Banda Aceh | Lintas Gayo – Seorang raja di Aceh, Raja Meureuhom Daya dari Kabupaten Aceh Jaya, Raja Saifullah, melalui Lintas Gayo, Rabu (30/01/2013) malam mengucapkan selamat atas penaubatan pemangku Reje (Raja) Linge ke XX Tgk. Iklil Ilyas Leube yang berlangsung Senin 28 Januari 2013 lalu di Buntul Linge Aceh Tengah.
“Selamat atas penaubatan yang mulia Reje Tgk. Iklil Ilyas Leube sebagai Reje Linge ke-20,” kata Raja Saifullah yang mengaku sejak lama melakukan penlusuran terhadap siapa keturunan raja-raja di Aceh.
Atas penaubatan Reje Linge XX tersebut, dirinya berharap bisa memperkuat Pemerintahan Aceh dan keberadaan Wali Nanggroe.
Selanjutnya Raja Saifullah meminta Pemerintah Aceh memfasilitasi keturunan raja-raja di Aceh yang pernah memimpin di Aceh.
“Keturunan raja-raja Aceh banyak dimiskinkan oleh perang dan konflik. Mereka adalah keturunan pejuang yang seharusnya dihargai,” kata Raja Saifullah.
Dia mengajak menyebut Reje Linge dan raja-raja lainnya didahului dengan kalimat “yang mulia”. Alasannya, karena menyebut yang mulia berarti menyampaikan do’a kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kemulian terhadap sosok raja.
“Mari membiasakan diri menyebut atau memanggil raja-raja kita dengan yang mulia, karena itu do’a,” ajak Raja Saifullah yang kedengarannya sangat berhati-hati mengeluarkan pernyataan.
Dia juga mengakui jika sebagian besar raja-raja di Aceh berasal dari kerajaan Linge, termasuk Meureuhom Daya. (LG003)
”Temuan Arkeolog di Gayo: Akhir Budaya Mesolitik, Awal Neolitik ”
Takengon, Aceh Tengah –
Temuan Arkeolog di Mendale, Peralihan Mesolitikum ke Neolitik (Eksavasi) di Ceruk Mendale dan Ujung Karang, Arkeolog dari Balai Arkeologi (BALAR) Medan berkesimpulan manusia pra sejarah di Takengon berumur 5000 tahun silam.
Menurut Drs. Ketut Wiradnyana, M.Sc, ketua tim penelitian, mengatakan, ditemukannya berbagai fragmen (kepingan) berbagai alat yang dipakai di ceruk Mendale, seperti , batu kapak persegi dan lonjong, gerabah dengan tehnologi rendah, yakni pemanasan dengan suhu rendah, menunjukkan taksiran hunian manusia prasejarah di dua ceruk tersebut berusia 5000 tahun lalu.
“Ditemukannya dua mata panah di ceruk Ujung Karang dan gerabah dibagian perut kerangka manusia tersebut, menunjukkan bahwa kehidupan pada masa tersebut sudah berburu dan memiliki realigi”, papar Ketut.
Hal itu, lanjut Ketut menunjukkan masa di akhir zaman mesolitik dan memasuki zaman neolitik. Zaman Neolitik merupakan zaman perkembangan teknologi dari batu kepada tembikar.
Untuk Mendale, sebut Ketut, akan dilakukan analisa carbon (Carbon dating) guna mengetahui tarik yang tepat secara ilmiah sementara untuk ceruk Ujung Karang dengan analisa pollen.
Dikatakan, kerangka manusia di Mendale, diduga berjenis kelamin laki-laki, dengan tinggi sekitar 165 cm.
“Kerangka di Mendale, istimewa karena berada dibagian paling tinggi di lokasi tersebut dan ditumpuk batu”, kata Ketut.
Hal ini diasumsikan, sudah ada struktur social pada masa itu.
“Mungkin kerangka yang ditemukan adalah tokoh atau sesepuh masyarakat pada masa itu”, sebut Ketut.
Kerangka manusia prasejarah di Takengon yang ditemukan dengan kaki dilipat, menurut ketua tim penelitian BALAR Medan, sama dengan temuan di Tamiang. Hanya saja di Tamiang sedikit berbeda karena kerangka dalam posisi miring.
Sementara untuk kerangka di Kebayakan, tengadah.
Masyarakat Gayo Lebih Primitif
Dari kacamata arkeologi dan antropologi, masyarakat gayo , menurut KetutWiradnyana, jauh lebih primitive dibandingkan suku lainnya.
“Contohnya, masyarakat gayo memiliki kerbau yang banyak. Tapi tidak bisa mengelolanya secara moderen. Pemilik kerbau yang memiliki asset jutaan hingga ratusan juta, kehidupannya sama dengan masyarakat biasa. SDA nya melimpah tapi tidak diolah. Berbeda dengan suku karo yang topografinya sama dengan Takengon, tapi lebih mampu memanfaatkan SDA”, kata Ketut.
Akibatnya, ungkap Ketut, orang gayo tidak memiliki identitas sejarah. “Identitas gayo tidak kuat. Harus dipertegas”, papar Ketut.
Karena tidak memiliki identitas yang jelas, idealnya sambung Ketut lagi, perlu merekonstruksi sejarah dengan melakukan penelitian ilmiah.
Dengan demikian, kata dia, sejarah tidak lagi hanya cerita atau dongeng (Folklore), seperti kisah kerajaan Linge.
Sama halnya dengan masyarakat Nias, sebut Ketut. “Masyarakat Nias tahun 1150 masih hidup di gua” katanya.
Untuk itu, Ketut menyarankan agar penelitian sejarah gayo, harus dimulai demi mempertegas sejarah secara ilmiah bukan lagi folklore..
Ketut mengingat Pemda agar mengawasi penggalian-penggalian liar yang justru akan mengaburkan fakta sejarah karena telah dirusak dan sangat merugikan bagi ilmu pengetahuan.( )
apakah ini ada hubungannya dengan kerajaan linge? saya yakin pak ketut tidak akan menyampaikannya ke publik krn memang tidak ada hubungannya sama sekali.
yang dia sampaikan adalah data ilmiah ttg kerangak tsb yg memang berketurunan di DTG
salam
jangan belok2kan sejarah hai para politikus… cari proyek saja sama datomu zaini yg ga becus urus aceh ini
” Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo ”
Saat Sengeda menjinakkan gajah putih, dan menyerahkan kepada Sultan. Sengeda membongkar kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Sultan Murka. .
Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul
wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan denganberdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.
Sumber tulisan ini berasal dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Tahun 1025 di Gayo berdiri Kerajaan Linge pertama. Rajanya namanya “Kik Betul” atau “Kawee Teupat” menurut sebutan
orang Aceh pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.
