Oleh :Sabela Gayo
Kata ”persatuan” adalah kata yang paling mudah diucapkan, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena biasanya di dalam kehidupan masyarakat, tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai kepentingannya masing-masing, baik kepentingan ekonomi, budaya, maupun politik. Disamping berbagai kepentingan- kepentingan tersebut, masyarakat Gayo juga terdiri atas struktur sosial yang ”unik” dimana hampir semua anggota masyarakat di Gayo ”merasa” sebagai keturunan reje atau pang sehingga semakin menyulitkan usaha untuk mempersatukan orang Gayo. Karena memang pada dasarnya di tiap-tiap kampung di Gayo memiliki reje atau pang-nya masing-masing. Tetapi masalahnya yang timbul kemudian adalah, apakah sindrom reje atau pang tersebut dapat berdampak positif bagi persatuan Gayo atau malah justru semakin membuat rakyat Gayo terpuruk?, jawabannya terpulang kepada masing-masing orang Gayo bagaimana menyikapinya. Sindrom reje atau pang yang ada di tiap-tiap kampung agar dapat dikelola untuk merebut posisi reje atau pang yang lebih tinggi dari sekedar tingkat kampung.
Membangun sebuah persatuan Gayo yang kuat dan fundamental harus dimulai dengan perubahan pola pikir dari masyarakat Gayo itu sendiri. Perubahan pola pikir tersebut dapat ditandai dengan berubahnya penyebutan terminologi Gayo takengon, Gayo lokop, Gayo blangkejeren, Gayo Cane dll menjadi terminologi Gayo, dan tidak ada terminologi lain yang digunakan selain terminologi Gayo. Sampai hari ini orang diluar Gayo masih menganggap bahwa yang disebut Gayo itu hanyalah Bener Meriah dan Aceh Tengah. Orang luar tidak mengetahui bahwa sebenarnya orang Gayo juga banyak di Kalul, Aceh Tamiang, Langsa, Lokop,Aceh Timur, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Lhok Gayo, Abdya. Dengan berubahnya terminologi dari penyebutan masing-masing daerah menjadi terminologi Gayo maka organisasi-organisasi sosial-kemasyarakatan, mahasiswa, dan lain-lain yang ada di berbagai kota seperti Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Malang juga harus berubah dan membuka diri dalam merekrut anggota organisasinya atas dasar Gayo, dan bukan atas dasar daerah kabupaten/kota.
Struktur sosial masyarakat Gayo yang terdiri dari belah-belah membuktikan bahwa Gayo adalah penduduk asli di Tanoh Aceh karena setiap penduduk asli mempunyai akar keturunan yang jelas darimana sesungguhnya ia berasal. Kalau kita membandingkan hidup di Gayo dengan hidup di pesisir Aceh maka ketika seseorang hidup di pesisir Aceh orang pesisir tidak mempermasalahkan seseorang berasal dari keturunan mana karena memang mereka tidak membangun semangat persatuan berdasarkan keturunan melainkan membangun persatuan berdasarkan tempat tinggal/daerah dan bahasa. Berbeda dengan masyarakat Gayo yang membangun semangat persatuan berdasarkan keturunan (klan/belah). Struktur masyarakat Gayo yang demikian apabila dikelola dengan baik maka akan menjadi kekuatan yang besar dalam menghadapi ”musuh bersama” baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Akan tetapi, jika perbedaan itu justru menjadi pemicu terbelah dan terpecahnya masyarakat Gayo ke dalam kelompok-kelompok kecil maka hal itu justru akan menjadi sumber kelemahan yang dapat digunakan oleh ”musuh bersamanya” untuk semakin mengkotak-kotakkan Gayo dengan menerapkan politik devide et impera.
Jika sudah terbentuk terminologi Gayo yang mengakar di dalam hati setiap individu orang Gayo maka harus dilanjutkan dengan proses penyatuan Gayo secara kewilayahan, karena jujur saja orang Gayo sampai hari ini masih ”berserakan” dan ”terpisah-pisah” ke dalam lingkup administrasi pemerintahan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Pertanyaan yang timbul adalah; bagaimana mungkin Gayo dapat disatukan sedangkan Gayo secara secara administratif kewilayahan masih terpisah-pisah?. Mau tidak mau dan suka tidak suka jika kita becerak tentang konsep persatuan Gayo maka arahnya adalah penyatuan Gayo baik secara kewilayahan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik atau saya lebih suka menyebutnya dengan istilah penyatuan secara totaliter dan tidak setengah-setengah. Karena ”geh kene tetue jemen ike buet setengah-setengah ni le nyaya, kena we ilah-lah (antara) artie kuso pe nggih, kini pe gere.” ungkapan tersebut adalah konsekwensi logis dari sebuah upaya mempersatukan Gayo, kalau tidak kita tidak usah membicarakan isu persatuan Gayo, kita cari saja isu yang lain, misalnya konsep ideal integrasi Gayo ke dalam struktur sosial ”Aceh”, atau isu yang lainnya. Kalau konsep penyatuan Gayo hanya sebatas ”perasaan” bahwa kita berasal dari akar budaya, bahasa dan keturunan yang sama tanpa dibarengi oleh penyatuan secara ekonomi dan politik maka konsep persatuan Gayo itu adalah konsep yang kehilangan makna.
Kalau kita mengkaji teori individualistik, yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, J.J Rousseua, Herbert Spencer dan Laski yang kemudian menghasilkan konsep negara (red; persatuan dalam bentuk negara), mereka katakan bahwa; ”negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat demi menjamin hak-hak individu di dalam masyarakat”. Kalau kita meminjam definisi konsep negara para tokoh tersebut kemudian kita masukkan ke dalam konsep persatuan Gayo maka hal yang perlu digaris bawahi dari definisi itu adalah ”demi menjamin hak-hak individu masyarakat”, kalaulah seandainya persatuan Gayo yang kita impikan itu terwujud dalam bentuknya yang ada hari ini tanpa adanya kesatuan wilayah Gayo, apakah ianya bisa ”menjamin hak-hak individu masyarakat Gayo baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik dapat terpenuhi?”. kalau jawabannya bisa, mari kita tentukan konsep rencana aksinya (action plan concept), tetapi kalau tidak bisa dijamin, maka perlu segera dilakukan revisi arah perjuangan rakyat Gayo.
Sumber: Alabaspos.com