Menunggu Packing House dan STA di Takengen

Oleh : Ria Devitariska*

Tahun 2008, saya diberi tugas kuliah membahas tentang “Kawasan Agropolitan”. Dan berkesempatan terjun langsung ke salah satu kawasan agropolitan di Jawa Barat yaitu Kecamatan Pacet dan Cipanas – Kabupaten Cianjur, yang telah di tetapkan oleh Dinas Pertanian, Departemen Pertanian, beserta Kimpraswil sejak tahun 2002 silam.

Agropolitan (Agro=pertanian; Politan=kota) adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan dan Tata Perdesaan, 2005). Agropolitan sendiri terbagi dalam beberapa jenis antara lain agribisnis, agrowisata, dan agroforestry. Dan agro tidak terpaku pada tanaman saja melainkan juga perikanan dan peternakan, sesuai dengan potensi pertanian yang dimiliki wilayah tersebut. Kegiatan agropolitan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh sarana seperti BPP (Badan Penyuluhan Pertanian), Industri Pengolahan Hasil Pertanian, Balai Penelitian atau Kebun Percobaan, dan yang akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini adalah Packing House dan STA (Sub Terminal Agribisnis).

STA (Sub Terminal Agribisnis) merupakan merupakan pusat pengumpul di Kawasan Agropolitan. Sebagai infrastruktur konsep pengembangannya bukan hanya seputar transaksi jual beli, namun juga merupakan wadah yang dapat mengkoordinasi berbagai kepentingan pelaku agribisnis seperti sarana prasarana pengemasan, sortasi, grading, penyimpanan, ruang pamer (operation room), transportasi, pelatihan, serta merupakan tempat berkomunikasi para pelaku agribisnis di dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi (Tabloid Sinar Tani, 2004).

Jelas tidak mudah mendirikan STA. Sebuah wadah produsen dan konsumen dapat melihat perkembangan informasi harga setiap harinya, baik harga pada tingkat petani, harga di tingkat STA dan harga di tingkat konsumen. Rata – rata dari setiap nilai harga tersebut nantinya akan diinformasikan kepada para petani atau kelompok tani melalui pencatatan pada papan informasi harga di STA, penyiaran melalui media elektronik (radio), dan pengumuman melalui media cetak (koran). Seperti yang saya temui di STA Cigombong-Kecamatan Pacet, saya dapat melihat berapa harga jual dan beli terendah dan tertingginya setiap komoditas pada hari itu. Hal ini untuk mengurangi adanya kecurangan yang dilakukan oleh para tengkulak kepada petani. STA Cigombong ini telah dilengkapi dua buah los masing – masing berukuran 600 m2, kantor pengelola, ruangan pendingin, packing house sebanyak 5 ruangan, area parkir serta saluran drainase. Selain itu juga memiliki fasilitas penunjang antara lain warung telepon (wartel), sumber air bersih dan kamar mandi, mushala, peralatan penjualan dan sistem informasi seperti timbangan, database harga, telepon, komputer, mesin faximile, peralatan sortir, grading, mobil box AC, kios tempat menjual  alat – alat pertanian, mobil pick up/truk untuk mengangkut hasil pertanian dan lain-lain. Pembangunan STA Cigombong ini menyerap dana APBN sebesar Rp. 1 Milyar, dana APBD Propinsi Jawa Barat sebesar 1,5 Milyar dan dana APBD Kabupaten Cianjur sebesar 800 juta.

Sedangkan packing house adalah pengumpul yang melakukan sortasi dan grading, yaitu pemilahan komoditi sesuai kondisinya. Biasanya komoditi yang paling bagus kondisinya untuk memasok kebutuhan di griya atau supermarket di kota – kota besar, selanjutnya baru dikirimkan ke pasar – pasar tradisional di Kabupaten Cianjur atau sekitarnya. Pada era 90an, seingat saya Kota Takengen memiliki toko yang khusus menjual komoditi sayuran dan buah – buahan, dan toko tersebut telah melakukan sistem sortasi, amat disayangkan toko tersebut tidak beroperasi lagi. Saya sendiri tidak tau apa penyebabnya.

Kota Takengen, kota yang secara kondisi fisik tidak jauh berbeda dengan Kawasan Puncak Pacet dan Cipanas. Memiliki iklim bersuhu rendah, kemiringan dan ketinggian lahan yang bergelombang, curah hujan dan kesuburan tanah yang tinggi. Perbedaannya terletak pada kegiatan dan tingkat perekonomiannya. Jika kawasan puncak memiliki berbagai jenis villa, mall, restaurant, dilewati oleh jalan nasional karena menghubungkan antara Provinsi DKI Jakarta – Jawa Barat – Jawa Tengah. Maka Kota Takengon tampil dengan kesederhanaannya, tanpa mall hanya sebuah swalayan dan beberapa buah mini market, tanpa villa hanya beberapa buah hotel/losmen dan jika beruntung dapat menginap di rumah para penduduk, tanpa restaurant terkenal hanya beberapa buah rumah makan dan cafe, tanpa jalan nasional hanya jalan kabupaten dengan kondisi jalan yang tidak bisa dikatakan mulus. Namun berdasarkan observasi yang saya lakukan jalan – jalan lokal yang terdapat di kawasan puncak tidak sepenuhnya beraspal dan mulus, bahkan kemiringan jalannya hampir mencapai 45 derajat. Belum lagi kehidupan para penduduknya yang serba kekurangan dan semakin terpinggirkan akibat semakin meluasnya proyek pembangunan villa, kompleks perumahan dan lainnya. Pernah seorang bapak bercerita kepada saya ketika saya terpana melihat dari kejauhan kompleks perumahan yang arsitekturnya seperti di negeri dongeng, ia mengatakan dahulunya sempat tidak mengizinkan lahannya di kompleks tersebut dibeli oleh pihak konsultan, namun akhirnya ia harus merelakannya karena terus menerus didesak. Bahasa daerah menjadi salah satu kendala bagi saya dan teman – teman dalam melakukan penelitian, ditambah lagi kawasan puncak terkenal dengan tata bahasa sundanya yang lebih halus dibandingkan daerah di Jawa Barat lainnya. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan daerah di Gayo, bahkan saat ini sudah banyak remaja di Kota Takengen khususnya, sudah tidak mau menggunakan Bahasa Gayo dalam kehidupan sehari – hari karena dianggap tidak modern. Di Jawa Barat bahkan di ibukota provinsinya sekalipun remaja – remaja ABG dengan tampang seperti artis tidak sungkan berbicara dengan bahasa sunda kepada sesamanya. Di daerah Gayo saya melihat jika ada orang – orang tua yang tidak bisa berbahasa Indonesia dianggap ketinggalan zaman.

Dan perbedaan yang paling menyolok adalah tidak adanya packing house dan STA di Kota Takengen yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Apalagi industri pengolahan hasil pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, karena masyarakat bukan hanya menjual komoditi dalam bentuk mentah saja sebagian ada yang sudah diolah untuk menaikkan harga jual.

Kendala utama dalam pengelolaan STA adalah bagaimana memanage komoditi sekian ribu petani agar dapat mencapai STA tepat waktu. Saya pernah bertanya pada salah satu petani yang ada di kawasan puncak bagaimana mereka membawa komoditi hasil pertanian mereka ke STA, mengingat jaraknya cukup jauh dengan desa tempat petani itu tinggal. Ia mengatakan bahwa jika telah menjadi anggota dari lembaga pertanian di STA maka akan dijemput oleh mobil pick up dengan syarat harus stand by di pinggir jalan yang akan dilalui oleh mobil tersebut dan membayar iuran setiap bulannya. Jika petani tersebut terlambat menyerahkan hasil pertaniannya, harus rela menjualnya kepada tengkulak.

Dan satu hal yang paling ditekankan adalah pengelola STA ini harus orang yang benar – benar mengerti akan pertanian dan peduli akan kesejahteraan para petani, bukan hanya kesejahteraan kantongnya saja. Memberikan pelatihan kepada petani bagaimana tata cara bercocok tanam yang benar kerena selama ini pengetahuan akan bercocok tanam hanya didapatkan secara turun menurun saja, memikirkan bagaimana mengantisipasi anjloknya harga komoditi pertanian, memberitahu pentingnya sebuah kelembagaan yang solid agar tidak mudah ditipu oleh para tengkulak, memberikan pengetahuan tentang pentingnya penyortiran komoditi untuk menambal nilai jual, membuat kebijakan di lembaga untuk memberikan pinjaman yang tidak memberatkan para petani yang dapat dijadikan modal membeli alat – alat pertanian.

Ah, saya jadi ingat pertanyaan seorang teman “pernahkah engkau merasakan sebuah kebahagiaan sesaat setelah engkau bersedekah? Tidak inginkah kau merasakan kebahagiaan itu secara kontinu?”. Konteks sedekah disini tidak harus materi, bisa saja sebuah ilmu pengetahuan. Maka, bersediakah kita meluangkan sedikit waktu dan membagi sedikit ilmu pengetahuan kita kepada para petani Gayo?

 

*Staf Redaksi Lintas Gayo, tinggal di Takengen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. tulisan yg inspiratif. semoga bisa menyadarkan reje (bupati/pemkab–yang notabene alumni pertanian) dan ulu rintah (DPRK dalam legislasi, pengawasan&budgeting) untuk lebih bersyukur dengan memaksimalkan potensi yang ada: kopi, asam keprok, pokat [pertanian], koro (perternakan), depik [penyelamatan Lut Tawar], bahasa Gayo, Ceruk Mendale+Ujung Karang [suhuf-suhuf peradaban], dan lain-lain. keep writing

  2. Menarik adinda. Semoga menginsiparsi buapak2 kita yang duduk di kursi putar yang bersumpah mengurusi kita. Cara menulisnya enak segar dan bertutur……keep write. Barvo

News