Raja Linge ini mempunyai 4 orang anak, tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu
Beru, kemudian anaknya yang lain adalah Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga ketua adalah laki-laki. Sebayak Lingga berkelana ke daerah Karo dan membangun negeri di sana.
Meurah Johan mengembara ke daerah Aceh Besar dan juga membangun negeri di sana yang dikenal sebagai Lamkrak dan Lam Oeii (Lamoeri) sedang Meurah Lingga tetap tinggal di Linge yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun-temurun.
500 tahun kemudian, sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal “Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo” sebagai Raja Linge ke XIII. Raja ini terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, ia juga orang penting di pusat Kerajaan Aceh.
Bukan itu saja ia juga orang penting di kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.
Saat Portugis merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera. Keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh ikut membantu Raja Malaka tersebut.
Hubungan kerjasama ini berkembang demikian rupa hingga terjadi suatu perkawinan politik
antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh, ia adalah Raja Linge ke XIII yang duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb) sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.
Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo. Tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru. Dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor menugaskan Raja Linge XIII membangun pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor yang dikenal kemudian sebagai “Pulau Lingga”.
Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga. Ia punya dua orang anak lelaki, bernama “Bener Merie” dan adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga ini kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia. Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika keduaduanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.
Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Malang nasib mereka, kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua – duanya dijatuhi hukuman mati.
Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan
Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571. Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “Gadjah Putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya.
Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya. Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh. Upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan, gagal.. Gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa jinak
telah berubah menjadi berang dan ganas, gajah putih mengejar-ngejar Raja Linge XIV. Raja ini hampir tewas saat gajah putih itu mengamuk.
Sengeda kemudian dapat menjinakkan gajah putih tersebut. Ia selanjutnya menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Hal itu mengundang keheranan khalayak yang hadir. Sultan menanyakan apa rahasianya, saat didesak seperti itu, Sengeda terpaksa membongkar rahasia
kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Mendengar keterangan Sengeda, Sultan murka. Ia segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati.
Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya kemudian diperingan, ia diturunkan pangkatnya dan harus membayar Diyat atau semacam Denda. Setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.
Kisah lain mengenai peristiwa “gajah putih” dan kisah “Sengeda” adalah versii yang ditulis seorang penyair Gayo bernama Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenall Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama. Namun, isinya jauh berbeda.
Perbedaan terpenting adalah, menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda
tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan kisah
dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.
Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.
Referensi : (Dari berbagai sumber)
” Tradisi Mengenang Para Raja ”
Oleh; FAKHRURRADZIE GADE dan CHAIDEER
ACEHKINI
PAKAIANNYA serba hitam. Di kepalanya dililit kain kuning. Senampan nasi putih diletakkan di tengah-tengah balai yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Saat acara mulai, pria itu mengambil nasi dan menyuapi pria berbaju hitam yang mengenakan kupiah Meukeutop. Pria itu adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya.
Saban tanggal 10 Dzulhijjah atau hari pertama lebaran Idul Adha, keturunan Kerajaan Daya menggelar upacara Seumeuleung. Upacara tahunan itu dipusatkan di makam Raja Alaiddin Riayatsyah di Gle Jong Desa Kuala Daya, Lamno, Kecamatan Jaya. Pada upacara tahun ini, Wakil Bupati Aceh Jaya Teungku Zamzami A. Rani menjadi tamu. Tetua adat Seumeuleung juga menyuapi mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Meureuhom Daya itu.
Inilah tradisi yang dipelihara turun terumurun, dari tahun ke tahun. Tiap hari pertama Idul Adha, warga Lamno tumpah ruah di makam Po Teumeureuhom untuk menggelar upacara Seumeuleung. Biasanya, usai upacara dilanjutkan kenduri dengan menyembelih sapi atau kerbau.
Seumeuleung diperingati untuk mengenang para raja di Kerajaan Daya. Menurut Teuku Saifullah bin TH el Hakimi, upacara Seumeuleung diadakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah pada pukul 10.00 WIB. “Ini untuk memperingati berdirinya Kerajaan Daya,” kata Saifullah kepada ACEHKINI.
Dia mengisahkan, Sultan Aceh mengutus Sultan Alaiddin Riayatsyah ke negeri Daya untuk mengatasi berbagai kemelut yang sedang dihadapi empat kerajaan kecil di sana, yaitu Kerajaan Kluang, Lamno, Kuala Unga, dan Kerajaan Kuala Daya. Tak lama setelah sampai di negeri Daya, Alaiddin Riayatsyah mengumpulkan keempat raja ini di Kerajaan Kuala Daya.
Di hadapan para raja, Alaiddin Riayatsyah berpidato dan mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya. “Saudara-saudara, para raja. Hari ini, hari pertama Idul Adha, pukul 10, kita memperingati hari berdirinya negeri Daya. Semua masalah yang ada di negeri Daya harus diselesaikan dengan hukum Allah dan hukum adat. Kalau tidak bisa diselesaikan maka akan diserahkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam,” kata Alaiddin seperti dikisahkan Saifullah.
Setelah mendeklarasikan Kerajaan Daya, Sultan Alaiddin Riayatsyah diangkat menjadi raja pertama. “Setelah itulah, Sultan Alaiddin Riayatsyah atau Po Teumeureuhom di-seuleung,” ujar Saifullah.
Syafrizal, seorang guru sekolah menengah di Lamno, yang pernah meneliti tradisi Seumeuleung saat mengambil gelar Sarjana Pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Perguruan Tinggi Serambi Mekkah Banda Aceh mengatakan, Seumeuleung pertama sekali digelar pada saat Sultan Umar bin Abbas dikukuhkan sebagai sultan di Kerajaan Daya. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Riayatsyah.
Masih menurut Syafrizal, dulu raja disuapi kakeknya. Sedangkan kini dilakukan dua orang pengasuh (khadam/meungpeutimang po) yang berpakaian ala syaikh dari Arab. “Upacara Seumeuleung sebenarnya untuk menghormati pengangkatan Alaiddin Riayatsyah menjadi Sultan di negeri Daya,” kata Syafrizal.
Upacara seumeuleung selain dihadiri keluarga kerajaan dan rakyat, juga dihadiri sejumlah tamu penting dari negara lain. Seperti diketahui, Kerajaan Daya saat itu sudah menjalin hubungan bilateral dan multilateral dengan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Portugis. Para raja dan tamu negara dijamu di sebuah balai (jambo).
