Yusradi Usman al-Gayoni*
Lemahnya kapasitas personal dan kinerja kolektif anggota dewan selalu saja dikeluhkan masyarakat. Indikatornya, misalnya, bisa dilihat ari kurangnya produk legislasi yang dihasilkan, pengawasan terhadap roda pemerintahan, dan fostur anggaran yang berorientasi pada perkembangan serta kemajuan masyarakat. Bahkan, ada anggota dewan yang sebatas datang, duduk, dengar, dan diam atau “Anggota Dewan D4.” Akhirnya, image lembaga ini pun makin buruk di mata publik.
Akan tetapi, saat berinteraksi dengan masyarakat atau konstituen mereka, seolah-olah mereka paham betul fungsi, tugas, dan kedudukan. Dengan menjaga wibawa dan image, mereka seakan-seakan sudah menjalankan tugas kedewanannya dengan baik, benar, dan maksimal. Padahal, kinerja mereka “tidak lebih” dari D4 tadi. Pada awal bulan, mereka mengambil gaji sebagai kompensasi terhadap keberadaan mereka di parlemen. Di luar itu, mereka kemungkinan berproyek. Minimal, mengharapkan fee, dana aspirasi. Juga, mengupayakan uang masuk lainnya melalui kegiatan pengawasan, penyusunan legislasi (perda—qanun), dan melalui pengesahan anggaran. Tujuannya, untuk mengembalikan biaya politik yang sudah keluar saat pencalegan. Lebih dari itu, memperkaya “mensejahterakan” diri, keluarga, partai, dan kelompoknya. Selanjutnya, menyiapkan modal untuk kembali nyaleg pada periode berikutnya.
Sementara itu, uang rakyat “terbuang percuma,” untuk menggaji mereka. Ironisnya, tidak ada keterbukaan dan pertanggungjawaban yang dibangun. Rakyat tak ubahnya seperti anak yatim piatu. Pemimpin dan wakil mereka seringkali absen. Suara yang diberikan jadi legitimasi untuk berbuat “sesuka hati.” Termasuk, melupakan masyarakat yang notabene telah mengantarkan mereka ke kursi dewan dan istana “pendopo.” Hal itu makin meningkatkan kekecewaan, ketidakpercayaan, dan keapatisan masyarakat.
Mereka baru hadir kembali dekat-dekat pemilu. Pada tahap ini, anggota dewan dan caleg-caleg—pun tidak semuanya—seperti orang yang paling saleh, dermawan, dekat dengan rakyat, dan tahu “menguasai” banyak hal. Semestinya, dengan gaji dan fasilitas pendukung yang diterimanya, kinerja mereka tambah baik dan terjadi peningkatan. Ternyata, tidak. Malah, kemungkinan, bertambah buruk. Saat yang bersamaan, hingga Agustus 2013, utang pemerintah Indonesia naik menjadi Rp 2.177,95 triliun. Utang ini naik Rp 75,39 triliun dibandingkan dengan posisi Juli 2013 (fimadani.com, 3/10/2013). Lagi-lagi, masyarakat “rakyat” lah yang mesti menanggung beban tersebut.
Ringannya Syarat Nyaleg
Dimanakah letak persoalannya, sehingga anggota dewan seperti itu bisa terpilih dan duduk di parlemen? Akar masalahnya, tidak terlepas UU No 8/2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Senator, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Beberapa persyaratan dalam BAB VII bagian kesatu, misalnya, disebutkan: telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; sehat jasmani dan rohani;
Persoalan umur, sebagai contoh, rasanya perlu dikaji-ulang. Idealnya, calon legislator atau senator minimal berumur 24 atau 25 tahun. Setelah tamat SMA (sederajat), mereka sudah kuliah atau kerja pada bidang tertentu. Pengalaman “jam terbang” itulah—salah satunya—yang digunakan sebagai modal untuk duduk di dewan. Selanjutnya, cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Tetapi, tidak ada indikator yang jelas dan tegas terkait kecapakan itu. Sebagai contoh, menulis. Seharusnya, bukti-bukti tulisan calon anggota dewan dan senator di pebagai media cetak atau online, makalah, hasil penelitian, jurnal atau buku turut dilampirkan saat mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Demikian halnya tentang kecakapan berbicara dan membaca, harus jelas indikator dan buktinya.
