by

Musikalisasi Puisi Sebuah Genre Berapresiasi (Habis)

Oleh:  Salman Yoga S*

salam yoga_IMG_2233-1MUSIK puisi pernah menghias jagat musik era 70-an di Indonesia. Beberapa seniman mencoba untuk memusikalisasikan puisi antara lain, puisi karya Sanusi Pane, Chairil Anwar, Kirdjomulyo, Ramadhan K.H. Karya sastra tersebut digubah menjadi lagu oleh komponis dan penulis lagu FX. Sutopo. Syair pada lagu bercerita tentang persoalan hidup, tentang lingkungan hidup, keindahan alam.

Musik Indonesia kemudian dimeriahkan kembali oleh Franky Sahilatua bersama rekannya Jane yang membawakan lagu-lagu musik akustik, country (Ballada), mereka berkerjasama dengan penulis puisi Yudistira Aan Nugroho. Sedangkan pada penyanyi wanita, musik puisi syairnya bercerita tentang alam seperti Ully Sigar Rusadi (Vicki Vindi Vici), Elly Sunarya, Rita Ruby Hartland dengan tembang unggulannya “Kepada Alam dan Pencintanya” dan lain sebagainya.

Karya-karya puisi yang sukses diblantika musik Indonesia dengan ”aliran” musikalisasi puisi selalu berciri memiliki ketajaman pada syair, ada yang berirama syahdu, kontemplatif, percintaan, sujud syukur para hamba kepada Tuhan-nya. Satu hal yang membedakannya dengan jenis musik lain dari segi tema adalah bahwa musikalisasi puisi jarang yang bekisah tentang kehidupan remaja dengan sub tema percintaan, asmara, patah hati atau lagu-lagu dengan syair picisan lainnya. Hal ini bukan saja menjadi ciri utama musikal puisi tetapi juga sudah menjadi semacam marketeble.

Selain itu, hampir keseluruhan seniman yang berangkat dan bergerak dari musikal puisi ini mengambil tema-tema yang humanis, lingkungan hidup dan religius. Demikian juga dengan tipe syairnya, rata-rata dengan karangan yang panjang, tidak demikian mementingkan pola persajakan dan selalu mencerminkan sebuah kisah. Ebied G. Ade misalnya dengan lagu  “Berita Kepada Kawan”, “Untuk Kita Renungkan” serta sejumlah karya lainnya, bukan saja menyangkut alam tetapi juga musikal puisi yang mengandung kritik sosial, serta tafsir dari hasil pembacaan dari realita kehidupan. Seniman lainnya seperti Iwan Fals yang pernah memusikalisasi puisi-kan karya-karya WS Rendra, Sawung Jabo yang lebih mengedepankan refleksi sosial, seperti lagu “Kesaksian”.

Musikal puisi juga ada yang dilantunkan dengan semangat bravura, mempresing  spirit nasionalisme seperti Gombloh dengan karyanya “Kebyar-kebyar”. Ia juga membawakan lagu dengan bahasa yang khas, lugas dan sederhana. Temanyapun beragam mulai dari gelandangan, tukang becak bahkan kehidupan para pelacur. Gombloh juga pernah menyanyikan karya sastra Ronggowarsito yang berjudul “Hong Wilaheng” dengan nilai tradisi yang kental.

Berbeda dengan Leo Kristi yang pemahaman musik dan puisinya sangat kritis terhadap hal yang berkaitan dengan lingkungan, rakyat kecil hingga penghormatan terhadap tokoh-tokoh pahlawan. Dengan alat musik akustik di tambah elemen peralatan tradisional yang diambil dari simbol suku-suku di nusantara seperti lagu “Gulagalagu”. Berbeda dengan sejumlah lagu Doel Sumbang, Harry Rusli memiliki lirik puisi yang menggigit dan lebih bersifat deskriptif  dengan diselingi hal-hal yang jenaka.