Sebelum prosesi puncak seumeuleung, upacara dimulai dengan membagi-bagikan sirih (ranub gapu) kepada delapan meunaro (petugas di ruangan majelis). Para meunaro inilah yang meneruskan untuk membagikan sirih kepada anggota majelis. Disusul kemudian raja menyampaikan amanat tahunan yang berisikan nasehat tentang persatuan dan tertib hukum serta adat-istiadat. “Nah, di akhir upacara baru raja disuapi (seuleung) dengan nasi ketan,” kata Syafrizal.
Syafrizal menyebutkan, salah satu tradisi seumeuleung yang menarik adalah perebutan japan atau sisa-sisa hidangan. Ada kepercayaan japan berkaitan dengan nasib rezeki mereka. Bila mereka tidak berhasil mendapatkan japan, maka rezeki mereka akan mampet selama 44 hari. Menurut Hasan Ibrahim, “Nasi japan ini dipercaya bisa menjadi obat bagi anak-anak.”
Bahkan, pada malam sebelum upacara seumeuleung dimulai, penjaga makam Po Teumeureuhom menyalakan tujuh lampu teplok yang terbuat dari tanah liat dan berbahan bakar minyak goreng. “Jika ketujuh lampu itu menyala dengan baik mereka percaya rezeki tahun ini akan berlimpah,” kata Syafrizal.
Lampu teplok itu diletakkan di tujuh segi. Mereka yakin, lampu itu sebagai penanda rezeki mereka untuk masa depan. “Kalau misalnya nyala lampu yang diletakkan di sebelah laut terang benderang, maka dipercaya akan banyak hasil laut,” kata Saifullah, bapak beranak dua ini.
Versi berbeda dikemukakan Panglima Sultan Hasan Ibrahim, seorang keturunan Sultan Alaiddin Riayatsyah. “Pada awalnya upacara ini digelar sebagai pertanda bahwa agama Islam sudah tersebar ke seantero Kesultanan Daya dan Kesultanan Aceh,” kata Hasan Ibrahim saat ditemui ACEHKINI di Lamno, 26 Desember 2007.
Menurut Hasan Ibrahim, saat itu Sultan Alaiddin Riayatsyah menginstruksikan kepada empat pengawal kerajaan untuk mengenakan pakaian adat kerajaan yang serba hitam. Dua pria didandani menyerupai pengantin pria dan wanita (linto baro dan dara baro). Sementara dua lainnya bertugas sebagai dayang bagi para pengantin. Saat keduanya bersanding, sang istri mengambil sesuap nasi dari idang dan menyuapi suaminya. Setelah selesai, giliran suami menyuapi istrinya. “Begitulah awalnya tradisi seumeuleung dilakukan,” kata Hasan Ibrahim. Setelah prosesi “perkawinan” itu selesai, kata Hasan Ibrahim, raja beserta rakyat yang hadir di upacara itu makan bersama (kenduri).
Itu adalah cikal bakal lahirnya budaya seumeuleung di Kerajaan Daya. Masih menurut Hasan, pada awalnya upacara itu dilakukan oleh para pengawal kerajaan. Namun belakangan, setelah Po Teumeureuhom meninggal, prosesi itu diteruskan secara turun temurun oleh keturunan kerajaan. “Seumeuleung menjadi tradisi keluarga kerajaan dan diwariskan secara turun temurun. Tidak boleh oleh keluarga yang lain, kecuali keturunan raja sudah tidak ada lagi,” kata pria berusia 72 tahun itu.
Saat prosesi seumeuleung keluarga kerajaan mengenakan pakaian serba hitam. Hanya saja, orang laki-laki mengenakan kain sarung dan surban warna kuning. Sedangkan perempuan mengenakan busana yang menutup seluruh auratnya. “Baju hitam itu baju adat. Dulu semua tentara Kerajaan mengenakan baju hitam. Dan semua keluarga Po Teumeureuhom juga mengenakan pakaian hitam di lingkup kerajaan (dinas),” lanjutnya.
Sebelum prosesi seumeuleung dimulai, terlebih dahulu panglima (pemimpin acara) membacakan salawat dan ayat-ayat al-Quran. Setelah semua prosesi berakhir, dilanjutkan dengan kenduri dan doa bersama. “Kita mendoakan semoga Islam tetap maju di negeri Daya dan Aceh,” kata Hasan.
Tsunami yang melanda Aceh tiga tahun silam juga merembes pada pelaksanaan tradisi seumeuleung. Jika dulu panglima seumeuleung dan (keturunan) raja mengenakan jubah hitam yang dipadu dengan surban putih, kini atribut itu tak ada lagi. Perlengkapan seperti jubah hitam, pedang dan dalông yang sering digunakan dalam ritual juga musnah dihanyutkan gelombang raksasa. Balai tempat prosesi ritual juga tak luput dari ganasnya gelombang gergasi.
Kendati Seumeuleung sudah menjadi tradisi di Lamno, tidak semua warga paham seluk beluk tradisi ini. Abdullah, misalnya. Dia mengaku tak terlalu paham makna seumeuleung. Bagi dia, seumeuleung hanyalah cara mereka mengenang para raja. “Ini adalah cara kami mengenang raja,” kata Abdullah. Tapi, bagi Saifullah yang keturunan raja, seumeulueng punya makna lain. “Kalau tidak diperingati, kami takut akan kena ganjaran dari pendahulu kami.” [a]
Membangkitkan Tradisi Raja Daya
Oleh: Adi Warsidi
Telah ada sejak ratusan tahun lalu, tradisi Negeri Daya terus berkembang turun-temurun di kalangan warga penghuni pertapakan kerajaan itu. Saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana lewat upacara adat bernama Seumuleng, membangkitkan kembali semangat para leluhur yang bersemayam di komplek makam para Sultan. Ahad 28 Oktober 2012, Tempo diundang untuk melihat langsung prosesi itu, di alun-alun Astaka Diraja, Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya.
Seribuan orang tumpah ke alun-alun Astaka Diraja. Diapit bukit dan pantai, sebelah kanan pintu masuk puluhan tenda pasar dadakan terpacak pada tanah berpasir, menjual aneka makanan dan minuman. Di kirinya, riuh para pengunjung beriringan dengan jerit anak-anak yang bermain air pada teluk kecil selaksa kolam, dipisahkan dengan laut oleh dua tebing bebatuan seperti pintu gerbang.
Alun-alun itu hanya sebidang tanah datar di kaki bukit kecil yang terletak menjorok ke laut. Sebagian pantainya tertutup batu-batu besar untuk pemecah ombak mencegah erosi. Di bukit itulah, sebuah negeri menorehkan sejarahnya, pada makam raja-raja yang pernah memerintah di Negeri Meureuhom Daya atau kerap disebut Negeri Daya.
Saat Tempo tiba di sana, sebuah perlehatan akbar akan digelar. Upacara adat Seumuleng (menyuapi) Raja Daya, sebuah tradisi turun temurun yang dijaga oleh para keturunan raja dan warganya.
Sepelemparan batu dari pintu masuk, Astaka Diraja atau sebuah balai pentas terbuka tempat singgasana raja terletak telah dirias dengan dominan kuning. Telah pula disiapkan beberapa tenda di sampingnya untuk menampung para tamu yang ingin melihat prosesi adat.
Para tamu mulai berdatangan menjelang dhuhur, menempati kursi-kursi di bawah tenda mencari lindung dari panas matahari yang menyengat. Langit masih biru di atas alun-alun, di kejauhan sana, awan hitam mulai berkumpul.
Sebelum masuk acara puncak Seumuleng Raja, segala persiapan dilakukan oleh sebuah badan pelaksana yang bertanggung jawab suksesnya acara. “Badan itu juga dibentuk turun temurun, sejak masa kerajaan dulu,” kata Safrizal, pemerhati sejarah Negeri Daya.
Tradisi terjaga di badan pelaksana, juga secara turun temurun. Misalnya kata Safrizal, raja dulunya memberikan hak mengelola kebun dan sawah raja kepada warga yang ditunjuk. Merekalah yang harus mempersiapkan segala macam hidangan dalam tradisi Seumuleng dan kebutuhan adat lainnya. Dalam perjalanan waktu sampai kini, aturan itu tetap terpelihara. Keturunan merekalah yang kemudian harus menyiapkan bahan makanan untuk kebutuhan upacara pada Ahad itu, tak peduli apa jabatan dan statusnya kini. Tradisi dengan kesepakatan bersama.
Bahan makanan yang disiapkan untuk Raja Daya dalam upacara Seumuleng, harus berasal dari tanah-tanah peninggalan raja. Padi dari sawah kerajaan dulunya, kelapa dan segala sayur-mayurnya. Untuk ikan, udang tak boleh dibeli. Ada pekerja khusus yang mencarinya di Laut Negeri Daya, semua seperti dulu.
Alhasil, terhidanglah makanan serba mewah ditaruh dalam macam-macam tampan perak peninggalan negeri, yang akan dihadapkan kepada raja. Dari nasi, lobster besar sampai bulukat takeh, makanan khas Kerajaan Daya dari beras ketan dan kelapa yang dihaluskan seperti selai.
Dalam tradisi, Safrizal mengatakan, pada malam hari ada juga ritual menyalakan Pham Kutika (lampu teplok) dengan tujuh sumbu yang berbeda warna. Lampu dinyalakan oleh Penjaga Makam, terbuat dari tanah liat berbahan bakar minyak goreng, digantungkan di dekat makam Raja Daya. Konon, jika ketujuh sumbu menyala baik, rezeki akan datang melimpah di tahun itu.
***
Bakda Dhuhur, pemandu prosesi adat Seumuleng, Ibnu Hajar mempersilakan para tamu kehormatan naik ke balai Astaka Diraja. Mereka adalah para pemangku adat, ulama, hakim kerajaan, para penasihat, bahkan pejabat pemerintahan Provinsi Aceh dan Aceh Jaya. Ada juga tiga raja kecil masing-masing Raja Lamno, Raja Kuala Unga dan Raja Keuluang, yang berada dalam kekuasaan Negeri Daya.
Sesaat kemudian, Panglima Kerajaan Abdurrahman masuk balai dengan pedang panjangnya memeriksa kelengkapan upacara adat. Bajunya hitam dengan ikat kepala merah. “Upacara siap dilaksanakan,” suaranya lantang sambil mengeluarkan pedang dari sarungnya. Dia kemudian turun menjemput Sang Raja Daya, Teuku Saifullah di sebuah bangunan dekat tak jauh dari sana.
Tengku Saifullah adalah keturunan ke 13 yang mewariskan Negeri Daya, sedangkan Panglima Abdurrahman adalah keturunan ke 11 dari Panglima Besar Kerajaan dulunya.
Raja Saifullah menuju Astaka Diraja dikawal Panglima dengan pedang terhunus. Pakaiannya serba kuning, lengkap kopiah kerajaan bermanik warna keemasan. Naik ke balai, seluruh penghuni panggung diminta berdiri. Mereka duduk kembali setelah Raja Saifullah duduk bersila. Dua khadam kerajaan duduk berhadapan dengan raja dan hakim, mengibaskan kipas. Ratusan pasang mata warga menuju ke tempat itu. Gerimis turun menyapa alun-alun, beberapa warga berdesakan dalam tenda-tenda, tak terganggu.
Ibnu Hajar memandu para petugas untuk mengidangkan makanan-makanan dalam tampan berwarna perak. “Sesaat lagi Seumuleng raja akan berlangsung,” ujarnya. Tampan itu pernah hilang ratusan tahun dan kembali lagi setelah kolektor benda-benda sejarah menemukan riwayat benda itu dan mengembalikannya sebagai aset Kerajaan Daya.
Setelah doa-doa yang dipimpim oleh Mufti (ulama) kerajaan, Khadam membuka kain bungkusan hidangan, lalu mencuci tangan raja dan tangannya dengan air dalam kendi yang juga berwarna perak. Lalu sesuap nasi yang disebut Bu Ulee disulangkan ke mulut Raja Saifullah. Itulah Seumuleng yang berarti menyuapi raja.
Selanjutnya kue khas untuk raja, bulukat pakeh dihidangkan. Raja Daya mengambilnya sendiri makanan itu. Prosesi makan usai. Lalu raja bangkit membacakan amanat kerajaan menggunakan bahasa daerah, yang artinya; “Pada hari ini kita mengingat hari berdirinya Negeri Daya yang didirikan oleh leluhur kita, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah pada tahun 1480 Masehi, yang kita rayakan setiap saat pada hari raya Idul Adha.”
“Kita wajib memikirkan selalu Negeri Daya baik di bidang agama, adat istiadat dan memakmurkan negeri dengan sawah, kebun dan laut,” ujar Raja Saifullah.
Dalam amanat, raja juga menyampaikan agar setiap perkara di dalam Negeri Daya diputuskan dengan hukum Allah dan juga hukum adat. Amanat itulah yang dibaca berulang-ulang saban tahun dalam peringatan tradisi Seumuleng Raja Daya. Mengingatkan warga pada petuah leluhur mereka.
Selesai amanat raja, para tamu kehormatan makan bersama dengan suasana penuh keakraban. Hidangan raja juga dibagikan kepada para warga, mereka antusias mengambil makanan itu lalu menyantap. Zaman dulu, makanan sisa raja dipercaya mendatangkan berkah. Tempo kebagian mencicipi bulukat takeh, rasanya khas beras ketan yang lembut dilapisi selai kelapa.
