Oleh: Win Wan Nur*
Belakangan tensi hubungan antara Aceh dan Gayo menghangat. Sejak beberapa tahun belakangan Gayo yang merupakan suku minoritas terbesar di provinsi ini mengajak beberapa suku minoritas lain untuk mendirikan provinsi baru yang terpisah dari Aceh.
Sebagaimana dulu Indonesia melecehkan perjuangan Aceh ketika Aceh ingin memisahkan diri dengan Indonesia. Kali ini Aceh pun mengikuti jalan yang sama, melecehkan perjuangan Gayo yang menggandeng beberapa suku minoritas lainnya untuk mendirikan provinsi terpisah.
Sebagaimana Indonesia menghadapi perlawanan Aceh. Dalam usaha untuk meredam perlawanan Gayo, Aceh kerap menggunakan argumen sejarah. Menggambarkan keharmonisan masa lalu untuk menjadi alasan untuk meyepelekan keinginan untuk berpisah itu sembari memberi label bahwa keinginan itu hanya ambisi dari segelintir orang saja. Mereka sama sekali menutup mata dari kemungkinan bahwa kondisi hubungan ini dalam konteks kekinianlah yang menjadi pemantik dari keinginan berpisah itu.
Entah karena lupa, atau mereka sengaja membuat kita lupa bahwa keadaan yang kita alami sekarang sebenarnya tidak lain adalah respon dari situasi
yang terjadi sebelumnya.
Pada prinsipnya, bisa dikatakan semua orang di dunia sepakat bahwa “kalau tidak rusak, tentu tidak perlu diganti”. Jadi kalau suatu sistem itu sudah berjalan dengan “baik” dan semua pihak sudah merasa nyaman. Tak akan ada pihak yang menuntut perubahan.
Kenapa Republik Indonesia lahir? itu karena sistem kolonialisme sebelumnya itu brengsek. Kenapa Afrika Selatan punya presiden kulit hitam? Karena sistem apartheid itu kurang ajar. Kenapa MEE lahir? jelas karena sistem sebelumnya tidak cocok lagi dengan situasi nyata di Eropa yang sebetulnya sudah sangat terintegrasi dalam banyak hal. Kenapa PBB lahir? alasannya karena sebelumnya negara-negara saling berperang dan tidak ada forum untuk membuat solusi diplomatik. Jadi, semua fenomena itu sebenarnya tidak lain adalah solusi dari situasi yang terjadi sebelumnya. Kasus hubungan Aceh dan Gayo yang memanas seperti sekarang, jelas tidak termasuk sebuah pengecualian.
Ketika semua sistem berjalan dengan baik dan semua pihak merasa puas. Meskipun perbedaan sedemikian nyata, tak akan ada pihak yang merasa memerlukan perubahan. Contohnya bisa kita lihat pada negara Swiss, penduduk negara itu jelas-jelas sangat berbeda dari segi budaya dan bahasa. Orang Swiss yang berbahasa Jerman dan orang Swiss yang berbahasa Perancis dan Italia, tidak dapat berkomunikasi dengan lancar sesama mereka karena perbedaan bahasa. Tapi karena sistem berjalan lancar dan memuaskan semua kalangan. Sejak ribuan tahun, tak ada gerakan politik di Swiss yang menginginkan perpisahan. Bandingkan dengan Spanyol,Yugoslavia, Cekoslovakia dan negara-negara eropa lainnya yang marak dengan tuntutan pemisahan meskipun mereka memiliki bahasa persatuan dan satu sama lain sangat mirip secara budaya.
Dalam kasus Indonesia, Aceh adalah contoh nyata. Meskipun sejarah menunjukkan Aceh adalah daerah modal bagi kemerdekaan Indonesia, daerah yang sangat teguh membela Indonesia. Tapi ketika Aceh merasa tidak nyaman dengan perlakuan Indonesia, tidak puas dengan perhatian yang ditunjukkan Indonesia. Aceh pun berontak untuk memisahkan diri. Hasan Tiro, seorang pemuda nasionalis yang merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di kampungnya malah mendeklarasikan perlawanan terhadap Indonesia. Padahal kalau dilihat latar belakangnya, pemerintah Indonesia lah yang memberinya beasiswa untuk kuliah di UII Jogja untuk kemudian meneruskannya ke Amerika.
