatu orang menjadi kebahagiaan tak terhingga pula.
Dijelaskan Etek dari penghasilan cukup buat hidup, warung Aslyn mencapai Rp.400.000 / perhari, jumlah itu dapat di simpan bersih hingga Rp 250.000.
Warung yang dia kelola memang spesifiknya kopi, tetapi dia juga menjual snack-snack lainnya. harga kopi Luwak cukup murah, hanya Rp.10.000 pergelas, tetapi juga menjual bubuk kopi luwak, harganya Rp.500.000 per kilogram.
Begitulah kehidupan wanita berkulit sawo matang ini. Dia menikmati hidup dengan tenang. Selalu tersenyum bila menyapa. Namun tetap berharap, hidupnya bisa berguna bagi orang lain, tentunya, semua harus saling terkait, agar Gayo Lues dan seluruh kawasan Pining berubah menjadi ‘kekayaan’ baru bagi Aceh, dan Indonesia juga. “Tapi tetap menjaga budaya dan kebiasaan yang khas, karena Pining bermula dari itu,” demikian pinta Asmani. Semoga. (Jauhari Samalanga|www.atjehpost.com)