***
Langit kembali terang-benderang. Tradisi berlanjut dengan ziarah makam para Raja Daya yang pernah berkuasa di negeri itu pada zaman kerajaan dulunya. Dengan dikawal panglima, Raja Saifullah menaiki 99 anak tangga yang dibuat khusus menuju makam para leluhurnya, di atas bukit. Di belakangnya, menyusul para pengawal dan perangkat Negeri Daya.
Ada sepuluh raja terdahulu yang dimakamkan di sana. Makam-makam itu berada dalam satu bangunan yang dipagar besi. Batu-batu nisan bertulisan huruf arab, dibalut kain putih. Di atasnya ditaburi batu-batu warna putih. Makam pendiri Negeri Daya, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah ditandai dengan tembok beton sekelilingnya dan tampak dominan.
Sebelum masuk makam, Raja Saifullah, panglima, hakim kerajaan dan para raja bawahannya membasuh muka dengan air yang dinilai suci, berasal dari guci peninggalan Negeri Daya dengan sumber mataair di atas bukit. Penjaga Makam, Abidin (60 tahun) mengambil air dengan gayung dari tempurung kelapa yang telah diberikan pegangan, menuang ke tangan raja, lalu membasuh muka dan kepala.
Raja kemudian memasuki areal makam mengelilingi sambil melafalkan doa-doa. Selesai ziarah, raja dan perangkat Negeri Daya beristirahat di sebuah balai dekat makam, berdiskusi dengan tokoh masyarakat dan pemerintahan terkait menjaga tradisi di negeri itu. Prosesi adat pun selesai.
Adik Raja Saifullah, Teuku Zaini mengisahkan upacara adat Seumuleng beriringan dengan ziarah makam, adalah amanah nenek moyang yang tetap harus dijalankan dalam kondisi apapun. Pesan itu turun temurun disampaikan oleh dari ayah ke anak. Ayah dari Zaini dan juga Raja Saifullah adalah Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke 12 Raja Daya.
“Kalau kami tidak ada lagi, gantikan kami dan jagalah tradisi seperti yang kami lakukan dulu,” kata Zaini menirukan perintah ayahnya semasa hidup. “Itulah yang kemudian kami lakukan, juga merawat makam,” sambungnya.
Kerajaan Daya bermula dari pemukiman para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu, Aceh Besar). Mereka mengungsi ke wilayah Kuala Unga untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka.
Lalu datang para mubaligh pimpinan Teungku Sagop dari Kerajaan Peureulak dan menyebarkan Islam yang diterima baik oleh warga di sana. Tengku Sagop bahkan berhasil menguasai Indra Jaya dan kemudian diangkat menjadi raja, dengan pusat kerajaan dipindahkan ke Kuala Unga. Dia mangkat, kerajaan dipegang keturunannnya, salah satu yang terkenal adalah Meureuhom Onga. Sepeninggal Onga, Negeri Daya mengalami kemunduran dan kekacauan, terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Pemerhati sejarah Negeri Daya, Safrizal mengisahkan, akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Salatin ditugaskan untuk mengatasi kemelut di wilayah daya yang telah terbagi menjadi empat kerajaan kecil, Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kerajaan Kuala Daya.
Kemelut selesai dan Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah diangkat menjadi Raja Daya bergelar Po Teumuereuhom Daya. Dia kemudian diangkat sebagai raja pada Idul Adha tahun 1480. Dalam penobatan itulah dia disuapi makanan oleh orang tuanya, awal dari upacara adat Seumuleng.
Tradisi itu kemudian terus berlangsung dari tahun ke tahun di awal bulan zulhijjah, semasa pemerintahan Sultan Salatin. “Upacara Seumeuleung sebenarnya penghormatan saat pengangkatan Sultan Salatin menjadi Raja Daya,” terang Safrizal.
Setelah Sultan Salatin tiada, putrinya yang bernama Ratu Nurul Huda memerintah. Dia menikah dengan Raja Kerajaan Aceh Darussalam, Ali Mughayatsyah. Bersatulah dua kerajaan itu. Nurul tetap memerintah Negeri Daya selama 23 tahun dan berhasil membawa kemakmuran. Usai Nurul mangkat, Negeri Daya mengalami kemunduran karena kericuhan raja-raja dalam wilayah kerajaan itu. Tradisi Seumuleng pun mulai jarang dilaksanakan.
Lebih duaratus tahun kemudian, saat Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1735 M) menghidupkan kembali tradisi. Dia berkunjung ke Negeri Daya untuk menertibkan kekacauan. Seluruh raja kecil dan pemuka adat dan agama dikumpulkan dan membuat beberapa ketetapan yang tak boleh dilanggar. Ditunjuklah hakim tinggi sebagai pemangku Raja Daya bergelar Setialila untuk mendamaikan sengketa.
Salah satu ketetapan yang dibuat adalah aturan upacara adat Seumuleng. “Setelahnya tradisi itu hidup sampai kini,” kata Safrizal. Dan saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana, untuk membangkitkan kembali semangat para leluhur yang berdiam di komplek makam para Sultan, seperti Ahad 28 Oktober 2012 lalu. ***
” Meureuhom Daya dan Adat Seumuleung Raja ”
Kamis, 08 November 2012 07:45 WIB
MUHAJIR ABDUL AZIZ | Foto : ISTIMEWA
Rafly Kande; Ruh Aceh Ada pada Budaya dan Adat Istiadatnya.
Rumpun Meureuhom Daya Ucapkan Terimakasih pada Keuchik Leumik
Adat seumeuleung dan ziarah ke makam Meureuhom Daya masih dilestarikan hingga kini. Di tempat tersebut, ratusan tahun lalu berdiri Kerajaan Nanggroe Daya yang termasyhur.__________________
Menggunakan baju hitam, pedang bersarung merah terikat di pinggangnya. Sementara secarik kain merah melilit kepalanya. Panglima perang kerajaan itu berhenti di depan anak tangga Astaka Diraja. Astaka semacam aula tempat pelaksanaan acara kerajaan sejak dulu. Sebelum mengucapkan salam, dia menghunus pedang dan mendekatkan ke dada dengan posisi siaga.
Namanya Abdurrahman. Dia sering disapa Panglima Raman. Usai mengelilingi Astaka Diraja, Panglima Raman melihat ke sekeliling kepada para tamu. Ia seakan ingin memastikan, tempat sederhana itu aman dari penyusup orang-orang jahat.
Setelah itu, ia menjemput raja di Balai Peuniyoh. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari singgasana raja yang telah disiapkan di Astaka Diraja. Ketika raja datang ke tempat tersebut, semua tamu bangun sebagai bentuk penghormatan. Raja menggunakan pakaian kebesaran kerajaan warna kuning terang.
