by

Buku “Tari Saman” Telah Terbit

 

Jakarta | Lintas Gayo – Satu lagi karya putra Gayo kembali menjadi sumber bacaan yang layak dibaca, dengan terbitnya buku “Tari Saman” karya Ridhwan Salam dengan ISBN 978-602-8338-15-8.

“Syukur Alhamdulillah, minggu lalu, sudah naik cetak,” ujar Ridhwan pada Lintas Gayo di Jakarta, Selasa (17/4/2012).

Alasan laki-laki kelahiran Take­ngon, 22 Agustus 1952 dari pasangan Tgk. H. Abdus­salam dan Hj. Nuriah asal Belang Kejeren itu menulis buku ini, karena adanya pihak lain yang mengklaim kepemilikan tari Saman. Sayangnya, pengelola Sanggar Tangan 1000 Jakarta—1987-sekarang—itu baru bisa menuliskannya saat bertugas di Gayo Lues sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias Distrik Gayo Lues (2006–2007).

Buku ini dijual 50.000/buah dan bisa dipesan melalui Sanggar Tangan Seribu, Aceh Culture Center, Research Center for Gayo, dan Forum Lintas Gayo (For LG). Dalam waktu dekat, buku karya alumni Magister Manajemen STIE IPWI Jakarta Konsentrasi Manajemen SDM ini, akan diluncurkan sekaligus dan bedah buku yang difasilitasi keempat lembaga tadi.

Dalam buku itu, Mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, memberikan sambutan. Nazar menyebutkan, yang paling fenomenal, tari Saman sudah ditarikan di seluruh dunia dan telah menjadi warisan budaya untuk dunia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity). Namun, harus diakui bahwa ada kesalahpahaman dan kesalahan pemeraktikkan tari ini. Di sisi lain, dalam praktiknya di luar Gayo, tari ini kerapkali ditarikan perempuan. Bahkan, mencampurkan laki-laki dengan perempuan.

Sudah barang tentu, hal itu menyalahi nilai-nilai filosofis, sosio-kultural, historis, relijius, dan Islam. Apalagi, masyarakat Gayo dan Aceh dikenal sebagai penganut Islam yang fanatik. Dengan demikian, “memukul-mukul dada perempuan” dan mencampur-adukkan laki-laki dengan perempuan merupakan tindakan yang menyalahi adat-istiadat di Aceh serta bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kesalahan praktik seperti ini tentu berimbas pula kepada lahirnya kontroversi pendapat kaum agamawan (ulama) walaupun tidak massif terhadap tarian atau seni tari gara-gara sang penari.

Melihat keadaan tersebut, muncul kerisauan banyak pihak. Lebih-lebih, masyarakat Gayo sebagai pemilik dan pewaris Saman. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh mencoba mendaftarkan tari Saman Gayo ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Kita—masyarakat Aceh—tidak menghendaki Tari Saman diklaim kepemilikannya oleh bangsa dan negera lain, suatu saat. Lebih dari itu, Saman sekeder jadi tontonan yang jauh dari tuntunan. Dalam artian, hampa dari ruh dan jiwa Saman yang sebenarnya.(al-Gayoni/red.04)

Comments

comments