Oleh: Ria Ristiana Dewi
Ijinkan aku mengucapkan selamat malam padamu. Dan ijinkan aku memilihmu menyembelih paras malam setiap pukul 23.00 berdentang. Meskipun itu hanyalah waktu yang aku pilih sendiri, bersebab pada saat itulah permainan para hati memuai ke permukaan. Sam, saat ini aku sedang bercerita padamu tentang dunia yang luas, namun terasa menyempit umpama kota dalam tempurung kepalaku. Sam aku gelisah, kegelisahan akibat terlalu banyaknya permainan air mata. Ah, Sam, aku sedang tak ingin mengeluh, namun aku khawatir dan itu semakin.
Ini tentangnya: namanya Andra, namun ia lebih suka aku memanggilnya Rendra. Katanya, ia mengagumi puisi-puisi Rendra, untuk itulah ia lebih suka dengan nama itu. Tapi Sam, ia justru tak tahu dan tak mau tahu apa yang paling aku sukai. Ya! Ia tak tahu kalau aku juga menyukai puisi dan mengagumi Rendra. Tapi, aku patuh. Tak ingin mengganggu semua pikirannya yang memiliki prioritas lain tanpa aku, barangkali. Aku ingin patuh, itu aku pastikan.
Malam itu aku memang ingin Rendra datang, maka aku menelponnya dan bertanya, sedang di mana ia saat ini. Di kantor, katanya. Lidahku masih kelu mengucapkan satu kata itu “datanglah” sebab aku tahu dari nada suaranya yang berat dan sebelum mengatakannya ada nada suara ə panjang, maka dalam beberapa detik hanya iringan napas satu-satu berada antara jaringan telepon kami. Aku benamkan niat untuk mengatakan padanya bahwa hari ini aku berulang tahun. Sam, aku hanya ingin ia hadir di pestaku hari ini atau setidaknya ia mengucapkan selama ulang tahun untukku. Ya! Dan Telepon itu terus berisik dengan angin, hanya angin, untuk itulah ia mulai membelah suasana, ia mengatakan bahwa pekerjaannya masih terlalu penting. Aku diam, namun sebelum aku ingin meminta maap sebab telah mengganggunya, ia langsung mengucapkan salam dan mematikan telepon. Air mataku tampak bening, aku melihatnya dari kaca lemariku. Aku menutup wajahku dengan bantal saat ibu masuk ke dalam kamar. Aku katakan bahwa aku tak ingin diganggu oleh siapapun.
Sam, aku tak mengenalnya, masih tak mengenalnya. Mengapa ia bersikap seolah aku bukanlah pacarnya. Ia masih sama, seakan tokoh dalam puisi-puisi yang kubumbui belakangan ini, menemukan fajar dengan embun pagi, kisah asa menebas sesal atau saat senja menirukan wajahnya, namun ia memang akan tetap wajar. Maka pada hari lain aku mencoba bertanya satu hal padanya, sebuah tanya yang selama ini aku simpan hanya dalam pikiranku hingga membuatku mengeluarkan keringat panjang selama satu tahun kami berjalan, dengan status berpacaran, tentunya. Aku bertanya, apakah ia benar-benar mencintaiku? Tapi ia tidak seperti sedang dilemparkan pertanyaan mengejutkan sebab ia langsung mengatakan dengan nada datar dan mimik wajar bahwa pasti! Ya, pasti ia mencintaiku. Aku tak mengerti, aku semakin tak mengerti terhadapnya.
Sam, sesungguhnya aku tak pernah punya keinginan untuk berpisah dengannya. Dan aku tak berani berulang kali bertanya demi memastikan apakah ia benar-benar mencintaiku sebab aku tahu ia tak suka sebuah pertanyaan yang itu dan itu lagi. Maka aku putuskan untuk tidak mengatakannya lagi. Namun hari itu, saat ia sendiri yang memutuskan akan memecah rindu, aku dengan sengaja membuka beberapa pesan kotak masuk dari HPku. Ia duduk sambil menatap sebelah wajahku, aku tak tahu ia sedang apa. Aku biarkan ia melakukan itu dan selagi begitu aku mulai membuat gerakan yang mencurigakan hendak memancing perhatiannya. Ada beberapa pesan dari temanku Riki. Aku pernah bercerita padanya bahwa Riki selalu meminta aku menjadi pacarnya, namun pada hari itu ia tak mau percaya, maka aku yang akan memulainya. Aku melayangkan beberapa SMS gila perihal cinta dan aku berharap ini mendapat perhatian serius darinya. Gerakanku seakan menutupi bahwa ada pesan masuk dan ya! Jelas sekali ia melihat siapa nama yang tertera di situ. Yeah, aku tersenyum dari dalam hati. Aku pikir….
Tapi tidak!
