Yusradi Usman al-Gayoni*
Meski tahapan resmi pemilu kada belum ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, namun hawa panas untuk memperebutkan Takengon 1 kian terasa di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Kondisi ini tidak saja terjadi di Takengon, tetapi terjadi juga di kabupaten/kota lainnya di Aceh. Pelbagai nama bakal calon bupati ke-20 Aceh Tengah terus bermunculan. Sampai saat ini, ada 12 paket “yang menyatakan” maju dalam pemilu kada mendatang, mulai dari Abulia Ibrahim, Basri Arita-Ishak MS, Bazaruddin Banta Mude-Rasyidin Sali, Iklil Ilyas Leube, Mahreje Wahab, Mursyid, Muslim Ibrahim, Mustafa Alamy, Nasaruddin-Khairul Asmara, Syafaruddin, Wahab Daud-Sugeng, sampai Zulkifli Rahmat-Ismaniar (secara alfebetis).
Kemungkinan, masih ada nama-nama lain yang akan ikut menjagokan diri. Saat ini, mereka—yang belum mendeklarasikan diri—masih “malu-malu” dan menghitung-hitung untung rugi dan kalah-menang sebelum bertarung. Walaupun [pada akhirnya], bisa jadi, tidak akan semua bakal calon bisa bertahan. Karena tidak adanya dukungan partai politik. Juga, tidak cukupnya KTP yang disyaratkan bagi calon independen. Bisa dibayangkan, berapa banyak KTP yang dibutuhkan? Kemungkinan besar, masyarakat pun akan jual mahal sebelum memberi KTP-nya. Karena, mereka pun sadar, inilah kesempatan mereka untuk didekati dan dilayani. Andaikan pemilu kada sudah selesai, seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, mereka pun siap-siap untuk “ditinggalkan” dan “dilupakan”. Belum lagi soal “beli-membeli” partai politik, nilai dan posisi tawar, dan lain-lain. Sudah barang pasti, menuntut strategi, pikiran, energi, dan kerja lebih dari bakal calon.
Terlepas dari siapa pun yang mencalonkan, dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan sudah mengganggap diri mereka pantas, mampu, berkualitas, mumpuni, bisa jadi tauladan dan mengimami rakyat secara keseluruhan. Disamping itu, dapat bertindak jujur, adil, amanah, berintegritas, dan tanggung jawab. Lebih dari itu, lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, keluarga [istri, anak, keluarga pihak pedih dan ralik], partai politik, tim sukses, dan klan (belah) tertentu. Secara singkat, dapat menjadikan Takengon lebih baik dari kondisi yang ada sekarang.
Di sisi lain, diharapkan pemilu kada kali ini dapat berjalan dengan jujur, terbuka, baik, lancar, dan sesuai dengan aturan main yang berlaku (pemilu kada damai). Seringkali, dalam proses pemilu kada dan pemilu legislatif, terjadi gesekan-gesekan dan konflik antarcalon, partai politik, pendukung, dan masyarakat di tingkat bawah (grass root). Bahkan, bisa meluas jadi konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Barangkali, konflik horizontal tidak terjadi di Takengon. Tentu, situasi demikian tidak diharapkan terjadi. Dalam konteks Takengon, dari amatan pada pemilihan legislatif 2004 dan 2009 serta pemilu kada 2007 yang lalu, disharmoni terjadi antarcalon, partai politik, dan pendukung. Bahkan, dampaknya sampai berkepanjangan seperti api dalam sekam. Bahkan, dalam satu keluarga saling bermusuhan, tidak bertegur sapa, dan memutuskan silaturrahmi [bedéwé dan perangkam sabé diri). Seolah, yang bersangkutan lah yang sesungguhnya bertarung dalam pemilu kada. Inilah salah satu imbas politik yang tidak sehat dan amoral. Sekali lagi, situasi tersebut diharapkan tidak terjadi lagi dalam pesta demokrasi kali ini.
Oleh karena itu, kebijakan, kematangan, dan kedewasaan dari bakal/calon harus dikedepankan. Saat yang bersamaan, menginstruksikan hal yang sama pada tim sukses—termasuk keluarga—yang bergerak di lapangan. Sehingga, gesekan-gesekan dan benturan-benturan seperti yang digambarkan di atas selama pemilu kada tidak akan terjadi. Contoh sederhana, mu jégé cérak [menjaga lisan yang baik, benar, dan berkonteks]. Konsekuensinya, tidak memancing amarah dari bakal/calon dan tim sukses lainnya. Kebalikannya, yang harus diutamakan adalah lisan yang menyejukkan (jéroh dan lemut), menghargai, dan menghormati satu sama lain (mu bétihi sumang).
Selain itu, tidak saling besisuet^ten [membuka aib lawan] dan besikotek^kén [menjelek-jelekkan/membusukkan). Bahkan, sampai membunuh karakter. Dalam hal ini, masyarakat harus banyak tahu soal calon-calon yang maju. Sebagai tambahan, masyarakat yang punya hak pilih juga harus jujur, objektif, dan bijak menilai kelebihan dan kelemahan masing-masing calon. Pasalnya, dalam setiap kelemahan, ada kelebihan yang dimilikinya. Sebaliknya, dalam setiap kelebihan, ada pula kekurangannya. Dengan demikian, sekiranya ada calon tertentu yang dijelek-jelekkan, masyarakat sudah bisa menilai dan tahu latar belakang personal calon-calon tersebut.
Ukén-Toa
Disamping itu, baik dalam pemilu kada maupun dalam pemilihan legislatif, isu ukén-toa sebaiknya tidak diperbesar. Bukan rahasia umum lagi bahwa ukén-toa ini masih menggejala dan merupakan hal yang sensitif di Takengon. Bahkan, dari pengalaman penulis, hawanya sampai dan terasa pula di perantauan. Menurut Prof. H. Muhammad Daud, S.H. alm dalam penuturannya kepada penulis (2003) bahwa yang memelihara ukén-toa adalah “orang-orang yang tidak beradab” (rasis kampungan-meminjam istilah Yusra Habib Abdul Gani). Dalam praktiknya, Prof. Daud yang pernah menjabat sebagai Direktur II Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dan salah satu pendiri SMA Negeri 1 Takengon sekarang, menambahkan bahwa isu ini—ukén-toa—sering dipakai untuk kepentingan politik oleh sebagian elit politik, termasuk orang tua [yang sudah sepuh] di Takengon.
Berangkat dari pernyataan Prof. Daud alm tersebut, jangan sampai, ukén-toa menjadi tembok penghalang dalam perkembangan dan kemajuan Takengon. Dan dalam pemilihan ini [setiap pemilu kada dan pemilihan legislatif] ukén-toa tidak dikedepankan [lebih luas lagi, dalam konteks kegayoan, muncul pula perbedaan-perbedaan antara lut, deret, lokop/serbejadi, gayo-alas, lues/belang, dan kalul]. Sebagai akibatnya, tidak memicu konflik dan pada akhirnya masyarakat pun “tidak dibentur dan dikorbankan.” Orang [etnik] dan daerah lain sudah jauh maju. Sementara, kita—orang Gayo khususnya—masih terjebak dalam ukén-toa, mau dipecah-belah dan ternyata konsepsi Snouck masih melembaga dalam masyarakat kita sampai saat ini. Di sisi lain, dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, kita masih berusaha untuk saling mengenal dan belajar merangkak untuk berkembang [demikian untuk Gayo secara keseluruhan]. Kiranya, sudah cukup pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang kemudian menjadikan kita tertinggal dan jadi orang-orang yang kalah (genap si mulo, agih si bélém). Dalam pemilu legislatif—untuk DPRA, DPR dan DPD RI 2009—yang lalu misalnya, berapa banyak kah wakil-wakil dari daerah ini [Takengon dan Gayo umumnya] yang duduk di lembaga tersebut? Hendaknya, kita—masyarakat, terlebih elit politik—bisa sadar dan belajar dari sejarah. Sayangnya, kita—dan kebanyakan masyarakat, termasuk elit politik—tidak pernah mau belajar dari sejarah.
Oleh sebab itu, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, ukén-toa [lebih luas: lut, deret, lokop/serbejadi, gayo-alas, lues/belang, dan kalul] dapat dijadikan sebagai sebuah kekuatan dan menjadikan Takengon lebih berwarna. Lebih dari itu, kita—masyarakat, lebih-lebih lagi, generasi muda—harus menolak bakal/calon yang mengedepankan ukén-toa. Semata, untuk Takengon yang lebih baik, bermarwah, dan bermartabat. Saling mengenal, menerima, dan menghargai satu sama lain. Sebanyak apa pun seruan ke arah perubahan dan dukungan aturan-aturan yang ada, selama mind set, prilaku, dan dalam praktik kepemimpinan bakal/calon—umumnya, elit politik—masih ber-ukén-toa, maka Takengon akan sulit berkembang dan maju secara signifikan [demikian halnya untuk Gayo secara keseluruhan]. Siapa pun reje yang terpilih dan dalam perjalanan kepemimpinannya nantinya; latar belakang pendidikan, kualitas, kompetensi, kinerja, integritas, moralitas, dan profesionalitas harus dikedepankan. Khususnya, dalam penempatan pejabat—sampai camat—dengan tidak memandang ukén-toa. Lebih-lebih lagi, keluarga [istri, anak, keluarga pihak pedih dan ralik—pemili centris], partai politik, dan tim sukses. Singkatnya, the right man on the right place. Bukan sebaliknya, the wrong man on the wrong place (manajemen pemerintahan yang berbasis rasa, suka-suka, dan keluarga besar). Pada akhirnya, seiring dengan pergantian waktu, daerah ini [umumnya tanoh Gayo] bisa lebih baik, bermarwah, dan bermartabat. Semoga!
*Wakil Ketua DPD KNPI Aceh Tengah (2007-sekarang) dan Koordinator Divisi Sosial Budaya Forum Penyelamatan Lut Tawar (November 2009-sekarang)