Qanun Wali Nanggroe dan “Neopatrimonialisme”

Oleh: Muhamad Hamka*

AKHIRNYA, Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe disahkan menjadi qanun. Seperti yang diberitakan oleh Harian Serambi Indonesia (5/11/2012), DPRA mengesahkan Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe menjadi Qanun Wali Nanggroe pada Jumat (2/11/2012) sore dalam Sidang Paripurna III di Gedung Utama DPRA.

Raqan paling “seksi” dalam jagad demokrasi Aceh ini disahkan menjadi qanun melalui perdebatan serius, baik di gedung parlemen Aceh (DPRA) maupun di parlemen jalanan (lewat aksi unjuk rasa elemen masyarakat Aceh). Perdebatan yang mempersoalkan “fasih berbahasa Aceh bagi calon Wali Nanggroe (WN) dan tentang tak dijadikan uji tes baca Quran sebagai syarat pencalonan seorang WN”, berhasil diabaikan oleh politisi di DPRA dengan menggunakan logika demokrasi mayoritas.

Sebagaimana yang dilansir Serambi Indonesia (5/11/2012), poin mengenai klausul soal fasih berbahasa Aceh bagi calon Wali Nanggroe banyak dikritisi publik, karena didalam raqan tidak diperinci bahasa Aceh mana yang dimaksud, mengingat di Aceh sendiri terdapat terdapat 13 bahasa, termasuk bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan Aneuk Jamee.

Logika Minus

Kita patut menyoal “logika minus” anggota DPRA yang memutuskan sebuah produk hukum tanpa memerhatikan secara serius aspirasi publik yang merasa keberadaanya di Aceh di zalimi oleh kehendak (politik) kelompok mayoritas. Karena jelas, frasa fasih berbahasa Aceh bagi calon WN ini tak hanya mereduksi khasanah Aceh yang plural tapi juga memperlihatkan kepada publik Indonesia bahwa elite politik Aceh sedang mempraktikkan korupsi kekuasaan atau yang dikenal dengan “neopatrimonialisme” (Bratton & Van de Walle, 1994) sebagaimana yang dikutip M. Amien Rais dalam Jurnal Salam Vol.3 No. 1/2000.

Boleh saja anggota DPRA sebagaimana dikutip Serambi Indonesia (5/11/2012) berapologi, bahwa frasa bahasa Aceh yang dimaksud adalah “semua bahasa Aceh yang hidup dan terdapat di Aceh, termasuk bahasa Gayo dan lainnya.” Namun nalar masyarakat sudah cerdas mencerna bahwa itu adalah retorika yang tak logis dan dipaksakan untuk menutup agenda yang sebenarnya.

Penulis berpandangan bahwa pemaksaan frasa fasih berbahasa Aceh bagi calon WN oleh anggota parlemen Aceh yang bukan sebuah kebetulan di dominasi oleh fraksi Partai Aceh (PA), merupakan upaya kelompok tertentu memapankan hegemoni kekuasaan, disamping mencederai kemajemukan Aceh dengan pelbagai entitas etnis yang tentunya memiliki perbedaan; bahasa, budaya dan lain sebagainya.

Pemaksaan frasa fasih berbahasa Aceh bagi calon Wali Nanggroe ini akan menimbulkan sejumlah kosekwensi. Pertama, Wali Nanggroe (WN) yang kehadirannya diharapkan sebagai figur pemersatu di Aceh dan sebagai penanda otentisitas Aceh, akan kehilangan marwah dan legitimasi sosiologis, disebabkan ada kelompok masyarakat di Aceh yang tak merasa memiliki WN, karena eksisitensi mereka di bumi Aceh di zalimi oleh Qanun WN ini.

Sehingga Wali Nanggroe (WN) yang seyogianya sebagai pengayom bagi semua elemen masyarakat di Aceh berubah sebagai pengayom eksistensi kekuasaan kelompok tertentu di Aceh. Konklusinya, tak ada langkah maju dalam memperkokoh persatuan di Aceh dengan kehadiran Wali Nanggroe, selain menguntungkan kelompok tertentu. Sehingga sangat mungkin, kehadiran WN yang cendrung parsial ini semakin memicu proses “disintegrasi” masyarakat di dataran tinggi Gayo dan masyarakat di Barat-Selatan Aceh untuk membentuk provinsi sendiri. Sesuatu yang sebetulnya tak dikehendaki oleh elite politik Aceh itu sendiri.

Kedua, pemaksaan kehendak kelompok mayoritas ini juga sangat mungkin menyuburkan korupsi kekuasaan, karena bangunan kekuasaan yang berotasi dalam kapling kelompok tertentu. Hal ini sudah disentil oleh Lord Acton jauh sebelum demokrasi menemukan habitusnya di Aceh, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan itu cendrung korup, dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula. Dampak selanjutnya dari praktik korupsi kekuasaan ini adalah ketidakadilan.

Paradoks

Ini tentunya paradoks, mengingat perjuangan mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 30 tahun lebih dengan tetesan air mata dan darah rakyat Aceh, substansinya adalah menuntut keadilan dari Jakarta. Namun ironisnya, disaat perjuangan ini menuai hasil, justru ketidakadilan dengan modus baru yang dirasakan oleh sebagaian rakyat di Aceh. Dan ketidakadilan ini bukan lagi datang dari Jakarta, namun justru dipraktikan oleh elite politik Aceh itu sendiri.

Korupsi kekuasaan ini adalah virus yang bisa menghambat pembangunan Aceh kedepan. Untuk itu, kita mengharapkan pengorbanan politik (political sacrifice) dari elite mantan pejuang GAM—baik WN, Gubernur-Wakil Gubernur Aceh dan anggota DPRA PA yang mendominasi parlemen Aceh—agar senantiasa mendahulukan kehendak publik dalam aktus kekuasaannya.

Akhirnya, mengutip anggitan reflektif Bung Karno, janganlah lupa demi tujuan kita, bahwa pemimpin berasal dari rakyat bukan berada diatas rakyat.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)

* Analis Sosial & Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments