SEJAK duduk di bangku sekolah dasar, Zuliana Ibrahim atau biasa disapa Ana, telah menyukai puisi. Maka tak heran saat memasuki sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, mahasiswi tingkat akhir ini mulai menyabot beragam prestasi di bidang cipta dan baca puisi, baik tingkat kabupaten atau provinsi.
Ana menamatkan sekolahnya di Kota Takengon, yaitu SD Negeri 3 Takengon, SMPN 3 Takengon, dan SMAN 1 Takengon. Ia kerap menjadi juara kelas semasa duduk di bangku sekolah. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Kota Medan, tepatnya di FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Di bangku SMA ia sering mengikuti kegiatan sastra, seperti bergabung di Komunitas Seni Seulawah (KSS), dan pernah belajar sastra dengan Sastrawan Nasional asal Gayo LK Ara.
Gadis berperawakan mungil itu kini menjabat sebagai ketua umum Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Medan. Selain itu ia juga aktif sebagai aktivis Laboratorium Sastra (LABSAS) Medan, Pementor Win’s Sharing Club (WSC), anggota Leutika Reading Society (LRS) chapter Medan, Koordinator Kominfo wilayah Sumatera IMABSII (Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia) dan editor sastra di Media Online Lintas Gayo.
Selain berkecimpung di dunia puisi, Ana juga sering menuangkan pikirannya dalam bentuk cerita pendek (cerpen), ia pernah menyabot Juara III lomba cipta cerpen Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota MEDAN pada tahun 2010 lalu. Bahkan baru-baru ini ia menggondol Juara I Lomba cipta cerpen IMMSAC UMSU.
Ketika ditanya darimana ia mendapatkan inspirasi ketika menulis, putri ke 3 dari 4 bersaudara ini mengaku mendapatkannya dari lingkungan, “terutama unsur lokalitas, semenjak Lintas Gayo hadir, saya suka mengangkat tema budaya, terutama Budaya Gayo. Karena hingga kini Budaya Gayo masih kurang dikenal oleh masyarakat luar”, ujarnya.
Ia memilih menulis di kala gelap mulai menutupi siang, “sepertinya menulis di malam hari itu lebih tenang kondisinya, ditemani suara jangkrik, suara angin, dingin, dan sunyi. Saya lebih merasa fresh, dan siang harinya tinggal bagian editing saja. Jika kesulitan mengedit, Ana biasanya berdiskusi dengan para Sastrawan Medan, seperti Almarhum Antilan Purba, Afrion, Hasan Al-Banna, Raudah Jambak, Yulhasni, dan lainnya.” Ujar Ana sambil tersenyum.
Menurut Ana, para Pemuda Gayo khususnya di Medan masih kurang tertarik dengan dunia tulis-menulis, terutama menulis sastra. Sebagian dari mereka ada yang merasa kurang percaya diri jika tulisannya dibaca orang lain.
“Mengedepankan kepercayaan diri itu sangat penting. Tidak ada seorangpun yang tahu tulisan kita jika hanya dikonsumsi pribadi, sebagus apapun itu. Bisa jadi karya kita itu bisa menjadi inspirasi dan bermanfaat bagi orang lain. Bisa-bisa kita ditelan zaman karena ketidakpedean kita tersebut. Hak orang lain menilai bagus tidaknya tulisan kita karena yang terpenting adalah kita berani, berusaha memberikan yang terbaik dan InsyaAllah bisa memberikan manfaat bagi orang lain.” Tuturnya bersemangat layaknya seseorang yang sedang berorasi.
“Saya teringat pesan salah satu senior bahwa sejarah tidak akan mencatat namamu, kalau kau tidak mengukir sejarah itu terlebih dahulu”. Tambah pengagum Novelis Helvy Tiana Rossa ini.
“Suatu saat, saya ingin dapat mengikuti event-event besar sastra seperti Temu Sastrawan Nusantara, Temu Sastrawan Indonesia, Temu Penyair Asia atau bahkan dunia. Selain itu saya juga berkeinginan mengunjungi Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Saya ingin merasakan baca puisi di atas pentasnya,” katanya bersemu merah.
“Harapan saya semoga Pemuda/i Gayo yg menyukai dunia sastra agar mau menggeluti sastra lebih dalam, agar muncul generasi-generasi baru setelah LK Ara, Salman Yoga S, Purnama K Ruslan dan Sastrawan Gayo lainnya,” harap Dara Gayo ini. (Ria Devitariska)
rapa’i sobek, ine, uyem, ETC