Oleh: Siti Aminah
Pers merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan dunia media dan masyarakat luas. Kegiatan tersebut mengacu kepada kegiatan jurnalistik yang sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkan berdasarkan sumber-sumber yang terpecaya dan valid. Namun, kebebasan pers (freedom of the press) menurut pakar hukum media massa Prof. Oemar Seno Adji adalah menyiarkan gagasan atau berita dengan jalan kata tertulis. Suatu istilah yang perlu dipadankan dengan istilah freedom os speech sebagai manisfestasi dari pengertian pers yaitu mengemukakan pikiran dan perasaan seseorang melalui berbagai jenis media massa.
Sebetulnya, pers di Indonesia masih berada dalam titik kritis: partisannya belum berubah dari masa kolonial hingga sekarang. pengabdian koran-koran nasional masih terbatas pada dua pihak: kalau tidak ke penguasa (kepentingan politik) maka ke penguasa (kepentingan ekonomi). Pada masa penjajahan, media massa kita mengabdi kepada penguasa. Selama orde lama, pers kita berpihak kepada parpol dan pemerintah. Ketika orde baru berkuasa, setelah sebelumnya mengabdi kepada publik, pers lalu dipaksa dan terpaksa tunduk pada rezim. Memasuki reformasi, pers kita bertambah polarisasi pemihakan, ada yang atas dasar ideologi dan politik, ada juga karena kepentingan pasar sehubungan pers telah menjadi industri.
Menjelang Pemilu 2014
Sebentar lagi, Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi besar-besaran. Seiring dengan pemilihan Calprestemperatur politik sudah mulai memanas sementara media menjadi mediator pertarungan politisi. Semua orang tentu ingin menduduki kursi panas sesuai dengan partainya masing-masing. Kita bisa melihat dengan mata sendiri, dalam beberapa pekan terakhir, banyak media yang menyorot tentang muatan partai nasional dan lokal. Sehingga, berita-berita tentang pendidikan, pembangunan, ekonomi, budaya, sering terabaikan. Wajar saja, melihat fungsi media juga sebagai pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, tak bisa juga di pungkiri bahwa media akan bersaing untuk memperjuang ‘profit oriented’ dalam dunia bisnis. Maka, control sosial seolah menjadikan pers Indonesia seperti api jauh dari panggang.
Dalam situasi seperti itu, jelas kepentingan rakyat yang bukan penguasa atau politisi dan mengusaha media sering terabaikan. Masyarakat jadinya tidak memperoleh pendidikan politik secara baik, namun lebih banyak menerima pendidikan politik yang bersifat manipulatif dari kepenting media dan politik itu sendiri. Sebab, pers sendiri agak kurang suka memberitakan arti pentingnya program partai dan lebih gemar mengekpose ramainya peristiwa kompanye. Dengan demikian, masyarakat juga sudah mengikuti dan merasakan hawa media memang sudah berpihak atas kepentingan elit politik, bukan lagi pro kepada masyarakat. Jadi, mau tak mau masyarakat media apa saja “harus di tonton dan di baca, itu apa adanya, itulah yang ada.”
Menjaga Independensi
Kalau ada acara seminar atau sosialisai media massa baik di lokal maupun nasional, saya sering bertanya kepada berbagai pemateri yang menjabat sebagai direktur atau sekurang-kurangnya pimpinan redaksi di sebuah media nasional. Pertanyaan saya cukup sederhana, masih adakah media di Indonesia yang tidak berpihak kepada ‘kepentingan politik?’ rata-rata hampir semua jawaban dari pemateri tersebut menjawab tidak ada. Jawaban itu sudah jelas, bahwa media kita secara nasionalis masih berada dalam ‘pelukan’ partai politik.
Reformasi di tahun 1998 dan berlakunya Undang-Undang no.40 tahun 1999 tentang Pers serta UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, telah membuka pintu bagi media massa di Indonesia untuk bisa berperan lebih maksimal dalam mencerdaskan masyarakat atas hak hak sipil dan hak hak politiknya dalam memilih wakil wakilnya yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presidennya.
Dengan demikian, seharusnya media massa yang tak terlepas dari empat pilar kebangsaan harus menjaga keberlangsungan pemilu mendatang. Bukan malah dijadikan sebagai alat kepentingan kepada satu golongan dan meninggalkan nilai-nilai demokratis media itu sendiri. Persoalan yang akan terjadi bila mana, media massa menjadi harapan semua pihak ternyata dimiliki oleh pemilik yang juga menjadi pelaku politik bahkan partai politik.
Media seharusnya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara jangan sampai menjadi alat ‘pembodohan publik’. Kalau memang seperti itu, wajar saja bangsa kita terus mengalami kemunduran karena hari ini yang berkuasa bukanlah penguasa, tetapi siapapun penguasa adalah mereka yang menguasai media. Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana seharusnya media massa menjalankan fungsinya sesuai dengan tatanan UUD 1945 dan nilai-nilai pancasila. Meskipun itu menjadi sebuah impian dan harapan bagi kita semua, namun jangan sampai ‘mimpi’ karena media saat ini sudah menjadi sarang dan bumerang bagi sang penguasa negeri ini.
Untuk mencari format baru, hari pers nasional jatuh pada Tanggal 9 Februari 2014 merupakan sebuah pelajaran bagi kita untuk saling mengingatkan arti, fungsi, dan hakikat pers itu sendiri. Di hari ini, tentu kita mengharapkan kepada semua media massa di Indonesia agar tidak mengorbankan kepentingan publik di atas kepentingan politik. Ini menjadi refleksi bagi kita semua, agar tetap menjaga independensi diri sebagai jurnalis, maupun sebagai lembaga yang menyiarkan, memberitakan informasi kepada khalayak ramai. Serta, masyarakat juga harus cerdas dalam menyikapi pemberitaan media, dan dianjurkan untuk bersikap skeptis dan tidak apatis dengan informasi yang ada pada hari ini dan masa akan datang.
Penulis adalah Alumni Muharram Journalis College angkatan ke-3 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.