Tak lama berselang, dua dayang datang. Satu orang langsung duduk di depan raja. Panitia membawakan sebuah dalông (semacam tempayan) besar berisi nasi dan lauk-pauk atau disebut bu ulee. Bu ulee hidangan khusus untuk raja. Setelah itu, raja pun makan disuapi dayang.
Setelah raja makan, barulah para tamu dibolehkan makan. Di deretan tamu, tampak Raja Keluwang Teuku Abdullah, Raja Lamno Teuku Syahrial, Raja Kuala Unga Teuku Nasruddin, dan para undangan lainnya.
***
Prosesi itu disebut seumuleung. Ini salah satu adat menyuapi makan untuk raja. Prosesi tadi digelar Minggu 28 Oktober 2012 oleh masyarakat Kerajaan Nanggroe Daya di Lamno, Aceh Jaya. Acara itu sudah dilaksanakan turun-temurun sejak 1480 Masehi atau setiap tanggal 10 Zulhijjah, di kawasan makam Meureuhom Daya. Selain seumuleung, juga ada seumeunap, prosesi melihat raja makan setelah disuapi dayang.
Hari itu, ribuan orang tumpah ruah ke lokasi acara di tepi Samudera Hindia itu. Makam Meureuhom Daya terletak di Kaki Bukit Gle Jong. Di sinilah Sultan Alaidin Riayat Syah, raja pertama Kerajaan Meureuhom Daya, dimakamkan. Para pengunjung tidak hanya berasal dari Lamno, tetapi juga dari Aceh Besar, Banda Aceh, dan sepanjang pantai barat-selatan Aceh.
Pengunjung datang, selain melihat proses seumuleung dan seumeunap, juga untuk berziarah ke makam Meureuhom Daya. Banyak keluarga datang dengan membawa makanan untuk dimakan bersama di tepi pantai atau di balai-balai dekat makam.
Nurjannah, seorang ibu yang datang bersama keluarganya mengatakan sudah menjadi rutinitas baginya untuk datang ke acara itu. “Setiap hari raya Haji saya pasti kemari. Dari kecil umur belasan saya sudah dibawa oleh ibu saya,” kata perempuan yang berasal dari Lhong, Aceh Besar, itu kepada The Atjeh Times.
Namun, bukan itu saja keunikan tradisi adat itu. Bustami, warga Calang, menceritakan dulunya acara itu juga menjadi tempat mencari jodoh bagi para pemuda. Banyak pemuda, kata Bustami, yang datang ke kawasan Kuala Daya untuk melihat gadis bermata biru keturunan Portugis. “Tapi sekarang sudah jarang karena banyak menjadi korban tsunami,” kata Bustami.
Kuala Daya dan Keluwang, dua kampung di Lamno yang paling banyak didiami keturunan bermata biru itu. Namun, kedua daerah itu paling parah diterjang tsunami akhir 2004 lalu.
Teuku Saifullah, Raja Nanggroe Daya generasi ke-13 mengatakan sejatinya acara tersebut dilaksanakan setiap hari pertama hari raya Idul Adha. “Itu sudah ketentuan, tidak boleh berubah, tidak boleh ditunda, setiap 10 Zulhijjah jam 9 pagi,” kata Teuku Saifullah kepada The Atjeh Times.
Acara itu dilaksanakan ulang pada hari raya ketiga Idul Adha untuk menarik minat wisatawan seluruh Aceh. “Kalau pada 10 Zulhijjjah tidak seramai ini pengunjungnya, cuma warga Lamno saja,” katanya.
Teuku Zaini, salah seorang keluarga Kerajaan Nanggroe Daya, mengatakan sejak dulu juga banyak warga datang ke acara tersebut untuk melepas nazar. Dari zaman dahulu sejak Meureuhom Daya memerintah, kata dia, kerajaan selalu membagikan tanah untuk rakyat berladang, perahu untuk nelayan, dan lainnya kebutuhan ekonomi rakyat. Ketika acara seumuleung dan seumeunap, rakyat sukarela membawa hasil sawah, kebun, dan laut untuk logistik kenduri.
“Semua kebutuhan untuk upacara semuleung dan seumeunap juga berasal dari harta kekayaan Nanggroe Daya. Beras, lauk pauk, dan lainnya hasil kekayaan alam di sini,” kata Ismail Adnan, salah seorang anggota rumpun Meureuhom Daya.
***
Nun jauh sebelum tahun 1480 Masehi, di Kecamatan Lamno, Aceh Jaya tersebutlah ada empat kerajaan kecil: Lamno, Keluwang, Kuala Daya, dan Kuala Unga. Kerajaan Lamno diperintah oleh Muda Perkasa, Kerajaan Keluwang oleh Datok Pahlawan Syah, Kerajaan Kuala Daya oleh Syeh Johan, dan Kuala Unga diperintah oleh Tengku Di Sagop.
Keempat raja tersebut anak Datok Pagu yang berasal dari Pasee. Datok Pagu datang dari Pasee dan membangun empat kerajaan itu.
Saat itu, pedagang Eropa sudah melihat kawasan itu sebagai daerah yang makmur. Portugis pun datang ke tempat tersebut dan bekerja sama dengan Kerajaan Keluwang.
Dari Kutaraja, Jamalul Alam, ayah Sultan Alaidin Inayatsyah Johan Syah, Raja Nanggroe Aceh Darussalam mendengar berita tentang kemakmuran Negeri Daya dan kerja samanya dengan Portugis. Diambillah kesimpulan untuk menaklukkan negeri tersebut.
Jamalul Alam memerintahkan cucunya Alaidin Riayat Syah untuk mengusir Portugis dari Negeri Daya. Di kemudian hari ia dikenal dengan Meureuhom Daya. Alaidin mengutus 40 anggota pasukan pengintai yang berjalan melalui Seulimuem, Cot Empe, dan melewati Pante Ceureumen.
Di Pante Ceureumen, 40 pengintai itu mendirikan kamp dan membuka ladang untuk mempersiapkan logistik bagi pasukan yang akan datang belakangan. Proses berladang tersebut memakan waktu dua tahun.
Setelah semuanya dipersiapkan, pasukan mulai datang dan Kerajaan Lamno ditaklukkan pertama kali. Pertempuran pecah di pasar Lamno. Berikutnya, Kuala Unga dan Kuala Daya juga berhasil ditaklukkan. Saat itu tinggal Keluwang yang tidak bisa dikalahkan karena dibantu Portugis. Portugis menyuplai persenjataan lengkap kepada Keluwang.
