Oleh Luqman Hakim Gayo
ALKISAH, Raja Johor di Malaka meminta bantuan kepada Raja Aceh untuk memperkuat pertahanannya menghadapi serangan Sriwijaya. Permintaan itu disanggupi oleh Raja Aceh Darussalam. Beliau menunjuk Raja Linge dari Tanah Gayo mewakili Raja Aceh untuk membantu pertahanan Raja Johor.
Di Tanah Gayo, Raja Linge XIII sedang mempertimbangkan permintaan itu. Akhirnya ia setuju untuk berangkat dan menempatkan putranya, Raja Linge XIV untuk menduduki singgasana Kerajaan. Raja Linge XIII memimpin pasukan dengan Kapal Laut “Cakra Donya” membelah Selat Malaka sampai ke Johor. Alhamdulillah Kerajaan Johor mampu bertahan dari peperangan besar itu. Sebagai ucapan terima kasih, Raja Johor menikahkan anaknya dengan Raja Linge XIII.
Dari perkawinan itu, ia memperoleh dua orang anak lelaki yang bernama Sengeda dan Bener Merie. Sementara di Buntul Linge ia meninggalkan anak lelaki yang sudah dilantik menjadi Raja Linge XIV.
Sampai waktunya, Raja Linge XIII pulang ke kampung halaman dengan isteri dan kedua anaknya. Takdir Allah terjadi. Di perjalanan ia mengalami sakit perut dan meninggal. Kapalnya berlabuh di satu pulau dan Raja Linge XIII dimakamkan disana. Sejak itu pulau tersebut bernama Pulau Lingga. Kerabat dari Johor masih sering berziarah ke makam Raja Linge XIII di pulau tersebut.
Meski isterinya (Putri Raja Johor) mulai keberatan meneruskan perjalanan, tapi kedua anak lelakinya tetap ingin melihat kampung halaman ayahnya di Buntul Linge. Sesampai di Aceh, keluarga kecil ini di tempatkan di Kedah, tempat tinggal janda-janda Kerajaan Aceh masa itu.
Disanalah mereka menunggu kedatangan rombongan dari seluruh kerajaan Aceh pada setiap Bulan Rabiul Awal sambil merayakan Maulid Nabi. Sebab, Kerajaan Aceh mengadakan Rapat Tahunan pada bulan itu. Semua Raja-Raja mengirimkan utusannya, termasuk dari Kerajaan Linge.
Ikut Ke Linge
Usai Rapat Tahunan, Sengeda dan Bener Merie mengikuti rombongan Linge secara diam-diam, sampai ke Buntul Linge. Mereka menghadap Sang Raja dengan alat bukti berupa cincin emas dan rencong milik ayahnya. Raja Linge XIV yang muda belia itu, mengakui alat bukti itu sebagai milik ayahnya dan mengakui Sengeda dan Bener Merie sebagai adik tirinya.
Pengaruh setan mulai menggoda Reje Linge XIV. Ada rasa khawatir posisinya mulai terancam. Siasat diatur. Perdana Menteri Tengku Cik Serule diberi tugas ‘menghabisi’ Sengeda dan Sang Raja menghabisi Bener Merie. Dalam sebuah acara hura-hura berburu, rencana itu berjalan dengan mulus. Bener Merie dibunuh di hutan dekat Samarkilang.
Nasib Sengeda lebih beruntung. Ia diselamatkan oleh Tgk Cik Serule. Sebagai gantinya, ia membunuh seekor kucing, diberi kain kafan di kuburkan sepanjang kuburan manusia. Ketika Sang Raja bertanya, Tgk Cik Serule menjawab tugas sudah dilaksanakan dengan aman. Buktinya? Ia mengajak Raja melihat kuburan baru tersebut. Sampai sekarang desa ini bernama “Tanom Kucing”.
Singkat cerita, rapat tahunan berikutnya Sengeda secara sembunyi-sembunyi ikut rombongan ke Kutereje. Dia berdiam di mersah dekat arena rapat. Disanalah dia melukis ‘gajah putih’ di pelepah pinang. Secara kebetulan ‘angin nakal’ menerbangkan pelepah itu sampai ke tangan putri Raja Aceh. Bahkan, Sang Putri tertarik lukisan itu dan meminta ayahnya untuk menemukannya. Sampai-sampai, terpaksa dimasukkan ke agenda rapat, tugas raja-raja di daerah untuk menemukan Gajah Putih.
Kembali Sengeda membuat air mata ibunya bercucuran. Kehilangan abang dan pamit mau mencari Gajah Putih di pedalaman Tanah Gayo. Ia bermimpi di makam saudaranya ada Gajah Putih sedang menunggu. Bersama Cik Serule kemudian mereka membuktikan mimpi itu. Benar, disana Gajah Putih sedang menunggu. Berbekal kepandaian menari dan melingkarkan kain sarung ke leher si Gajah, dan menariknya sampai ke Buntul Linge.
Rapat Tahunan berikutnya, Gajah Putih di bawa ke Kutereje. Seluruh Rakyat Aceh dan utusan peserta rapat menyambut meriah. Salut atas keberhasilan Raja Linge menangkap Gajah Putih yang satu-satunya di dunia.
Upacara serah terima dilakukan di lapangan dengan aneka hiburan yang meriah. Deretan Raja-Raja dengan pakaian kebesaran di panggung. Gajah Putih di arak ke tengah lapangan, secara perlahan di bawa ke depan panggung. Tiba-tiba Gajah mengirup lumpur dekat panggung dan menyemburkan ke panggung. Semua Raja-raja berbalut lumpur dan kotoran gajah. Memalukan. Bahkan Gajah Putih mulai mengamuk. Tidak seorangpun yang bisa mengamankannya, kecuali Sengeda.
Itulah awal terbongkarnya rahasia dendam Raja Linge XIV yang berakhir dengan kematian Bener Merie. Singkat cerita, Kerajaan Linge dibagi dua dan Raja Linge XIV diturunkan dari tahtanya. Gajah Putih menjadi lambang Tentara Kerajaan Aceh sampai sekarang.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta
.