Pencerdasan Pemilih

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Tidak lama lagi, pemilu kepada daerah (pemilukada) akan dilangsungkan di Aceh Tengah dan pelbagai kabupaten/kota, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur di Aceh. Bakal calon pun sudah mulai terdengar dalam masyarakat seperti Iklil Ilyas Leube, Mursyid, Bazaruddin Banta Mude-Rasyidin Sali, Nasaruddin-Khairul Asmara,  Mahreje Wahab, Wahab Daud-Sugeng, Abulya, dan Muslim Ibrahim. Dari nama-nama tersebut, ada yang wajah lama seperti Nasaruddin (yang sedang memegang jabatan sekarang-incumbent), Mursyid (calon wakil bupati pada pemilihan sebelumnya), dan Mahreje Wahab (pemenang nomor 2 pemilu sebelumnya).  Sebaliknya,  ada pula wajah baru—meski beberapa diantaranya sudah dikenal masyarakat—mulai dari Iklil Ilyas Leube, Bazaruddin Banta Mude-Rasyidin Sali, Wahab Daud-Sugeng, Abulya, dan Muslim Ibrahim.

Pastinya, masyarakat perlu mengetahui dan dipahamkan soal track record (rekam jejak) calon reje Takengen ini ke depan. Upaya pensosialisasian ini bisa dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilukada, LSM, organisasi kepemudaan, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil lainnya secara jujur, adil, fair, dan terbuka (tanpa keberpihakan). Bentuk kegiatannya bisa dalam bentuk debat antarkandidat, diskusi langsung dengan pelbagai masyarakat sipil, dan lain-lain. Lebih dari itu, pada saat dan kesempatan yang lain, diundang ke kampung-kampung. Pada saat yang sama, masyarakat terutama yang punya hak pilih pun hadir menyaksikan kegiatan tersebut. Alhasil, mereka—pemilih—bisa melihat, mendengar, dan menilai dengan kritis calon bupati yang ada sebelum mereka menjatuhkan pilihannya.

Pengenalan tersebut dipandang perlu, sehingga masyarakat bisa mengetahui sosok pemimpin yang akan memimpin mereka; mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan prestasi sekolah (kuliah sampai sekarang), kerja, partisifasi organisasi dan kegiatan sosial-agama-kemasyarakatan. Lebih kritis lagi, ikut mempertanyakan, “Apakah yang bersangkutan pernah tersandung kasus hukum dan moral misalnya?” dan sederet pertanyaan lainnnya. Termasuk, incumbent terkait realisasi visi dan misinya sebelumnya “Menghalau kemiskinan dan Mendatangkan kesejahteraan masyarakat Aceh Tengah.” Sudahkah kemiskinan bebas dan masyarakat Aceh Tengah sejahtera selama incumbent menjabat? dan hal-hal lain yang menyangkut calon-calon tersebut.

Minim Sosialisasi

Belakangan, pengenalan calon bupati dan wakil bupati ini dinilai masih sangat kurang. Masyarakat kemungkinan hanya tahu sebatas “kulit luar” dari calon. Misalnya, calon A pernah sebagai anggota DPRK, kepada dinas, asisten, pengurus partai, dan sebagainya. Sementara “kulit dalam” calon tidak terlalu dilihat secara jauh/mendalam oleh masyarakat. Meski saat ini masyarakat sudah lebih cerdas. Namun, kondisi tersebut belumlah cukup dan secara umum mereka belumlah matang. Dan tentunya, upaya-upaya pencerdasan-pencerdasan politik perlu terus dilakukan.

Di sisi lain, kemungkinan permainan politik uang masih tetap ada pada pemilukada tahun ini. Politik uang ini sendiri tidaklah baik bagi kehidupan berdemokrasi dan bermasyarakat dalam konteks keaceh-tengahan. Secara sederhana, orang yang memberi, pasti ada embel-embel dibelakangnnya dan mengharapkan uangnya kembali. Bila masyarakat mengamini politik uang ini–serta merta memilih yang memberi uang—maka, masyarakat sendiri yang akan dirugikan. Lebih jauh lagi, harga diri pemilih pun cukup lah rendah (sudah tergadaikan). Satu suara dibeli seratus ribu rupiah misalnya, tinggal dibagi 365 hari (satu tahun) dan dikalikan selama 5 tahun. Artinya, selama bupati menjabat, suara pemilih hanya dihargai Rp. 54.794521. Itulah nilai dan harga pemilih yang sesungguhnya. Dimanakah harga diri kita?

Lebih-lebih, sebelum naik termasuk dalam proses kampaye di lapangan, yang bersangkutan “berhutang” pada para pejabat dan kontraktor (pemodal). Belum lagi deal-deal tertentu dengan partai politik pengusungnya. Otomatis, ketika menjabat pun, bupati terpilih tidak lagi concern mengurusi daerah, lupa akan janji-janji, amanah, dan tanggung jawabnya selaku pemimpin yang dipilih rakyat. Sebaliknya, yang dia pikirkan adalah bagaimana mengembalikan uang yang sudah keluar melalui fee proyek yang diberikan kepada kontraktor/pemodal misalnya, bagi-bagi jabatan, dan dalam bentuk pengembalian lainnya. Bila ini terjadi, seorang bupati dan wakilnya hanyalah simbol.  Sementara itu, dalam proses berlangsungnya pemeritahan, reje dikendalikan sama orang-orang yang berkepentingan sebagai imbas balas budi dan jebakan permainan politik uang. Kalau sudah demikian, jangan harap clean dan good government akan tercipta. Karena, dalam penempatan pejabat pun [jalannya roda pemerintahan secara umum] lebih didasarkan pada rasa (“suka-suka”), kedekatan keluarga, clan, partai, dan kelompok tertentu. Lebih dari itu, kualitas dan kompetensi bukan lagi ukuran karena dalam prosesnya saling sandera menyandera. Karena, “sisi gelap” bupati terpilih ada sama orang-orang di sekelilingnya [yang berkepentingan tadi].

Oleh karena itu, upaya memahamkan masyarakat tadi mutlak diperlukan. Pada akhirnya, akan terseleksi pemimpin yang ideal menurut peraturan perundang-undangan, nilai-norma yang berlaku [adat istiadat Gayo], dan keinginan masyarakat sendiri. Kalaupun bukan yang terbaik. Minimal, yang lebih baik dari yang terburuk. Dengan demikian, masyarakat tidak akan salah memilih.

Pencerdasan Dini

Karena masih terbatasnya upaya pensosialisasikan calon pemimpin seperti belakangan, sudah sepatutnya upaya pencerdasan-pencerdasan dilakukan. Lebih tepat lagi, bila upaya pembelajaran dan pencerdasan politik dimaksud dimulai dari keluarga masing-masing. Walaupun pada akhirnya, penetapan pilihan berbeda satu sama lain. Bila proses ini terus berjalan, dengan sendirinya lingkungan ketetatanggaan dan masyarakat dalam lingkup kekabupatenan akan ikut pula tercerdaskan. Dengan adanya inisiatif dan keproaktifan, masyarakat tidak akan pernah lagi dibodoh-bodohi dan ditipu dengan janji-janji semu dan tidak akan menyesal di kemudian hari (patut polan no tengaha geh)

*Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments


Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627

News