Catatan: Ria Devitariska
SUDAH beberapa hari ini, sejak adanya issue kenaikan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM), mendadak Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) yang berada tidak jauh dari rumahku menjadi tempat yang paling diminati untuk didatangi warga Takengen. Pada awalnya pemandangan itu membuatku dan orang-orang disekitar SPBU terpana, seakan hal seperti ini baru pertama kali terjadi. Tapi kini antrian seperti ini terlihat wajar saja.
Antrian itu secara tidak langsung memberitahuku jenis-jenis kendaraan apa saja yang terdapat di Kota Takengen, dari mulai mobil, sepeda motor, becak, atau truk. Dari yang berplat merah, kuning, hitam, atau putih. Dari yang bodynya mulus, sedikit penyok, atau ditempeli sticker–sticker kandidat cabup/cawabup. Aku tidak tahu sudah berapa banyak Warga Takengen yang menimbun BBM dirumah atau gudangnya, karena rasanya begitu naif jika aku berpikir tidak ada yang menimbunnya.
Bagi anak Sekolah Dasar (SD) sekalipun, angka 1.500 tidak ada apa-apanya. Hanya dapat membeli 3 jenis makanan jika setiap makanan tersebut seharga Rp.500,-. Tapi tidak bagi Warga Indonesia, karena angka tersebut akan berdampak bagi seluruh sendi-sendi kehidupan. Berlebihankah? Tentu saja tidak. Uang senilai Rp. 1.500,- itu memang hanya terdiri dari tumpukan 3 keping logam bernilai 500, tapi efeknya akan menaikkan harga 3 jenis kebutuhan masyarakat. Apakah itu sandang, pangan, maupun papan.
Ya, tentu saja para pejabat-pejabat tidak pernah merasakan bagaimana rasanya melihat orang tuanya menarik nafas panjang tanpa suara saat melihat berita di televisi yang menyiarkan tentang issue kenaikan harga BBM, dengan raut wajah yang melukiskan semua kesedihan hatinya. Karena sudah jelas terpeta di benak orang tua kita harga BBM naik sama dengan menaikkan semua harga barang. Keluarga para pejabat-pejabat itu tidak akan pernah merasakan efek samping dari kenaikan harga BBM.
Seorang nelayan mengatakan “BBM naik atau turun tidak ada bedanya, kami tetap melaut dan hidup dari alam”. Ya, tentu saja tidak akan pernah berbeda, bagaimana mungkin hanya karena kenaikan BBM dapat mengubah seorang nelayan menjadi juragan pemilik beberapa tambak ikan di kampungnya. Tetapi mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menaikkan harga jual seekor ikan yang didapatinya dari hasil melaut, guna menutupi lambungan harga minyak perahu motornya. Maka kesejahteraan seperti apa yang akan dijamin oleh pemerintah jika harga BBM dinaikkan?
Namun anehnya, ada yang tidak terpengaruh oleh issue ini. Kusebut mereka dengan “para pencari kursi” (PPK). Hampir setiap hari terdengar olehku raungan sirine pengawal rombongan kampanye PPK di jalanan. Tak perduli saat itu traffict light sedang menunjukkan warna merah, kuning, atau hijau, ketika mereka lewat kendaraan lain wajib minggir. Seakan tidak ada urusan yang lebih penting daripada mengumbar janji di atas panggung. Semoga saja tidak ada yang merutuki PPK tersebut karena harus mengalah memberikan jalan kepada orang-orang yang seakan tidak pernah mendengar adanya issue kenaikan BBM.
Bagaimana tidak, dengan berbagai jenis kendaraan, berbagai model sticker, poster, spanduk, bendera dan yel-yel bahkan ada yang sambil bercanang mereka berkeliling kota. Sesekali kudengar ada yang berteriak kata “merdeka”, merdeka atas apa, aku juga tidak mengetahuinya. Padahal untuk mendapatkan BBM saja mereka harus mengantri beberapa jam, kalau tidak bersedia membayar lebih untuk setiap liternya di warung-warung kecil di pinggir jalan.
Aku juga pernah menjadi bagian dari PPK tersebut, saat itu aku duduk di bangku kelas 4 SD. Aku dan teman-teman lainnya diwajibkan ke Lapangan Musara Alun, tanpa diberitahu apa maksud dan tujuannya. Bagi kami itu tidak penting, karena dalam benak kami masing-masing lapangan sama dengan tempat bermain.
Sesampai disana kami agak shock, karena lapangan telah dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai kalangan. Semuanya menghadap ke tribun lama, ada panggung di sana, dengan orang-orang tua berpakaian rapi di atasnya. Ia menyampaikan kalimat-kalimat yang tidak kumengerti sama sekali. Bahkan aku sendiri tidak mengerti kenapa kami semua ada disini, berdesak-desakkan, berteriak, bertepuk tangan, dan sesekali disirami air oleh pemadam kebakaran.
Aku sempat kehilangan sendalku karena suasananya benar-benar ricuh, didorong sana-sini, tubuhku yang kecil menyusup di bawah kaki orang-orang demi mencari sendal jepitku yang hilang sebelah. Beruntung seorang bapak berbaik hati mengambilkannya untukku, sayangnya ingatan masa kecilku tak bisa mengingat wajah sang bapak. Yang kuingat hanya senyumnya yang hangat sambil menyerahkan sendalku. Saat umurku kian bertambah, aku baru menyadari saat itu kami disuruh menyemarakkan kegiatan kampanye salah satu partai.
Miris, benar-benar miris. Saat orang-orang harus rela mengantri demi mendapatkan BBM dengan harga normal, agar dapat menjangkau kebun tempat mereka menggantungkan kepulan asap di dapurnya, tak kenal panas menghujam atau hujan yang membasahi tubuh. Namun di sisi lain ada yang dengan santai membuang BBM di jalanan sambil mengusung poster-poster kandidat kesayangannya. Aku penasaran, adakah diantara kesebelas pasangan kandidat cabup/cawabup Aceh Tengah itu memikirkan bagaimana keadaan Warga Takengen pada April nanti? Saat angka 1.500 ditambah dengan harga normal BBM saat ini.***