Sam, aku tetap tak mengerti mengapa ia hanya menunjukkan sikap yang wajar. Tidak ada usaha untuk meraih HPku, menciptakan wajah kecemburuan, atau sedikit saja teguran agar aku tidak bermain-main perihal cinta. Aku mau kau tahu Sam bahwa aku benar-benar ingin mengatakan kekecewaan mendalam itu.
Entahlah, aku tak tahu harus meracik siasat apa lagi agar ia marah demi cinta, setidaknya. Aku gagal menemukan kecemburuan dari wajahnya, maka aku berpikir ia tak serius mengatakan bahwa ia benar-benar mencintaiku. Dia memang pernah memintaku agar jangan berlebihan menyikapi hal ini. Ia tak suka jika aku bersikap seperti anak-anak. Tapi Sam, seharusnya ia paham bahwa aku adalah seorang wanita. Aku tak bisa jika harus bersikap wajar, hatiku bersikap lain dengan hatinya. Sam, tak sedikit pula aku menemukan sepasang insan saling mencintai yang terlihat penuh kebahagiaan. Laki-laki itu, tetanggaku, hampir setiap malam mendatangi kekasihnya, Ia bercerita padaku bahwa ia tak ingin kehilangan wanita yang paling dicintainya. Aku tahu bahwa itu terlalu berlebihan, tapi setidaknya terlalu jauh dengan Rendra. Rendra justru menemuiku hanya setiap dua minggu sekali bahkan jika ia ke luar kota, aku harus menunggunya selama berbulan-bulan dan jika ia ingin datang, kami hanya menghabiskan obrolan selama dua jam.
Sam, hubungan kami telah menemukan satu tahun dan seharusnya bukan lagi tindakan yang wajar jika aku tetap percaya kesungguhannya. Aku benar-benar tak paham bahkan dengan diriku sendiri.
Dan tibalah hari itu ia menelponku. Katanya, ia akan pergi ke luar kota untuk memenuhi tugas kantor. Seperti biasa aku tak dapat berkata apapun kecuali mendoakan keselamatannya. Aku tutup telepon, tapi entah alasan apa yang membuatku tersenyum.
Pagi-pagi sekali aku telah sampai di kampus. Ternyata teman-teman merasa seperti ada hujan di siang bolong melihatku hadir setengah jam sebelum pelajaran dimulai sementara itu yang mereka ketahui selama ini adalah aku yang selalu terlambat. Ah, aku tak terlalu memperdulikan hal sepele itu.
Saat jam mata kuliah usai, aku mencoba memberikan waktu untuk berbicara sedikit dengan Riki. Aku pikir ia sudah tidak bernafsu lagi untuk mengajukan pertanyaan yang sama, apakah aku ingin menjadi pacarnya. Di bawah pohon beringin itu, kami duduk berdua. Aku menyilangkan kaki begitupula dengannya. Angin berputar bulat dan berhembus menghilang secara perlahan, daun-daun berserakan menuju satu tempat di belakang kami. Riki menatapku aneh, aku tahu bahwa Riki tahu aku mencoba menutupi mataku.
“Menangis?”
“….”
“Katakan! Apa kau mau menjadi pacarku?”
“Kau tahu aku sudah punya pacar!”
“Aku tak peduli, sebab ia juga tak peduli terhadapmu.”
“Aku tak mau terlibat masalah. Aku ingin menemukan alasannya.”
“Alasan mengapa ia bersikap seperti itu padamu? Kau ingin tahu apakah ia mencintaimu atau tidak mencintaimu? Kau ingin tahu apa ia bersungguh-sungguh atau ada wanita lain dalam hidupnya? Kau ingin tahu apa ia memiliki pacar lain selain dirimu? Yang selama ini tak pernah kau ketahui kebenarannya. Sementara itu aku selalu mencintaimu dengan kau tahu bahwa tak ada siapapun selain dirimu.”
“Aku harus bagaimana? Memutuskannya? Tak ada alasan….”
“Aku bisa membantumu!”
“Tidak! Kau tak bisa membantuku!”
“Aku bisa membantu jika kau mau!”
“Jangan.”
“Aku akan membantumu untuk mencari tahu apa yang tak kau ketahui.”
“Maksudmu?”
“Jika kau mau. Bagaimana?”
“Baiklah…”
“Jika kau menjadi pacarku, kau bisa tahu ia akan bersikap apa.”
“Lalu…”
“Jika ini tak adil baginya, ia akan membalas perbuatanmu atau sekejap akan meninggalkanmu.”
“Kau gila!”
“Aku tidak gila. Tak ada maksud untuk membodohimu. Kau tahu aku mencintaimu dan dia juga tahu itu. Tapi yang ingin kita ketahui adalah dirinya dan jika ia mencintaimu ia akan merasa bersalah telah bersikap tidak wajar padamu.”
“Aku tak berani!”
“Harus!”
“Aku tak berani! Apa kau tak mendengarku? Apa kau mau aku lebih hancur dari hari ini? Apa kau bermaksud untuk…”
“Kau salah!”
