Oleh : Ghazali Abbas Adan*
Ketika diwacanakan, diterapkan dan selama berlangsungnya darurat militer/sipil di Aceh oleh rezim Megawati Soekarnoputri banyak masyarakat sipil (civil sosiety) anti kekerasan di Aceh dan beberapa daerah lain di Indonesia, bahkan di beberapa belahan dunia menolak dan menentangnya.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, saya salah seorang diantara mereka secara tegas, transparan dan terus menerus menunjukkan suara dan sikap demikian sampai ditandatangani MoU Helsinki 15 Agustus 2005, di mana juga dengan segala keterbatasan dan kekurangan dalam proses perundingan dan penandangan MoU Helsinki, dengan fasilitas yang diberikan The Olof Palme International Center Swedia, bersama elemen Masyarakat Sipil Aceh, saya salah seorang yang dua kali ikut serta dalam Meeting Antara Pimpinan/Juru Runding GAM dan Masyarakat Sipil Aceh, memberi masukan dan mendorong perdamaian Aceh, yakni 22-24 Mei 2005 di Satsjobaden dan 9-10 Juli 2005 di Lidingo, Stockholm-Swedia.
Suara dan sikap atas darurat militer/sipil sebagai inkonstitusional, ilegal dan tindakan liar bukanlah nekat, gagah-gagahan, berani-beranian dan/atau ingin tampil beda, tetapi ia berdasarkan konstitusi yang berlaku dan harus ditegakkan di Indonesia. Ialah Ketetapan MPR-RI Nomor VI/2002, yang mengamanahkan, bahwa konflik Aceh diselesaikan bukan dengan mesin perang, tetapi “meneruskan dialog dan perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan semua komponen masyarakat Aceh untuk mendapatkan kesamaan pandangan bagi penyelesaian konflik secara damai, berkeadilan, bermartabat dan konstitusional dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perundingan dan dialog itu harus mencapai kesepakatan penghentian permusuhan untuk kemudian dengan sungguh-sungguh dan konsekuen dilaksanakan di semua tingkatan dan tempat…”
Berdasarkan konstitusi negara ini, ketika itu saya senantiasa menyatakan, bahwa darurat militer dan darurat sipil yang diberlakukan di Aceh inkonstitusional, ilegal dan tindakan liar (baca: Hasanuddin Yusuf Adan-Said Azhar:editor, Konsistensi Ghazali Abbas Adan Untuk Hak Asasi Manusia, Demokrasi & “Kemerdekaan” Aceh, ‘Adnin Foundation Publisher, 2012, dalam waktu dekat akan launching).
Betapa kala itu di mana mesin perang bergemuruh di tanah Aceh, suara dan sikap demikian dianggap tabu dan melawan arus, namun karena penarapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh jelas-jelas bertentangan dengan amanah Tap MPR tersebut, maka apapun resikonya harus disuarakan dan disikapi. Inilah konsekuensi dan konsistensi sikap TAAT ASAS dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.
LWN Ilegal
Adalah Ketetapan MPR No lll/MPR/2000 Tentang Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia: 1. Uandang-Undang Dasar 1945, 2. Ketetapan MPR, 3. Undang-Undang, 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), 5. Peraturan Pemerintah (PP), 6. Keputusan Presiden (KEPRES) dan, 7. Peraturan Daerah (di Aceh disebut Qanun). Setiap warga negara Indonesia terikat dan harus ikut, tunduk dan patuh terhadap tata urutan hukum dan peraturan perundang-undangan seperti ini. Inilah yang disebut TAAT ASAS. Demikian pula warga negara Indonesia yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, karena de-jure, de-facto dan pengakuan internasional Aceh merupakan bagian dari NKRI.
Bagi yang kerap “bertadarus” dengan MoU Helsinki dan UUPA terutama eksekutif dan legislatif, termasuk “Wali Nanggroe” juga harus taat asas. Karena dalam kedua “nash qath-‘i” tersebut juga mengamanahkan demikian. Jangan di mulut senantiasa menyebut MoU Helsinki dan UUPA, tetapi perilakunya tidak konsekuen dan konsisten dengannya.
Syahdan, Lembaga Wali Nanggroe yang disebut sebagai salah satu kekhususan (lex-specialis) Aceh dalam NKRI, oleh eksekutif dan legislatif Aceh sudah disahkah dalam bentuk Qanun No 8 Tahun 2012. Apabila konsekuen dan konsisten dengan TAAT ASAS, ia tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPR tersebut, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diberi tugas dan wewenang menilai, mengoreksi dan menentukan sikap setuju atau tidak untuk diimplementasikan Perda/Qanun itu di Aceh.
