SEKILAS pengalaman penulis dalam kunjungan ke Amerika Serikat tahun 2008 (Ohio, Virginia, Pinsilvinia, Washington, New Jersey, New York, Chicago dan Dayton), ke Thailand dan Jepang tahun 2009, dan ke Singafor dan Malaysia tahun 2010 bahwa ternyata pendidikan SMK jauh lebih banyak dan diminati dari pada SMA (bandingannya 7 buah SMK hanya 3 SMA) dari segi siswapun lebih banyak di SMK dari SMA berbanding (SMK 75 persen sementara SMA hanya 25 persen).
Lulusan SMK kerja menunggu dan perolehan hasil cukup lumayan atau menggiurkan, lulusan SMA yang menunggu adalah universitas, hasilnya yang akan diperoleh adalah ilmu pengetahuan-panggilannya ilmiawan-lahan kerja luas dengan cara melamar terlebih dahulu dan penghasilan cukup atau pas untuk single fighter (bujangan). Paling tidak, lulusan perguruan tinggi ternama nanti akan memangku jabatan strategis di sebuah kantor pemerintahan dan menjalankan birokrasi yang berbelit sehingga lambat laun inverstor menjadi renggang menanam investasi.
Berdasarkan hasil kunjungan di atas, maka konsep reposisi pendidikan kejuruan ini merupakan salah satu model penataan dan pengembangan pendidikan kejuruan yang didasarkan atas kajian permasalahan tentang perekonomian dan ketenagakerjaan. Lahirnya “Multinational Company” membuat persaingan bisnis berskala regional, nasional dan internasioanl menjadi semakin meningkat. Indonesia sebagai salah satu kawasan di Asia Pasifik, suatu kawasan yang telah melahirkan beberapa negara industri baru, di satu sisi dapat menarik keuntungan dari kemajuan industri di kawasan ini dan disisi lain dapat tergilas korban kemajuan negara tetangga jika tidak mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk mampu menghasilkan produk yang siap bersaing dengan negara lain.
Produk tersebut bisa saja seperti: 1) industry yang siap bersaing dalam skala go international berkualitas ekspor, 2) melahirkan tenaga kerja yang handal dan tepat guna sehingga mampu bekerja di perusahan internasional sekalipun, 3) memiliki karakter yang nasionalis, 4) menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan lain-lain.
Ironisnya sampai akhir abad ke-20, pembangunan sumber daya manusia di Indonesia ternyata belum mengarah kepada kondisi yang diharapkan. Hal ini ditandai dengan;
1) struktur tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja yang tidak berpendidikan, sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat saat ini dan tetap saja berharap subsidi dari berbagai pihak untuk persediaan makanan dan keperluan sehari-hari.
2) penyiapan tenaga kerja tingkat menengah terkesan hanya dilakukan oleh SMK, sementara sebagian besar tamatan SMA dan yang sederajat banyak tidak melanjutkan pendidikan dan masuk ke pasar kerja. Efeknya adalah dilakukan training atau pembekalan menghadapi pekerjaan padahal konsep dunia kerja adalah tenaga yang siap kerja/pakai.
3) Tingkat pengangguran tamatan sekolah menengah menunjukan angka 12 persen untuk tamatan SMK, dan tamatan SMU 18 persen (SUSPAS, 1995). Artinya, lulusan SMA hanya mampu bekerja sebagai tenaga suruhan (disuruh baru melakukan pekerjaan-belum tahu cara bongkar pasang objek pekerjaan), sementara tenaga terampil yang lulusan dari SMK jumlahnya sangat terbatas (sedikit) karena antusias masuk ke jalur sekolah menengah atas.
4) Penguasaan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara (contohnya, tenaga kerja Negara Singafor, Malaysia, Thailand, dll) dimana TKI kebanyakan sebagai buruh kasar yang bekerja di kebun kelapa sawit, pabrik, dan tempat penangkapan ikan-bukan sebagai desainer pekerjaan.
Semuanya ini menyebabkan tenaga kerja Indonesia sulit bersaing, bahkan tidak sedikit peluang pekerjaan yang ada di Indonesia diisi pekerja asing. Untuk itu mengantisipasi tuntutan dan permasalah di atas, maka upaya-upaya pembangunan berbasis wilayah harus selalu merupakan padanan dari upaya peningkatan kualitas SDM yang terdidik, yang mampu mengikuti corak dan dinamika yang berkembang secara cepat, ekstensif dan mendunia.
Maka untuk itu perlu kemauan yang keras untuk mengubah pola pikir dalam sistem pendidikan kejuruan agar dapat mengejar ketertinggalan dalam menyiapkan SDM yang berkualitas. Kebijakan yang dituangkan dalam buku “Keterampilan menjelang 2020, Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Industri” oleh Anonimous (1997) merupakan salah satu pemikiran besar dalam bidang pendidikan kejuruan. Kebijakan tersebut perlu diformulasikan lebih lanjut ke dalam bentuk perencanaan strategis, sehingga dapat diimplementasikan dalam berbagai tahapan kegiatan yang sistematis, terprogram dan berkesinambungan oleh Pemerintah baik daerah maupun pusat.
Saat ini industri yang yang akan tampil ke depan adalah industry mobil ESMKA Solo yang diorbitkan oleh wali kota Solo-Joko Widodo (Calon Gubernur DKI terpilih 2012-2017). Saya kira pemerintah daerah kita Aceh Tengah tidak perlu pasang gengsi untuk meminta kerja sama dengan wali kota Solo dalam menjalin kerja sama bidang otomatif karena produksi seperti itu mampu meningkatkan nama daerah sekaligus menekan angka pengangguran. Dengan demikian, saya menghimbau kepada seluruh masyarakat dataran tanah tinggi Gayo ini (Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Luwes) sudah tiba saatnya untuk melirik SMK dengan jurusan teknik dengan harapan dapat bekerja mandiri. Smk Menjadi Harapan Kita Semua.(ihsandarul[at]gmail.com)
*Guru SMAN 1 Takengon, Dosen STAIN GP dan Dosen PPs UT Pokja Aceh Tengah