Meskipun pemerintah Indonesia dengan segala propagandanya menggambarkan bahwa perlawanan Aceh ini hanyalah perlawanan dari segelintir barisan sakit hati. Propaganda ini hanya mempan ketika Indonesia masih memiliki kontrol penuh atas informasi. Tapi ketika pasca reformasi, saat beragam informasi yang ditutupi ini terbuka. Perlawanan masif pun tak dapat dihindari, dan puncaknya Indonesia harus rela berkompromi memberikan kewenangan lebih besar bagi Aceh untuk mengurus diri sendiri melalui MoU Helsinki.
Kini setelah Aceh mendapat kewenangan besar mengurus diri sendiri. Rasa tidak nyaman pun dirasakan oleh suku-suku minoritas yang tidak berbahasa Aceh. Sebenarnya rasa tidak nyaman dan ketidak puasan ini sudah lama ada, tapi selama ini tertutupi dan banyak disimpan dalam hati karena keterbatasan media komunikasi. Belakangan seiring dengan berkembangnya teknologi, berbagai ketidak nyamanan ini pun mulai bebas dikomunikasikan antara satu pribadi dengan pribadi lainnya. Dan semua rasa tidak puas dan ketidak nyamanan ini pun mengapung muncul ke permukaan.
Sebagaimana perlawanan Aceh yang dulunya hanya didukung oleh segelintir orang, membesar ketika Indonesia memberikan tekanan represif terhadap Aceh. Perlawanan Gayo kepada Aceh juga mengikuti pola yang sama. Dari awalnya perlawanan hanya didukung oleh segelintir orang. Perlawanan Gayo terhadap Aceh membesar ketika Aceh yang sudah mendapat kewenangan lebih, menanggapinya dengan sikap arogan melalui sikap dan omongan dari para pemegang kekuasaan yang melecehkan Gayo. Ketika kelompok di akar rumput Aceh pun mengikuti pimpinan mereka semakin meremehkan dan melecehkan Gayo, sikap antipati dan perlawanan ini pun semakin membesar. Dan sebagaimana kita rasakan dan alami bersama, berkaitan dengan Pemilu kali ini, sudah sempat terjadi gesekan, meskipun sifatnya masih internal.
Akan menjadi seperti apa nantinya hubungan antara Aceh dan Gayo ini ke depan. Tak ada yang bisa menjawabnya sekarang. Karena jawabannya sangat bergantung pada bagaimana cara pemerintah Aceh dan kelompok yang ingin berpisah dari Aceh memainkan perannya dalam merespon situasi yang ada pada saat ini. Masyarakat akan menjadi pihak penilai.
Jawaban itu kemungkinan besar akan segera bisa kita dapatkan, selesai Pemilu nanti.
*Pemerhati Sosial dan Politik
yah win ini2 saja yang kamu bahas sampe kiamat…
beda orang bodoh sok berani, sok pande, kalau orang hebat itu bukan berkoar kayak kau monyet,,,,
kalau kau hebat adikmu enggak sampe harus cari makan ke nias … taikk kau memang cuma bisa memanasin orang2 aja kerjaan kau
preeeet, yang panas kan kau aja win, dari gempa di gayo, orang yang membantu kau panas2in, supaya tidak usah menerima bantuan dari pesisir, kau memang manusia yang hidup dengan penyakit hati, asik itu2 aja yang kau tulis bajingan, kau urus aja keluargamu sendiri taik jangan kau urus semua orang gayo, cuiih…
terbaca ada suara…tapi nggak ada orangnya. Ini tulisan hantu, atau pengecut darimana ya?
beda orang bodoh sok berani, sok pande, kalau orang hebat itu bukan berkoar kayak kau monyet,,,,
kalau kau hebat adikmu enggak sampe harus cari makan ke nias … taikk kau memang cuma bisa memanasin orang2 aja kerjaan kau