Yusradi Usman al-Gayoni*
Berbicara soal sastra lisan, ada sepuluh sastra lisan yang dimiliki orang Gayo, yaitu didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem dan ure-ure. Dari sepuluh sastra lisan yang ada, yang masih bertahan kuat adalah didong dan saer. Dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88). Sastra lisan Gayo yang salah satunya adalah melengkan menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo. Melengkan dan sastra lisan Gayo lainnya ikut memerkaya khasanah sastra dan bangunan budaya di Aceh. Belum lagi kandungan sastra lisan dari etnik-etnik lainnya yang mendiami Aceh. Sudah barang tentu, warisan leluhur tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya.
Melengkan
Sesungguhnya kajian sastra lisan Gayo masih cukup terbatas. Belakangan, kajiannya banyak menyinggung soal didong dan saer. Mengingat luasnya kajian sastra lisan Gayo, tulisan ini terbatas pada melengkan. Melengkan dapat diartikan sebagai pidato adat. Usia melengkan sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo. Melengkan lahir dari tuntutan sosial perkawinan dalam masyarakat Gayo. Dalam konteks lebih luas, melengkan lahir dari realitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan ‘kenegaraan’ di tanoh Gayo. Melengkan menjadi bagian sub-sistem sarak opat ‘empat unsur pemerintahan di Gayo.’ Dengan begitu, melengkan merupakan satu kelengkapan protokoler pemerintahan sarak opat. Adanya melengkan bertujuan untuk memudahkan proses komunikasi dan diplomasi dengan dunia luar ‘kampung lain.’ Lebih khusus lagi, saat pesta perkawinan berlangsung. Biasanya, melengkan dibawakan oleh pelaku melengkan baik dari pihak mempelai laki-laki ‘aman mayak’ maupun dari pihak mempelai perempuan ‘inen mayak.’ Dalam prosesnya, terjadilah berbalas pidato dengan kandungan sastra Gayo yang bernilai tinggi.
Lazimnya sebuah pidato, melengkan juga terdiri atas tiga bagian, yaitu pembukaan, isi dan penutup. Pembukaan berisi pujian terhadap kebesaran dan mensyukuri nikmat Tuhan. Dilanjutkan dengan shalawat terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tak ketinggalan, penghormatan kepada langit dan bumi sebagai bagian makrokosmos. Disamping itu, penghormatan kepada tuan rumah ‘mempelai yang di tuju,’ personal, audience ‘yang berhadir’ dan masyarakat, serta kampung layaknya seperti prosesi “kenegaraan.” Persoalan substantif ada pada bagian isi yang menggambarkan kearifan-kearifan lokal, filsafat keadatan, nilai-nilai relijius, sosio-psikologis, ekolinguistik dan “kenegaraan.” Tak hanya itu, melengkan tak terlepas dari filsafat bahasa, semantik, pragmatik dan semiotika. Dengan kata lain, melengkan penuh dengan perumpamaan. Di bagian akhir, ditutup dengan permintaan maaf kepada tuan rumah dan yang berhadir. Disamping itu, memohon keberkahan acara perkawinan tersebut kepada Tuhan.
Keterwarisan Melengkan
Walaupun melengkan tetap dipraktikkan dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo, namun banyak terjadi pergeseran nilai kemelengkanan baik simbolik maupun yang menyentuh muatan ‘content.’ Bahkan, keadaannya semakin kritis. Penyebab utama dari kekritisan tersebut dikarenakan terputusnya alih melengkan kepada generasi muda. Hal tersebut umumnya berlangsung pula pada kebudayaan Gayo. Terlebih saat pendudukan Jepang, terjadi pengkerdilan kebudayaan Gayo. Begitu pula saat arus budaya luar dan informasi, serta perkampungan budaya global terjadi. Pijakan kebudayaan Gayo seolah tak lagi mampu menahan budaya yang menghempas tersebut.
Ketidakberalihan melengkan berdampak sistemik jangka panjang pada kelangsungan hidup melengkan. Konsekuensinya, pertama, pelaku melengkan yang sepuh semakin terbatas. Dapat dikatakan, melengkan dalam arti yang sebenarnya bertahan sampai kelahiran 1940 dan 1950-an. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Dan, ‘kerubuhan melengkan’ tidak bisa dihindarkan sejak kelahiran 1970-an. Dapat kemungkinan ‘kepunahan melengkan’ akan terjadi pada periode kelahiran 1980-an.
Kedua, memudar dan hilangnya ruh melengkan. Ruh tersebut terkait dengan pemaknaan simbolis dan kefilsafatan dengan pelbagai perumpamaan yang dikandungi. Pewaris melengkan dan generasi Gayo dewasa ini tidak lagi cerdik ‘pintar dan bijak.’ Generasi dimaksud adalah kelahiran tahun 1970-an sampai sekarang. Penyebabnya adalah hilangnya sarana berfilsafat, yang salah satunya diajarkan melalui melengkan. Begitu juga dengan semiotika keadatan dan kebudayaan. Mereka tidak lagi mampu menafsirkan wacana-wacana yang mewataki melengkan. Akibatnya, generasi/tanoh Gayo semakin berpikir ‘praktis’ dan ‘instan’ dalam menyikapi belbagai persoalan-persoalan kehidupan.
Ketiga, bercampurnya wacana-wacana kemelengkanan dengan bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Indonesia tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial di tanoh Gayo dan Aceh. Dalam pertumbuh-kembangannya, bahasa ini semakin menunjukkan dominasinya di Aceh. Bahkan, semakin mengkhawatirkan kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh, seperi bahasa Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamuek dan Simelue. Dampak yang paling kelihatan yaitu fenomena pencampuran berbahasa ‘code mixing’ sebagai akibat dari interaksi etnik dan kontak budaya di Aceh. Lebih khusus lagi, di tanoh Gayo yang didiami lebih dari delapan suku etnik. Sudah barang tentu, ekologi berbahasa tersebut berpengaruh signifikan terhadap nasib bahasa Gayo dan melengkan. Pengaruh tersebut tidak semata di tataran lingkungan be melengkan ‘ekologi melengkan,’ juga di tataran pola pikir dan sikap pelaku melengkan dan masyarakat Gayo sebagai pewaris melengkan.
Langkah Penyelamatan
Melihat kekritisan, kayanya simbol budaya dan muatan keadatan, sosial, psikologis dan kefilsafatan melengkan, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Mengingat ‘kerapuhan melengkan’ sudah lama terjadi, yaitu sejak generasi kelahiran 1960-an, bahkan memungkinkan menuju kepunahan. Sebetulnya ‘kepunahan melengkan’ bisa di ulur, dan diberdayakan lagi seperti semula. Hanya saja, perlu langkah dan mekanisme yang cepat, benar, sistematik dan tepat dalam penyelamatan melengkan.
Dua pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan formal dan informal. Pendekatan formal melalui kebijakan yang di ambil pemerintah kabupaten. Kemudian, menginternalkannya dalam dunia pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Intinya, perlu dibangun kebijakan pembangunan kebudayaan Gayo. Sementara itu, dari perspektif keinformalan, perlu partisifasi dan persetalian personal, lembaga keadatan dan masyarakat sebagai pewaris melengkan. Ketika dua pendekatan tersebut sudah terformulasikan dengan baik, benar dan tepat, akan berbuah pada pemberdayaan, keterwarisan dan keterpeliharaan melengkan. Demikian halnya dengan kelangsungan kebudayaan dan keetnikan Gayo.
*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo, 23 Maret 2010