Takengen|Lintas Gayo-MENINGGALKAN keluarga yang sedang panik atau meliput gempa?, Selasa (2/7) adalah hari bersejarah bagi insan pers di Gayo. Perang bathin. Guncangan bumi dengan kekuatan 6,2 SR yang meluluh lantakan dua kabupaten pedalaman Aceh ini, membuat insan pers di sana bagaikan buah simalakama.
Anak dan istri yang menangis, diantara reruntuhan rumah, terpaksa ditinggalkan demi “mengangkat” Gayo ke permukaan. Penulis mempunyai catatan suka duka rekan-rekan pers. Berlarian menyelamatkan diri dan keluarga, namun dipemikirannya “berita”.
Saat gempa masih berguncang, reruntuhan dimana-mana, penulis menelpon Irwandi yang sedang mengambil gambar bersama Dadong, di Kampung Paya Tumpi. “Ama kiamat ke dunie ni. Bapak, apakah dunia ini sudah kiamat,” pertanyaan Irwandi, yang mengakui lututnya masih gemetar, nyaris tak mampu mengambil gambar, hanya selang beberapa menit dari guncangan pertama.
Irwandi selamat, membuat penulis lega. Gilaran Ucok ( Khairul Akhyar) yang sedang meliput di Bener Meriah, susah dihubungi. Ditelp tidak diangkat, SMS tidak dibalas. Pilihan ekstrem, penulis berlari menuju RSU, apakah ada Ucok yang menjadi korban?
“Bas, tolong telepon dulu Ucok, kemana dia. Apakah dia selamat,” pinta penulis kepada wartawan Radio Elshinta. “ Dia selamat tadi di sini. Itu dia,” sebut Bas sambil menunjuk pintu masuk ruang UGD RSU Datu Beru.
Spontan penulis yang datang ke RSU bersama Khosi Nawar, anak kedua penulis, memeluk Ucok, di tengah pekik tangis para korban dan keluarga yang dilarikan ke RSU. Ucok terpana, dia menitik air mata.
“Alhamdulillah saya selamat. Abang aja buat berita. Saya jangankan gambil foto, apapun tidak bisa sekarang. Saya nyaris terbalik di atas sepeda motor saat gempa,” sebut wartawan Waspada di Bener Meriah ini, yang kemudian bergegas mengecek istri dan anaknya.
Bas wartawan Radio Elshinta, dan kontributor Metro TV, justru lebih tragis, nyaris menjadi korban. Dia terhempas dari lantai tiga Radio Amanda. Saat itu dia berada dilantai tiga gedung radio ini. Guncangan gempa melampar tubuhnya ke pagar pembatas. Dia terpental ke depan. Pagar pembatas bangunan ini menyelamatkannya.
Dalam suasana panik, dia merangkak. Bas turun ke lantai dua mencari handycam. Dengan bersusah payah dia berusaha mengaktifkan peralatannya. Gedung yang miring itu ditinggalkannya, sampai kini Radio Amanda tidak mengudara, karena bangunannya rusak parah.
Wartawan dalam hitungan menit berlomba ke RSU Datu Beru Takengen. Raungan histeris keluarga dan korban yang sakit membuat RSU hingar bingar. Korban satu persatu berdatangan. Sementara penulis, saat mengambil gambar, mendapat telepon dari si kecil yang ditinggalkan di rumah. “Ama pulang, lantai rumah kita terbelah,” sebut Iweni, anak penulis yang duduk di bangku kelas 5 SD, sambil menangis.
Dalam suasana panik, antara menyelamatkan keluarga dan mengirim berita. Pemikiran itu berkecamuk di benak insan Pers. Listrik padam, jaringan seluler sinyalnya tidak bagus. Tetapi berita harus tetap dikirim sambil menenangkan keluarga.
Hujan gerimis yang menyiram Aceh Tengah, suana gelap, pilihan terbaik mengungsi ke tempat aman. Semua wartawan, sama dengan manusia lainnya, memilih lokasi yang “aman”. Saat itu belum ada balasan gempa. Wen Rahman, wartawan Medan Bisnis, meninggalkan keluarganya, dia ke kantor bupati, sedang sibuk mengutak-atik BB nya, mengirim berita.
Saat itulah guncangan kedua jam 21.05 WIB dengan kekuatan 5,5 SR kembali meluluh lantakkan rumah yang kokoh. “ Berita belum terkirim, sementara telp berdering dari istri minta diselamatkan. Ama kita ngungsi,” sebut Septia, istri wartawan Medan Bisnis ini.
Malam itu tidak ada yang tidur, semuanya mengungsi. Hujan gerimis, bukan halangan. Lapangan Musara Alun, Budi Luhur, serta seluruh lapangan disesaki manusia. Masih dalam suasana panik, bumi kembali menunjukkan kekuatannya, guncangan ketiga dengan kekuatan 5,3 SR saat hujan di tengah malam, sekira jam 22.36 WIB. Kembali tangisan, dan pekik ketakutan. Apalagi menjelang sore kerusakan gempa ini, mayoritas sudah diketahui keluarga wartawan.
Pagi Rabu (3/7) guncangan gempa masih terjadi, apalagi dipusat gempa, Ketol, Aceh Tengah. Wartawan terpaksa meninggalkan istri dan anak, harus turun lapangan. Melaporkan duka Gayo demi diketahui publik.
Penulis juga tidak menghiraukan rumah yang lantainya terbelah dua. Demikian dengan Khairul Ahyar, meninggalkan istri dan anaknya, walau dinding rumahnya retak dimana-mana. Keluarga diungsikan, berita harus didapat.
Muhadi, wartawan Aceh Post, dalam gerimis, terpaksa basah kuyub, bolak-balik rumah mengamankan keluarga. Gunawan, wartawan Serambi saat meliput terpaksa pulang, karena diserang tawon. Tubuhnya tak tahan diserang hewan penghasil madu ini. Dia demam berat.
Demikian dengan Mahyadi, jungkir balik dari sepeda motor mengelak lubang saat guncangan gempa susulan.. Namun dia dengan ceceran darah di kakinya, tetap berpacu ke Ketol, untuk mengambil gambar.
Demi memburu berita, Khairi Tuah Miko, fotografer Aceh Post, tidak makan pagi dan malam. Dia mendapatkan tugas harus sampai di Bener Meriah menjelang malam. Terpaksa berpacu dengan waktu dari Banda ke Takengen, makanpun tidak sempat. Miko, panggilannya, setibanya di lokasi, sepekan tidak ganti celana, karena tidak sempat membawanya.
Wartawan tidak makan di lapangan, bergulat dengan alam yang dingin, menghindari longsor di tengah jalan, merupakan “makanan” keseharian insan Pers di sana. Tidak sedikit wartawan di Gayo yang tumbang, kelelahan fisik, tekanan bathin, serta sarana yang kurang mendukung. Berbeda dengan wartawan yang datang luar meliput gempa ini.
Namun biar minim sarana, wartawan di sana memiliki sebuah kekuatan bathin, menjadi korban amukan gempa, namun masih mampu berkarya. Mengambil moment berita, dan harus mengamankan keluarga dari amukan alam ini. (Waspada/ Bahtiar Gayo)