Setelah itu Portugis mundur karena takut kalah setelah melihat pasukan Aceh semakin kuat. Portugis lari kembali ke Gowa, Sulawesi. Mundurnya Portugis membuat pasukan dari Kutaraja leluasa menaklukkan Keluwang.
Setelah semuanya ditaklukkan, Jamalul Alam mengukuhkan Alaidin Riayat Syah sebagai Raja Negeri Daya yang membawahkan empat kerajaan tersebut. Walau sudah ditaklukkan, Meureuhom Daya memberikan kekuasaan kepada empat raja sebelumnya untuk tetap berkuasa. Namun, kekuasaan membangun hubungan dengan luar, hubungan militer dan perdagangan tetap berada di bawah kontrol Kerajaan Aceh Darussalam.
Pengukuhan Alaidin Riayat Syah atau Meureuhom Daya sebagai Raja Nanggroe Daya dilakukan Jamalul Alam dengan cara geusuleung dan geupeunap. Geusuleung atau sumeuleung adalah proses penyuapan nasi oleh Jamalul Alam kepada Meureuhom Daya, sedangkan geupeunap atau seumeunap adalah Jamalul Alam melihat Meureuhom Daya makan setelah disuapi.
***
Saat ini, seumeuleung dan semeunap adalah dua dari sebagian kecil adat yang tersisa dari kerajaan-kerajaan di Aceh. Teuku Saifullah berharap Pemerintah Aceh melestarikan budaya Nanggroe Daya itu. Menurutnya, adat di Negeri Daya itu adalah harta yang sangat bernilai. Dia meminta Pemerintah Aceh serius jika ingin budaya kerajaan itu tetap lestari.
“Kita ingin pemerintah serius menjadikan Makam Meureuhom Daya dan adat seumeuleung sebagai bagian dari destinasi wisata budaya di Aceh,” katanya kepada The Atjeh Times.
Teuku Zaini mengatakan hal senada. Dia berharap Pemerintah Aceh segera membangun kembali kompleks istana Kerajaan Nanggroe Daya. Ketika tsunami menghumbalang, kompleks tersebut rata tak bersisa.
Di kompleks itu dulunya ada Astaka Diraja, Balee Meunaroi (tempat santai para tamu kerajaan), Balee Peuniyoh (tempat para tamu istirahat ketika ada acara kerajaan), Balee Dabeuh (tempat perlengkapan dan juga sebagai dapur ketika ada acara kerajaan), musala, dan beberapa bangunan lain. Kini, ketika upacara seumuleung digelar, hanya dibuat replika saja untuk bangunan-bangunan itu.
“Kita juga ingin agar makam Meureuhom Daya yang merupakan peletak dasar kerajaan bisa dipugar,” kata Zaini.
Bak gayung bersambut, Mirwan Sufi, Asisten Pemerintah Aceh, yang hadir ke acara itu mengatakan Pemerintah Aceh telah membebaskan lahan di kawasan makam Meureuhom Daya. Ada sekitar 7 hektare, kata Mirwan, lahan yang dibebaskan untuk membangun kompleks kerajaan. “Pembangunannya kita lakukan bertahap,” ujarnya.[]
Jejak Raja di Meureuhom Daya
Oleh: Muhammad Hamzah Hasballah – 29/11/2012 – 15:45 WIB
ABDURRAHMAN berjalan perlahan. Matanya sigap menyapu pandang ke seluruh tamu yang Minggu siang itu, memadati Astaka Diraja. Panglima Kerajaan Daya ini menggenggam erat pedang besi yang melingkung panjang di pinggang kiri. Ia pengawal setia raja.
FOTO | Ahmad Ariska
Adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi El Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya, yang dikawal Abdurrahman. Ia berdiri mematung di sisi kanan raja yang mengenakan pakaian serba kuning bermanik keemasan. Di sekelilingnya, tiga raja dari wilayah Kerajaan Daya duduk bersahaja, ada juga tamu undangan dari unsur pemerintahan. Sesaat kemudian, raja Daya mulai membacakan titahnya.
“Nibak uree nye geutanyee tapeu ingat uree teudeng nanggree dayee…” kata raja, menjelaskan maksud dari perayaan upacara. Ia menyebutkan, perayaan memperingati berdirinya Kerajaan Daya akan selalu dilakukan saban 10 Zulhijjah, atau Idul Adha pertama.
Dalam amanatnya juga, raja menyebutkan, setiap raja di peut sagoe Daya beserta warganya wajib untuk selalu memikirkan negeri Daya, baik di bidang agama, dan adat. “Seureutee tapeumakmue nanggroe ngen buet meublang, meuladang, ngen meulaot.” Maksudnya, memakmurkan negeri dengan bercocok tanam di sawah, berladang, dan melaut. Begitu juga untuk angkatan perang. Raja menuturkan, mereka wajib menjaga negeri sampai batas lautan hindia.
FOTO | Ahmad Ariska
Seusai menyampaikan titah, dua khadam kerajaan yang sedari tadi mengipaskan raja, membuka penganan yang dibungkus dalam sebuah nampan berwarna perak. Isinya; nasi dengan lauk lobster, ada juga udang, kepala ikan, dan sayur hasil alam Nanggroe Daya.
Khadam mengenakan pakaian hitam serta selempang khas Aceh dengan jahitan sutra putih yang digantung di dada. Kepalanya dililit sorban putih. Ia mengambil sejumput nasi, kemudian menyuapkan ke mulut sultan. Upacara berlangsung khidmat. Tak ada tawa dan canda saat prosesi sueleng – suap – nasi oleh khadam kepada raja.
Safrizal, pelaku budaya di Meureuhom Daya, menyebutkan, ada suatu keyakinan tentang peninggalan Poe Teumeurehom – gelar untuk raja Daya – yang dihibahkan kepada masyarakat. Misal, mereka yang dulu diberikan kapal laut atau perahu. “Jadi mereka akan mempersiapkan hasil laut dari wilayah Daya ketika upacara,” kata Safrizal. Begitu juga dengan mereka yang menyediakan nasi. Raja, dulunya telah menghibahkan sepetak sawah untuk bercocok tanam. Kepercayaan itu menjadikan tradisi ini terus dijaga.
“Ini ritual tahunan yang dipertahankan dan selalu dijalankan. Kalau tidak dilakukan, takutnya kualat,” sebut Safrizal, yang dijumpai Minggu, 28 Oktober 2012, di Astaka Diraja, komplek dari Makam Sultan Alaidin Riayatsyah.
Namun, alangkah disayangkan, kearifan lokal yang dilakukan turun temurun oleh para keturunan raja, maknanya perlahan mulai menguap. “Masyarakat sudah tidak terlalu paham, bahkan di kalangan keluarga sendiri pun, sudah tidak lagi paham. Hanya generasi-generasi awal saja yang mempertahankan ritual ini,” sebut Safrizal.