“…”
“Jika nanti ia tidak mempertahankanmu, ia kalah dalam cinta.”
“…”
“Jadi kau tak perlu seperti ini setiap saat sebab aku tak tahan.”
“Aku memang wanita bodoh.”
“Jangan menyalahkan diri sendiri sebab kesalahannya lebih besar, menurutku.”
“Mungkin aku hanya berprasangka buruk.”
“Prasangka buruk tak terjadi setiap saat hanya pada satu orang.”
“Ya! Kau benar! Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku tak tahu kenapa.”
Ah, Sam, ia memelukku sangat erat dan aku membiarkannya. Sebelumnya Riki tak pernah punya kesempatan ini, namun ia tak sanggup melihatku mengeluarkan air mata. Daun-daun kembali berterbangan saat itu, aku melihat segalanya terserak di sekeliling kami. Senja telah jatuh memenuhi ruang, garis-garis sinar itu pun telah tersamar dan aku tak kutip untuk memperhatikan keindahan langit yang berwarna jeruk matang.
Sam, aku telah layu dibawa perasaan. Racikan pedas yang akan kumainkan bersama Riki. Aku tak tahu apakah ini benar. Aku menuruti keinginannya setelah satu tahun. Kenyataannya, aku begitu. Walaupun aku akan begitu murka mendengar kata perselingkuhan dan tak terbilang jumlah aku mendengar orang lain melakukannya, aku mencaci mereka, berkata sumpah serapah sebab aku tak tahu apa masalahnya.
***
Rendra belum pulang, aku mengkhawatirkannya. Tapi saat ia pulang, aksiku telah siap menjadi hidangan. Lamat-lamat kubuka kain gorden bercorak melayu persia, dalam jeruji besi berukiran arabi, elok menerpa angin, menari-nari terbawa, membelah suasana matahari yang tegak di atas kepala. Dari lantai dua kuteguk air liur menyaksikan langkahnya yang mengembang. Daun-daun berterbangan mengikuti bayangannya, terinjak-injak oleh kegelisahan di dadaku. Pukul 12.00 berdentang.
Aku yakin ia telah memencet bel.
Aku tahu bahwa Riki terus menunggunya.
Dan aku sadar bahwa aku harus segera turun.
Pintu itu terbuka. Aku yang menyuruh bibi melakukannya. Kami membelakangi Rendra yang berjalan sambil melongok ke kanan dan ke kiri. Dengan lagak cepat aku berpura-pura kejut oleh tatapannya dan segera lepas dari pelukan Riki. Ia tercengang, aku tersenyum dalam hati. Yeah, aku berhasil. Itu sekejap dan sekejap lagi Rendra mengumbar senyum dan mengatakan permintaan maap. Ia merasa bahwa telah mengganggu kami bermesraan. Ia pergi setelah menyodorkan sebuah cincin yang indah di hadapanku. Itu hadiah, katanya.
Sam, aku ingin menilik hatiku saat itu. Aku tak percaya seperti apa Rendra yang sesungguhnya dan apa pengertian atas hal ini. Aku ingin menjerit dan mengucap penyesalan. Bukan salah siapa-siapa melainkan kecerobohan. Dan aku tak berani menelponnya lagi hingga akhirnya ia memberikan SMS kepadaku:
Aku rindu.
Sam, aku katakan padanya bahwa aku sudah punya pacar dan ia tak berhak lagi untuk merindukanku. Aku katakan padanya bahwa aku berdoa segala sesuatunya demi kebahagiaan hidupnya. Sam, aku khilaf
***
Dear Habibi.
Saat ini aku sedang berjuang menyelesaikan kuliahku di Mesir dan aku mengambil judul tesis mengenai penggunaan bahasa yang islami. Habibi… surat ini tak pernah salah alamat. Aku sedang mencoba mengucapmu dengan cara begini: buat “kekasihku” yang dalam bahasa islami dituliskan “habibi”. Sam, kau kekasihku yang terbaik dan aku akan pulang untuk memenuhi panggilanmu sebab aku rasa besar keinginanku untuk menyempurnakan ibadah kita. Sam, ini surat terakhirku dan kini kau tahu siapa aku dan mengapa aku. Maka, ijinkanlah aku memintamu untuk menungguku.
From your habib,
Ria Ristiana Dewi, lahir 7 Maret 1989. Lulusan SD Islamiyah Guppi Medan, SMP N 6 Medan, SMAN 4 Medan, dan Universitas Negeri Medan (UNIMED). Saat ini sebagai dewan ahli di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dan Aktivis LABSAS. Telah menulis sejak tahun 2010. Karyanya pernah terbit di suara pembaruan, seputar indonesia, radar surabaya, medan bisnis, lintas gayo, analisa, waspada, dan sinar harapan. Pernah mengikuti Jilfest II dan TSI-4. Telah menerbitkan satu buku puisi “Angin kerinduan”. Saat ini berprofesi sebagai guru di SMP Al-AZHAR Medan.