Meskipun dari rating dan marketing pasar musik Indonesia, musikalisasi puisi mengalami kesulitan dalam menembus pangsa lagu-lagu komersil, akan tetapi kehadirannya justru telah memberi warna tersendiri dalam blantika musik Indonesia yang semata-mata mengedepankan finansial tetapi lebih kepada sebuah perinsip dan idealisme-nya sebuah aliran musik. Banyak karya-karya puisi yang coba dimusikalisasikan seperti karya Umbu landu paranggi “Kuda Putih”, “Apa ada Angin di Jakarta”. Antologi puisi Gunawan Muhammad “Parikesit”, Darmanto Yatman, Sapardi Joko Damono “Dukamu Abadi” yang beku dipasaran, tetapi cair dalam apresiasi penikmatnya.

Bimbo, bisa dikatakan sebagai penggebrak “avendgarde” musik puisi di Indonesia. Mereka bekerjasama dengan penyair Taufik Ismail dalam mengeksplorasi puisi yang akan dimusikkan, “Dengan puisi aku bernyanyi” adalah satu dari sekian puisi yang berhasil mendapatkan ruh musikal. Memberi warna baru dalam khasanah musik sekaligus dalam musikal puisi Indonesia, syair-syair yang mereka bawakan mengandung perenungan dan Ballada. “Kerakap di atas Batu”, “Siapa Bilang Itu yang Bernyanyi” barang kali adalah sederetan judul lagu yang dapat kita sebut.

Berbeda dengan Devies Sanggar Matahari Jakarta pimpinan Freddy D. Arsie yang telah menelorkan sejumlah album musikalisasi puisi monumental. Ciri khas mereka terletak pada keseimbangan musik yang menggunakan alat-musik akustik dengan pola pembacaan puisi yang dibedakan pada dua tipe. Pertama, syair puisi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan tubuh musikal, menjadi ritme yang turut mempengaruhi tone. Kedua, eksistensi puisi sebagai seni mandiri tidak diformat melebihi dari hakekat puisi itu senditi. Tidak jarang dalam sebuah kemasan mereka menempatkan puisi sebagai bagian dari nyanyian, namun pada tone lainnya mereka juga memberi ruang pada puisi untuk berdiri sendiri.

dok komunitas musik merdeka.
dok komunitas musik merdeka.

Diantara album kaset musikalisasi puisi Devies Sanggar Matahari yang mencerminkan hal tersebut dapat dinikmati dalam sejumlah puisi yang dimusikalkan diantaranya adalah ”Dunia Kita, Dunia Yang Terbakar Matahari”, ”Nyanyian Rindu”, ”Solitude”, ”Ode Buat Proklamator”, ”Seperti Hutan Yang Terbakar”, ”Salam Damai”, ”Nyanyian Rindu” dan lain-lain.

Banyak penyanyi yang mengusung musik puisi karya sendiri atau dari karya penyair lainnya seperti Wanda Chaplin (Papa T. Bob), Toar Tangkau, Bram Kampungan. Boedi Soesatio yang membuat kumpulan musikalisasi puisinya Emha Ainun Nadjib, Agus Arya Dipayana, Acep Zamzam Noor, Sony Farid Maulana dalam album “Akan Kemanakah Angin”.

Hasil kerja para seniman yang bergelut dalan genre musikalisasi puisi ini selanjutnya dapat kita jumpai pada lagu-lagu yang yang dipopulerkan oleh group band modren. Sebut saja diantaranya adalah Peterpan dalam lagu “Aku dan Bintang, Bagai Bintang di Surga, Semua Tentang Kita”.  Selain  itu group band Gigi juga mempopulerkan sebuah karya musikalisasi puisi pada lagu yang berjudul “11 Januari”.

Musikali puisi yang beraliran balada dapat kita jumpai pada lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Franky Sahilatua, Ulli Sigar Rusady atau Ebiet G. Ade yang teraktualisasikan dalam 23 albumnya, mulai dari album  Camellia I-IV (1979-1980) sampai album Tembang Country (2009).