Meskipun demikian, oleh beberapa pemerhati adat dan keturunan raja Daya, adat tersebut tetap dipertahankan. Safrizal mengatakan, kearifan lokal itu mulai pudar sejak ulee balang atau pimpinan ditujuk oleh Belanda pada masa penjajahan. “Saat itu fungsi raja mulai tidak ada,” katanya.
Raja terakhir yang punya kekuasaaan dan memang punya fungsi pemangku kuasa adalah Hakim Seutia Lila, yang ditunjuk oleh penerus penguasa daya, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Jamalul Alam berkuasa di Meureuhom Daya tahun 1703, hingga tahun 1726.
Adat yang dimaksud adalah seumeuleng, peumeunap dan pembakaran pham kutika. Seumeuleng, artinya menyuapkan sejumput nasi ke mulut raja, sebagai tanda beliau telah dilantik atau ditabalkan sebagai penguasa. “Peumeunap adalah menemani sang raja saat bersantap makan,” kata tokoh pemuda Nanggroe Daya, Anwar Zamzami.
“Kalau pham kutika itu nama lampu teplok tujuh mata, yang setiap malam Hari Raya Idul Adha kita bakar di pinggir laut ini. Masing-masing mata punya maksud tersendiri. Misal lampu yang menghadap ke laut. Kalau lampu itu bersinar terang, berarti hasil lautnya untuk setahun penuh ini akan baik,” jelas Safrizal.
***
Nanggroe Daya – Negeri Daya – meliputi empat sagoe (segi) kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan itu adalah Kerajaan Lamno, Kuala Unga, Keuluang, dan Kerajaan Kuala Daya. Seluruh kerajaan tersebut disatukan oleh Sultan Alaidin Riayatsyah, tahun 1480.
Alkisah, Sultan Aceh Darussalam mengutus Sultan Salatin Alidin Riayatsyah ke Negeri Daya pada tahun 1480, untuk mengatasi kemelut empat kerajaan kecil tersebut. di Kerajaan Kuala Daya, sultan mengumpulkan semua raja. Saat itulah sang sultan mendeklarasikan berdirinya kerajaan daya, dengan maklumat Sultan Aceh, bahwa segala urusan diselesaikan dengan hukum Allah, dan hukum adat.
Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya, ia diangkat menjadi raja pertama. “Saat itulah raja di-sueleng, dan diperingati hingga kini,” kata Safrizal
“Kalau dulu itu, pertama kali, yang sueleng (suapi) adalah Sultan Alaidin Inayat Syah, saat mengangkat putranya Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Raja Negeri Daya sekitar tahun 1480,” kata Safrizal.
Saat ini, ada istilah raja sehari. Di mana, fungsi dari raja mulai berubah. Misal Abdurrahman, lelaki berbadan tegap kelahiran Daya ini, menghabiskan kesehariannya dengan pergi melaut. Bahkan, Teuku Saifullah yang mengemban amanat dengan jabatan raja, hanya pekerja swasta di Banda Aceh. “Itu yang saya maksudkan, fungsinya mulai berubah. Jadi ini hanya ritual adat saja, istilahnya raja sehari,” tutur Safrizal.
Hal itu, kata Safrizal, tidak lepas dari faktor penjajahan Belanda, dan sebuah upaya penjajah untuk menggelapkan sejarah kerajaan daya. “Bahkan ada kemungkinan Kerajaan Daya dihancurkan.”
Kerajaan Daya memanglah tidak lagi mempunyai bekas. Hanya makam Sultan Alaidin Riayatsyah yang bergelar Po Teumeurehom dan beberapa keturunannya, di bukit Gle Jong, yang selalu ramai dikunjungi masyarakat dari segala penjuru. “Kita berdoa memohon keberkahan di sini,” kata Aminah, salah seorang pengunjung makam. Bahkan, banyak juga orang yang melepaskan nazar di makam sultan.
Makam sultan tepat berada di atas bukit kecil di bibir pantai yang indah. Saban hari, ramai pengunjung yang berwisata ke pantai Meurehom Daya ini. Hamparan pasir tanpa gundukan batu karang dengan panorama sunsite menjadi daya tarik wisatawan. Minggu saat perayaan tersebut, ribuan masyarakat penuh sesak, memadati lokasi pantai, dan makam Po Teumeurehom.
***
Saya mengunjungi makam Sultan Alaidin Riayatsyah, pada Minggu, di akhir Oktober lalu. Makam sultan terletak di pinggir pantai di Desa Kuala Daya, 15 menit perjalanan dari Kota Lamno, Ibukota Aceh Jaya.
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, perjalanan darat menuju Lamno ditempuh sepanjang 85 kilometer, atau dua jam.
Meskipun diluluhlantakkan tsunami 2004 silam, Aceh Jaya masih tetap menyajikan pantai yang bersih dengan pasir putih yang berkilau kala langit terik. Kala senja, pendar kemilau sunset dengan latar lautan lepas Samudera Hindia.
Selain menyajikan wisata bahari dan budaya, akses ke Lamno, di pantai barat Aceh ini, sangatlah mudah. Jalanan mulus yang dibangun pasca tsunami berkelok membelah gunung Geureute, salah satu gunung tertinggi di Aceh. Dari puncak di ketinggian, hamparan laut luas dengan gugusan pulau kecil akan sangat memanjakan mata.
Mau berbelanja? Hmmm, di Lamno, ada aneka makanan khas yang bisa anda temukan. Seperti ikan kerling, ikan air tawar yang khas Lamno, ikan ataupun gurita kering hasil laut lamno, dan durian lamno yang rasanya legit di lidah.
Di Lamno anda akan menemukan perempuan-perempuan lokal yang disangka turis. Tampilan mereka memang lokal, namun lihatlah wajah mereka. Hidung mancung, kulit putih, dengan mata biru. Mereka, keturunan Portugis, yang konon pernah menduduki wilayah Kuala Daya di Lamno, belasan abad silam.
Di Meureuhom Daya, pada hari yang semakin sore. Naunsa pantai yang teduh saat cuaca mendung di akhir Oktober itu bertambah ramai. Anak-anak berjingkrak ria, bermain manja di ombak laut yang terus menyapu bibir pantai.
Raja daya telah usai salat dan berdoa di makam sultan. Namun keramaian belum terbendung. Sore itu, di hari raya yang suci bagi umat islam, doa terus dilantunkan. Raja dan pelaku adat Nanggroe Daya berharap, budaya seumeuleng dan peumenap, peninggal para sultan terus lestari. []