Oleh: Ghazali Abbas Adan*
BEBERAPA hari lalu (13/01/2013) media massa di Aceh kembali memberitakan statement beberapa tokoh 6 daerah tentang wacana ALA yang dibumbui dengan kritik dan penolakan terhadap Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang sejak awal sudah menimbulkan kontroversi, hasil produk hukum asal-asalan dan akal-akalan.
Menurut saya munculnya kembali wacana demikian tidak boleh duanggap angin lalu oleh para petinggi pemerintahan Aceh, dan benar juga pendapat ketika merespons wacana dan kritik demikian harus jauh dari sikap apriori, arogan dan permusuhan.
Sayapun mengusulkan kepada para petinggi Aceh, selain tidak boleh apriori, arogan dan permusuhan, juga tidak monoton dan normatif ketika mengeluarkan pernyataan untuk hal berkenaan, seperti pernyataan LWN adalah amanah konstitusi. Suara-suara demikian dijamin dan dibolehkan dalam nagara demokrasi.
Bahwa tidak ada yang tidak mafhum, Lembaga Wali Nanggroe (LWN) adalah amanah konstitusi, dan mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan adalah hak warga negara dalam negara demokrasi. Namun perlu dengan cerdas dan bahasa yang gampang dipahami memberi penjelasan dan pencerahan. LWN yang menurut konstitusi hanyalah lembaga adat, mengapa dalam qanun menjadi lembaga menyerupai eksekutif sekaligus legislatif, memiliki hak imunitas, meniadakan syarat mahir dan fasih membaca Quran, istananya disiapkan nyaris sama dengan Gedung Putih (White House) di Washington DC.
Kalau ia hanya sebagai lembaga adat sebagaimana ketentuan kinstitusi, mengapa dalam banyak hal harus berbeda dengan lembaga Mejelis Adat Aceh (MAA) dan Mejelis Permusyawaratan Ulama (MPU) misalnya, bahkan menurut konstitusi sebagaimana dalam UUPA, lembaga MPU fungsinya lebih luas dibandingkan lembaga LWN. Lihat BAB XIX UUPA. Saya kira hal-hal tersebut perlu diperjelas oleh para para petinggi pemerintahan Aceh, baik eksekutif maupun kegislatuf. Selanjutnya apa yang menjadi dasar pemikiran, bahwa LWN lebih diperioritaskan dari lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM yang juga amanah konstitusi.
Padahal faktanya permintaan agar secepatnya dibentuk KKR sudah cukup lama dan terus menerus disuarakan banyak pihak. Terutama para korban konflik. Sedangkan untuk LWN, sepengetahuan saya tidak terdengar suara yang memintanya, apalagi untuk segera dan simsalabim diwujudkan. Hal ini boleh jadi, karena LWN hanya lembaga adat, maka masalah peradatan selama ini sudah ada MAA yang mengurusnya.
Khusus ketidakpastian pembahasan Qanun KKR oleh lembaga berwenang jangan lagi berdalih menunggu KKR Nasional, karena dalam konstalasi negara bangsa, Aceh memiliki asas lex specialis. Jangan ketika berupaya memenuhi syahwat diri, kelompok dan gengnya apit-apit awe berteriak lex specialis. Tetapi giliran untuk kepentingan rakyat jelata (mustadh’afin) melupakannya.
Kunjungi dan Berdialog
Selain adanya penjelasan dan pencerahan, juga semestinya petinggi Aceh berkenan pula mengunjungi kawasan-kawasan selain pantai timur dan sebagian pantai barat Aceh, bersilaturahmi dan berdialog dengan rakyat dan tokoh-tokoh masyarkat. Jangan hanya berkutat di kantor dan sering ke Jakarta atau wira wiri di seputar kawasan tertentu saja.
Untuk dapat bersiltaurahmi dan berdialog dengan rakyat, tanpa helikopter pun bisa. Hal ini singkron pula dengan program yang sudah dicanangkan membangun berbagai infrastrukturnya. Saya kira ala Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang kerap terun ke tengah-tengah rakyat jelata, dengan ekspresi populis, bersahaja dan ramah, serta tidak kelihatan centeng dengan atribut aneh-aneh dan wajah bringas bersamanya, melakukan silaturahmi dan dialog dengan rakyat tidak salah juga untuk dapat dilakoni petinggi pemerintahan Aceh. Memang dalam konteks geografis Jokowi lebih diuntungkan.
Tetapi demikianlah konsekuensi yang harus diterima sebagai hasil unjuk libido syahwat kekuasaan yang pernah diumbar sebelumnya. Jangan ketika dalam proses perburuan kekuasaan melakukan bermacam cara, disertai janji-janji muluk, tidak ada halal-haram. Namun setelah didapat menunjukkan sikap setengah hati, asal-asalan dan sektarian ketika melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Fungsikan MPU
Usul saya yang lain, karena silang pendapat berkaitan dengan LWN dan wacana ALA tidak boleh dianggap remeh, maka terhadap hal tersebut jangan sepenuhnya dibebankan kepada petinggi pemerintahan Aceh semata. Perlu juga peran Mejelis Permusyawratan Ulama ( MPU). Sebab menurut UUPA, MPU juga berfungsi menetapkan fatwa yang dapat mejadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan ekonomi.
Tentu ketika melaksanakan fungsiya itu bukanlah kerja bakti, tetapi dengan dana dari anggaran daerah. Dengan fungsi seperti ini, maka menurut saya MPU tidak hanya harus berbicara ihwal aliran sesat, duduk mengangkang di atas sepeda motor, tetapi juga masalah pemerintahan dan lain-lain sebagai mitra sejajar eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, MPU kiprahnya tidak hanya dalam batas isi “kitab kuning”, tetapi juga ihwal “kitab putih”.
Dengan ikut terlibat MPU ketika muncul silang pendapat dalam kehidupan rakyat yang heterogen di Aceh, insya Allah lembaga eksekutif dan legislatif yang menurut konstitusi merupakan mitra sejajar MPU menjadi lebih ringan melaksanakan tugasnya dalam rangka mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi seluruh rakyat di Aceh, yakni tenang beribadah, sejehtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.(ghazali.adan@gmail.com)
*Mantan anngota DPR-RI