PENDIDIKAN merupakan mata air kearifan. Pendidikan juga merupakan kunci membuka kotak kebijaksanaan. Namun, dalam perjalananya selama ini pendidikan tidak jarang direduksi hanya sekadar sebagai mesin pencipta robot. Akibatnya, kearifan dan kebijaksanaan pelan-pelan mulai menghilang dari aktus kehidupan sebagaian besar orang terdidik.
Perilaku korupsi yang sudah membudaya, tawuran yang marak, geng motor, kejahatan plagiasi yang mulai membangun habitus, kepribadian yang terpecah, hingga kearifan lokal yang mulai tergerus adalah beberapa contoh faktual dari hilangnya kearifan dan kebijaksanaan dalam rekam-jejak pendidikan di Indonesia selama beberapa dasawarsa. Memang ada segelintir pendidik yang focus pada membangun kearifan dan kebijaksanaan, tapi mereka berada pada pinggiran kekuasaan.
Sepanjang kekuasaan Orde Baru yang mengusung jargon pembangunanisme, pendidikan Indonesia diarahkan sebagai institusi mencetak robot pekerja. Sehingga pendidikan hanya focus membangun aspek kognitif. Sementara aspek psikomotorik dan afektif diabaikan untuk tidak dikatakan sebagai pelengkap.
Sehingga tak heran kalau dalam mind set sebagaian besar manusia Indonesia melihat dan memahami bahwa anak cerdas adalah anak yang memperoleh nilai yang bagus dalam pelajaran sekolahnya. Tidak soal apakah mentalnya bobrok, tak soal apakah sikapnya amburadul yang penting ia memperoleh nilai yang bagus.
Akibat pengagungan yang berlebihan pada aspek kognitif, akhirnya pendidikan Indonesia kehilangan sentuhan manusiawi. Sikap mental yang manusiawi menjadi terpinggirkan, dimana semua orang kalau membicarakan pendidikan maka yang dijadikan patokan adalah berapa nilai rapor atau berapa indeks prestasi kumulatifnya (IPK). Seolah-olah kualitas kemanusian hanya ditentukan oleh angka-angka tersebut.
Pengagungan pada aspek kognitif ini berimplikasi pada salah kaprah dalam memandang kecerdasan anak didik. Dimana kecerdasan anak didik (kecendrungan besarnya) hanya diukur secara matematis-logis. Padahal kecerdasan itu ada banyak dimensinya, tak hanya terbatas dalam kecerdasan logis-matematis. Tapi masih banyak kecerdasan lain yang sudah pasti dimilki oleh semua anak sebagai rahmat dari Sang Pencipta.
Munif Cahatib, Gurunya Manusia (2011), dengan mengikut Howard Garner memetakan delapan kecerdasan, yakni:
Pertama, kecerdasan linguistik. Adapun komponen inti dari kecerdasan linguistik adalah kepekaan pada bunyi, struktur, makna, fungsi kata, dan bahasa. Sementara kompetensi dari kecerdasan linguistik ini adalah kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi dan berdebat.
Kedua, kecerdasan matematis-logis. Adapun komponen inti dari tipe kecerdasan ini adalah kepekaan memahami pola-pola logis atau numerik dan kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang. Sementara kompetensinya adalah kemampuan berhitung, bernalar dan berpikir logis, memecahkan masalah.
Ketiga, kecerdasan visual-spasial. Adapun komponen inti dari kecerdasan spasial-visual ini adalah kepekaan merasakan serta membayangkan dunia gambar dan ruang secara akurat. Sementara kompetensinya adalah kemampuan menggambar, memotret, membuat patung dan mendesain.
Ke-empat, kecerdasan musik. Adapaun komponen inti dari tipe kecerdasan ini adalah kepekaan menciptakan dan mengapresiasi irama, pola titi nada, dan warna nada serta apresiasi bentuk-bentuk ekspresi emosi musical. Kompetensinya adalah kemampuan menciptakan lagu, membentuk irama, mendengar nada dari sumber bunyi atau alat-alat music.
Kelima, kecerdasan kinestitis. Komponen inti dari jenis kecerdasan ini adalah kepekaan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengelolah objek, respons dan refleks. Kompetensinya adalah kemampuan gerak motorik dan keseimbangan.
Ke-enam, kecerdasan interpersonal. Komponen intinya adalah kepekaan mencerna dan merespons secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain. Adapun kompetensinya adalah kemampuan bergaul dengan orang lain, memimpin, kepekaan social yang tinggi, negoisasi, bekerja sama, dan punya empati yang tinggi.
Ketujuh, kecerdasan intrapersonal. Komponen inti kecerdasan model ini adalah kepekaan memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Sementara kompetensinya adalah kemampuan mengenali diri secra mendalam, kemampuan intuitif dan motivasi diri, penyendiri, sensitive terhadap nilai diri dan tujuan hidup.
Kedelapan, kecerdasan naturalis. Komponen inti dari tipe naturalis ini adalah kepekaan membedakan spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antar beberapa spesies. Adapun kompetensinya adalah kemampuan meneliti gejala-gejala alam, mengklasifikasi, dan mengidentifikasi.
Setiap anak sudah pasti memiliki potensi bawaan sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa. Sehingga setiap anak pasti memiliki kecerdasan. Tinggal bagaimana dunia pendidikan kita dalam hal ini guru, mampu melejitkan potensi kecerdasan yang ada pada diri anak didiknya. Juga yang tak kalah penting adalah peran orang tua untuk menyuburkan potensi yang ada pada diri anak. Sehingga mereka akan menemukan kondisi akhir (profesi) terbaiknya sesuai dengan potensi kemanusiaan yang mereka miliki.
Profesi yang memang sejalan dengan kehendak nuraninya. Profesi yang manusiawi karena sejalan dengan potensi kemanusiaan yang di berikan oleh Sang Khalik. Sehingga dengan profesi yang berangkat dari lejitan potensi (kemanusiaan) ini akan membuat mereka menjadi generasi yang manusiawi, yakni generasi yang bermoral dan bertanggung-jawab terhadap fitrah kemanusiaanya.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
* Pemerhati Pendidikan