Pada masa yang agak kontemporer beberapa lagu yang penggarapannya mengutamakan kualitas syair, seperti lagu Katon Bagaskara (KLA Project), Dewa 19, Padi, Melly, Sheila On 7, Debu, Coklat, Letto, Ungu yang juga memiliki kecenderungan terispirasi dari jenis karya sastra puisi Chairil Anwar, Sapardi Joko Damono, Muhammad Iqbal, Jallaludin Rumi, Khalil Gibran. Mereka tidak membawakan karya secara utuh, mengambil sebagian atau pengadaptasian kata dengan musik. Penggarapan musik puisi dengan menggunakan berbagai macam aliaran musik pop, dangdut, qasidah, rap, rock. Hal ini tergantung kepiawaian seorang pengaransemen dalam mengemas musik puisi tersebut. Masalah layak dan tidak layak musik itu dikonsumsi dikembalikan pada kritisi penikmat musik itu sendiri.

Sedangkan di Aceh, ”aliran” musikalisasi puisi mulai muncul sejak akhir tahun delapan puluhan dengan pola yang sangat sederhana. Pada tahun sembilan puluhan genre seni ini mulai tampak dalam beberapa even, namun diperkenalkan pertama kali secara luas kehadapan publik diprakarsai oleh Rahmat Sanjaya.  Rahman Sanjaya belum lama ini juga telah memproduksi album musikalisasi puisi dalam kepingan cd dengan tajuk ”Jaya”. Dari tangan seniman berdarah Gayo-Jawa inilah kemudian lahir beberapa komunitas musikalisasi puisi. Diantara  komunitas tersebut dapat kita sebut seperti group Bengkel Musik Kunci, group Musik Batas dan lain-lain. Lambat laun musikalisasi puisi dengan apresian yang terbatas merambat keberapa lembaga pendidikan tinggi serta sejumlah sekolah menengah atas di Banda Aceh dan dan beberapa kabupaten/kota.

Dilihat dari potensi intresting masyarakat selaku penikmat, bidang seni ini sesungguhnya masih mempunyai lahan yang cukup terbuka bagi seniman dan pelaku-pelaku musikalisasi puisi yang ingin serius membidanginya. Berbeda dengan jenis seni lainnya dimana  ”tingkat persaingan” musikalisasi puisi baik dari segi jumlah dan kualitas masih tergolong rendah, dan ini tentu merupakan sebuah tantangan.

Terlebih saat ini sudah terbentuk sebuah organisasi Komunitas Musik Puisi Indonesia (KOMPI) yang dinahodai oleh dedengkotnya Devies Sanggar Matahari Jakarta Freddy D. Arsie, dengan sekjennya seorang seniman asal Aceh Fikar W Eda. Organisasi yang berpusat di ibu kota ini berdiri pada tahun 2008, beranggotakan para pencinta dan pelaku musikalisasi puisi, bertujuan untuk menjalin kerjasama antara para penyaji musik puisi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Meski demikian, sampai saat ini di Aceh jenis seni genre musikalisasi puisi ini sampai saat ini perkembangannya terkesan sangat lambat. Tidak saja di Banda Aceh, komunitas-komunitas seni, sanggar-sanggar di berbagai lembaga pendidikan, tetapi juga diseluruh kabupaten/kota. Sehingga tidak heran jika dalam Festival Musikalisasi Puisi Tingkat SLTA Se-Sumatera Ke-5  2010 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau di Kantor Balai Bahasa Provinsi Riau, Kampus Unri Panam Pekanbaru beberapa bulan lalu perwakilan dari Aceh atas nama Balai Bahasa Provinsi Aceh yang diwakili oleh SMA 10 Fajar Harapan Banda Aceh hanya mampu menduduki kursi group favorit saja (juara ke-6).

Hiruk, menarik serta dinamisnya musikalisasi puisi dalam kancah dunia berkesenian pantas mendapat resfon dari mereka yang bergelut dalam seni sastra dan seni musik sekaligus. Barang kali sudah saatnya jenis seni musikalisasi puisi ini juga diapungkan kepermukaan dengan dimasukkan kedalam kategori seni expedisi dalam even lima tahunan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedepan.(salmanyoga[at]yahoo.co.id)

*Seniman nasional asal Gayo

Comments

comments