Kalau peraturan ini dipenuhi, diundangkan, dan paling kurang diatur dalam satu peraturan, maka akan banyak calon anggota legislatif yang tidak maju. Mereka akan berpikir seibu kali untuk nyaleg. Karena, tidak memenuhi persyaratan administratif dan tidak memiliki skill sama sekali. Salah satunya, keterampilan berbicara, membaca, dan menulis tersebut. Akibat tidak diundangkan atau dikuatkan dalam bentuk peraturan, sehingga “siapa saja” bisa nyaleg. Lebih-lebih, yang bermodal lebih. Termasuk, yang punya dan dekat dengan kekuasaan berafiliasi dengan penguasa.
Sebagai akibatnya, caleg atau anggota dewan terpilih tidak memiliki kualitas dan kapasitas personal yang lebih. Terlebih lagi, suri tauladan yang baik dan bisa ditauladani. Kondisi itu kemudian berpengaruh pada minusnya kinerja dewan secara keseluruhan. Pada akhirnya, lahirlah “Anggota Dewan D4.” Di lain pihak—seperti disebutkan, masyarakat pun makin kecewa, apatis, dan “prustasi” melihat kinerja wakil mereka. Pasalnya, baik kepala daerah maupun legislator sebatas prosedural, administratif, birokratis, dan tak lepas dari urusan pencitraan.
Membenahi Rekrutmen Caleg
Sebenarnya, masih ada celah untuk menghasilkan caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai politik. Dalam kaitan itu, partai politik harus membenahi pola rekrutmen caleg. Yang diutamakan adalah caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas, disamping pertimbangan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon. Bila perlu, diadakan uji administratif, kelayakan (fit and proper test), dan tes baca al-Quran (khusus caleg di Aceh) terlebih dahulu. Termasuk, mengukur popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon yang bersangkutan di tengah-tengah masyarakat.
Hasilnya, caleg-caleg yang terpilih baik dari kader internal maupun kader eksternal partai betul-betul mumpuni. Sebab, sudah melalui rangkaian tes yang panjang dan berat di internal partai. Saat bersamaan, ada semacam penilaian objektif dari masyarakat, terutama dari daerah pemilihan (caleg) bersangkutan.
Namun, dalam praktiknya, partai politik pun lebih mengutamakan caleg yang bermodal dan yang dekat sekaligus “berafiliasi” dengan kekuasaan. Tak jarang, terjadi politik transaksional dalam proses pencalegan. Khususnya, dalam seleksi caleg di internal partai. Ujung-ujungnya, uanglah yang bermain. Soal etika, moral, dan standar ideal lainnya, urusan belakangan. Yang terpenting, dengan kekuatan uang, caleg dan wakil partai tersebut bisa duduk di parlemen. Prihal wakil rakyat yang minus kinerja, moral, etika, dan minus ketauladanan, yang kemudian berimbas pada kekecewaan masyarakat, tak jadi urusan. Keterwakilan partai di parlemen—dengan anggota dewan abal-abal “dewan-dewanan”—jauh lebih penting dari standar ideal tersebut.
Wasit Terakhir?
Kalau sudah demikian, masyarakatlah yang bertindak sebagai wasit dan penentu. Keputusan terakhir ada di tangan masyarakat. Apakah memilih caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas? Atau, menuruti kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu memilih caleg-caleg yang ber-money politics “menyogok atau membeli masyarakat” dan melakukan praktik pembodohan politik lainnya?
Kalau sudah terpilih dan duduk pun, seperti yang sudah-sudah, caleg-caleg yang ber-money politics itu bakal meninggalkan dan melupakan masyarakat. Khususnya, pemilihnya. Karena, mereka asyik fokus dengan pengambalian modal, memperkaya diri, dan menyiapkan modal untuk pencalegan berikutnya. Tak menutup kemungkinan, bakal menyelewengkan jabatan dan melakukan korupsi. Tujuannya, untuk mengembalikan modal politik yang sudah keluar. Karena, tingginya modal yang dikeluarkan. Termasuk—tak menutup kemungkinan, ikut “membeli” penyelenggara pemilu, yaitu KPU/KIP dan panitia pengawas pemilu.
Di sisi lain, kita mengharapkan keindependenan penyelenggara pemilu. Dengan demikian, penyelenggaraan pemilu “kedaulatan rakyat” yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bisa terlaksana dengan baik. Pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih pun benar-benar ada dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada akhirnya, demokrasi yang substantif, sehat, bermodal, dan beretika bisa terwujud. Terutama, menghadirkan kesejahteraan masyarakat melalui pemimpin (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota), wakil rakyat, dan senator di istana, parlemen serta “senat” (berkorelasi signifikan).
*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas