SEBAGAI karya sastra yang muncul keranah publik, umumnya selalu dilihat dari dua sisi, yaitu nilai estetis dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya wujud ini menjadi bahan apresiasi sekaligus bahan bacaan alternativ bagi khalayak. Nilai yang dimasud adalah edukasi kebahasaan dengan tanpa mengabaikan estetika dan pesan moral penulisnya terhadap nuansa dan realita yang ada.
Penyairnya menyadari bahwa ekspresi semacam ini akan menjadi bahan diskusi menarik dikalangan penikmat, pencinta, pengamat atau bahkan dikalangan kritikus sastra. Karena adaptasi bahasa ke dalam bahasa di luar ekspresi teks asalnya sedikit banyak akan “mengubah” muatan nilai estetik verbal dan estetisme nilainya. Meski belum tentu merambah pada kontek makna tekstual dan konteks penciptaan. Setidaknya wujud puisi dalam tiga bahasa ini akan memberi ruang dan tafsir baru terhadap sebuah apresiasi hasil karya sastra.
Bukan saja karena antologi dengan penggunaan bahasa Gayo, Indonesia dan Inggris ini termasuk sebagai buku sastra pertama di Indonesia. Tetapi semangat dan kontribusi para penulisnya mengusung sebuah visi yang jauh kedepan, yaitu mengaktualisasikan karya sastra yang bersifat lokal dan tradisional keranah “pemakluman” yang lebih luas.
Dalam sejarah sastra Indonesia, tidak sedikit karya-karya baik berupa puisi, novel, naskah teater bahkan karya ilmiyah yang telah diterjemahkan kedalam bahasa asing, dan tentu tidak sedikit pula karya-karya penulis asing dengan berbagai bentuk dan genre telah pula diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Semua tentu dengan pertimbangan perluasan ruang apresiasi dan penikmat. Hal ini bukan saja bagian dari sebuah keinginan para penulisnya akan karyanya yang dapat dinikmati di luar komunitas, teritori dan budayanya sendiri, tetapi lebih kepada saling berbagi.
Terkait perubahan nilai estetisme yang mungkin terjadi sebagai akibat dari media aktualisasi yang berbeda menjadi sebuah keniscayaan, karena bukankah setiap nilai yang terkandung dalam karya manusia yang bernilai akan menjadi universal. Terlebih setiap orang mempunyai hak untuk berinteraksi secara lebih luas melalui karyanya.
Perubahan teks dalam buku ini tentu telah diperhitungkan sebelumnya. “Secidera” apapun sebuah karya yang dialih bahasakan, tumpuan utamanya tentulah tetap pada makna serta pada proses pengalihan nilai dan muatan pesannya. Sehingga pembaca dari berbagai basic bahasa ibu di dunia semakin didekatkan dengan muatan setiap karya.
Demikian halnya dengan antologi _PASA_ ini yang mentranslit karya sastra puisi kedalam bahasa Gayo, Indonesia dan Inggris. Perubahan estetisme tidaklah terhindari, terlebih transliterasi ini lebih bersifat subjektif karena dilakukan oleh interpretator yang mengacu kepada transliterasi berdasarkan dua pemahaman, yaitu leterleg dan sastrawi.
Bentuknya jelas, interpretasi penulisnya subjektif, tetapi pesan dan nilai yang ingin ditularkan nyata, yang berangkat dari sebuah perenungan yang tidak sebentar.
Hal lain yang perlu diapresiasi tinggi dan dicatat adalah pilihan bahasa Gayo yang menjadi pilihan dari transliterasi kumpulan ini, adalah suatu yang fenomenal dan baru, yang belum pernah dilakukan oleh penulis manapun yang mengagungkan bahasa ekspresi ibunya, BASA GAYO.(salmanyoga[at]yahoo.co.id)
*Seniman