Memang faktanya eksekutif dan legislatif Aceh sudah mengimplementasikan Qanun itu, dan nekat mengukuhkah “Wali
Nanggroe” atas nama Malik Mahmud Al-Haytar dengan sederetan gelar selangit dan mentereng. Namun menurut pihak Kemendagri sebagaimana diberitakan media massa melalui Kepala Biro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah menyatakan pelarangan pelantikan Wali Nanggroe Aceh. Kemendagri belum mendapatkan hasil perbaikan atas klarifikasi yang diberikannya atas Qanun No 8 tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Pemerintah Pusat tetap pada sikapnya. Jika Pemerintah Aceh dan DPRA bersikeras melantik Wali Nanggroe, lembaga itu berdiri tanpa dasar hukum yang sah. Dia meminta pihak Aceh mengevaluasi terlebih dulu Qanun Wali Nanggroe agar ke depan tidak muncul masalah. Tidak akan ada biaya operasional Wali Nanggroe. Pasalnya Pemerintah Pusat tidak menyetujui pembiayaan lembaga itu pada APBD Aceh 2014 mendatang. Untuk apa dilantik, bentuk kendaraan hukumnya belum jelas. Klarifikasi dulu, supaya tidak menimbulkan masalah. Soal klaim DPRA yang menyatakan sudah merevisi qanun sesuai klarifikasi Kemendagri, Zudan mempertanyakan. “Mana hasilnya ? Dari 21 poin klarifikasi yang diberi Kemendagri berapa yang dipenuhi” (Serambi, 16/12/2013).
Konsisten dan kosekuen dengan sikap TAAT ASAS, sebagaimana secara tegas dan transparan saya tunjukkan ketika darut meliter/sipil yang diterapkan rezim Megawati Soekarnoputri dan di kala itu saya menyebutnya sebagai inkonstitusiol, ilegal dan tindakan liar karena melanggar Tap MPR, maka berdasarkan pernyataan dan sikap resmi Kemendagri sebagaiman diungkapkan Kepala Biro Hukum Kemendagri itu, terhadap Lembaga Wali Nanggroe kembali dengan tegas saya nyatakan ilegal dan liar dan sacara legal formal belum sah diimplementasikan di Aceh.
Benar belaka, bahwa Lembaga Wali Nanggroe dan Wali Nanggroe di Aceh adalah amanah konstitusi, namun proses pembentukannya-pun harus sesuai dengan konstitusi. Dalam waktu yang bersamaan saya ingatkan, apabila kelak, setelah hal-hal yang lebih urgen dan yang dituntut rakyat jelata sudah dipenuhi, Lembaga Wali Nanggroe dan Wali Nanggroe secara legal formal sudah ada, dan diberi gelar macam-macam, mentereng dan selangit, “paduka ini dan paduka itu, al-ini dan al-itu”, namun fungsi dan tugasnya harus sesuai ketentuan UUPA, ia hanya pemimpin adat. Dia sosok independen dan non partisan, harus tahu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya, yakni hanya berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, serta berwenang pula untuk memberi gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya, dan last but not least semua itu harus sesuai dengan syari’at Islam. Karenanya dia tidak boleh berlagak dan bertingkah macam-macam. Namun karena fungsi dan tugasnya itu berdasarkan syari’at Islam, dia harus kerap tampil di mimbar-mimbar masjid sebagai khatib, imam shalat. Di bulan Ramadhan dengan kefasihan membaca Al-Quran membuka tadarus Al-Quran yang merupakan adat dan tradisi Islam menghidupkan malam-malam Ramadhan (ihyaa-i layaali Ramadhaan) dalam kehidupan umat muslim di Aceh, sebagaimana juga kaum muslimin seluruh dunia.
Uang Rakyat
Dalam rangka bagi-bagi tampouk (kekuasaan/jabatan) dan tumpouk (harta/kekayaan) eksekutif dan legislatif Aceh sudah menunjukkan arogansinya, nekat melangsungkan pengukuhan “Wali Nanggroe” (Senin, 16/12/2013). Apapun suara dan sikap sementara orang dan siapapun yang hadir dalam acara tersebut, konsisten dan kinsekuen dengan sikap TAAT ASAS saya tetap menyatkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe dan “Wali Nanggroe” yang telah dikukuhkan itu ilegal dan liar. Dengan demikian, kepada lembaga ini dan orang-orang yang didudukkan di dalamnya yang dipastikan akan menguras anggaran begitu banyak tidak boleh menggunakan uang rakyat. Apabila tetap saja ngotot, segala keperluan mereka ambil saja dari pendapatan eksekutif dan lagislatif Aceh, dan/atau dari sumbangan orang-orang/pihak manapun yang berkepentingan dan ngotot dengannya.
Betapa tidak, sikap Kemendagri sebagaimana ditegasakan Kepala Biro
Hukum Kemendagri tersebut, bahwa lembaga yang dibentuk tanpa dasar hukum, alias ilegal dan liar tidak akan ada biaya operasional. Pemerintah Pusat tidak menyetujui dan mencoret anggaran pembiayaan lembaga itu pada APBD, dan uang untuk APBD itu bersumber dari macam nama yang intinya adalah uang rakyat dan sebesar-besarnya harus dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Apatah lagi untuk membiayai lembaga ilegal dan liar, dan juga dari awal dimunculkan sudah mendapat protes dan penolakan massif dari berbagai elemen masyarakat, kian tegas, berani dan meluas. Hal ini bukan karena mereka tidak tahu bahwa ia amanah konstitusi. Tetapi saat ini ia tidak urgen untuk diwujudkan dan tidak pernah dituntut oleh masyarakat, di bandingkan dengan Qanun Jinayah, Acara Jinayah, KKR, Pengadilan HAM yang juga amanah konstitusi dan lex-specialis Aceh,dan lain-lain yang bersentuhan langsung dengan hidup dan kehidupan rakyat jelata dalam teritori Aceh. Wallaahu ‘alam.
Wassalam
Anggota MPR/DPR-RI 1992-2004, anggota Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh.