Oleh: Jauhari Samalanga*
Bagi Orang Gayo, Didong sangat terkenal dan sudah menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Gayo yang berada di tiga Kabupaten yakni Bener Meriah, Takengon, dan Gayo Lues. Dan kesenian tepok ini sangat diminati masyarakat, sehingga menjadi kesenian pemersatu sejak dulu kala.
Tepok dalam pemahaman etnomusikologi, dikenal sebagai alat kesenian tertua sejak manusia ada, dan Gayo—kabupaten di pedalaman Aceh—memiliki kesenian Didong sepenuhnya memakai music dari buyian tubuh, seperti tupukan dan voice.
Didong memang sudah bisa dikategorikan sebagai kesenian yang maju dan bertahan sebagai seni tradisional, karena seni yang juga terbilang seni tutur ini bagai sudah mendarah daging dilingkungan masyarakat Gayo. Dari orang tua hingga ke anak-anakdan juga perempuan, kesenian Didong ini difengar dan dimainkan dengan spontan. Itu sebabnya didong secara berkelanjutan selalu memiliki generasi tangguh yang disebut ‘ceh Kucak”.
Dan yang selalu menjadi perdebatan dilingkungan Gayo, dari waktu ke waktu didong punya masalah etika, lantaran charisma lirik yang dimainkan menurun dan berbeda dengan karya didong seniman didong terdahulu. Ini lantaran ‘rasa’ lirik sekarang yang dianggap tidak cukup penghayatan dan mengada-ngada. Kalau pengarang dulu memang lebih menggunakan istilah-istilah dalam menyindir lawan, tapi sekarang tidak, lebih pada syair yang vulgar dan menyakiti.
Soal syair ini memang sudah menjadi fenomena Didong sejak lama. Bahkan pada sebuah tulisan yang dimuat Majalah Hariyetentang profil Ceh Ecek Bahim menyebutkan, ceh-ceh sekarang malu bertanya dan berguru pada orang-orang tua, itu sebabnya kualitas syair dalam didpng pun menurun drastic.
Dalam analisa saya pribadi, Ceh Didong sekarang memang menurun standarisasi berdidongnya, lantaran ceh-ceh yang ada terpaku pada populeritas klup. Artinya dalam sebuah klub didong sudah menyimpan karya-karya besar dari Ceh pendahulunya. Dalam sebuah pertunjukan, biasanya ceh-ceh sekarang lebih menyanyikan lagu-lagu lama yang sudah popular, dan hanya mencampur dengan karya baru di sesi ‘bertarung’, lantas bagaimana nasib didong masa depan apabila karya-karya yang muncul hanya itu-itu saja. Sangat sedikit ceh yang menambah karya baru dalam didong mereka.
Kalau sudah begitu apakah kata-kata lama yang menyebutkan Gayo sebagai daerah seni dan memiliki banyak syair didong, bahkan orang menjulukinya sebagai daerah yang karya syair Didong mengalahkan jumlah penduduknya sendiri. Pertahanan untuk periodesasi karya, yampaknya sudah perlu di evaluasi dan berharap pemerintah Daerah perlu mengapresiasi karya-karya baru Didong di Gayo, agar karya-karya syair didong dapat berkembang. Sekarang situasinya kualitas didong memang turun pesat, akibat kebanggaan pada karya-karya lama dari orang tua dan kakek-kakek mereka.
Saya tidak yakin Klop-klop Didong di Gayo termasuk yang mampu membawa perubahan kesenian di Gayo, dan apabila soal kreatifitas diabaikan maka dapat dipastikan Didong akan bertemu dengan masa depan yang punya dekadensi berkesenian tinggi. Kalau itu terjadi, maka dipastikan Gayo akan kehilangan kreatifitas yang hasilnya dapat membuhuh Sesi dasar di Gayo. Hanya kesadaranlah yang mampu mengubah semua ini, termasuk menggiring ceh untuk berkarya menambah fariasi karya masa lalu yang indah. Untuk itu, mampukah Ceh Didong membanggakan karya-karya Didong lama yang bagus-bagus dengan karya didong sekarang yang indah-indah, kalau itu tercapai, maka keabadian Didong menjadi kebanggaan yang tak terhingga.
*Jauhari Samalanga, adalah Pengurus Dunia Melayu Dunia Islam Aceh, Wartawan the atjehpost dan penggagas Gayo Art Summit 2009.