LECUTAN dari sang pengeksekusi dengan wajah tertutup, pakaian serba hitam, bukanlah hal terbaru di Aceh. Negeri paling barat Pulau Sumatra ini sudah menerapkan hukum cambuk bagi pelanggar syariat.Namun seriuskah Aceh menerapkan hukum jinayat ini? Adilkah hukuman itu. Bukankah selama ini yang kena dera dengan besutan ini mereka dari kalangan bawah. Sementara pemain kelas kakap bagaikan tak terjamah dari besutan cambuk.
Catatan terakhir berasal dari Aceh Tengah, dalam pekan menjelang Ramadhan 1435 H dilakukan eksekusi cambuk di lapangan terbuka, Musara Alun. Hadir di sana pejabat teras daerah dan ratusan penonton, yang menyaksikan terhukum mendapatkan cambukan. Keempat warga Aceh Tengah yang mendapatkan masing-masing enam cambukan ini, karena melakukan perjudian (maisir) kelas teri. Pemain judi di gardu jaga, di warung kopi kecil, menjadi contoh terhadap hukuman syariat ini.
Sementara sejumlah lokasi perjudian yang melibat sejumlah oknum baik TNI, POLRI, kalangan pejabat, seperti dibiarkan. Sulit dijamah aparat penegak hokum. Hukuman cambuk untuk efek jera. Efektifkah? “ Kalau hanya untuk efek jera kepada masyarakat, saya yakin ini tidak bisa jadi efek jera, Justru jadi perbincangan atau gunjingan terhadap rasa ketidak adilan yang terjadi didaerah ini. Penerapan hukum cambuk hanya menyentuh masyarakat kecil saja,” sebut Aramiko Aritonang.
“Kalau mau diterapkan, silahkan WH melakukan razia tempat judi yang sudah meraja rela. Termasuk judi bola dalam piala dunia ini. Tangkap semuanya kalau mau berbicara keadilan,” sebut ketua Taruna Merah Putih (TMP) Provinsi Aceh ini. “Kita mendukung Pemerintah Aceh Tengah menegakan syari’at islam, namun jangan pilih- pilih. Dosa besar bila hukuman cambuk untuk masyarakat kecil saja,” sebut Aramiko.
“Kalau disebutkan tidak tahu lokasi perjudian atau maksiat lainnya, itu keterlaluan. Berarti tidak bekerja. Kalau tidak tahu lokasi perjudian, apa pemerintah mau kami ditunjukkan dimana saja lokasi perjudian itu?” jelas tokoh muda Aceh Tengah ini. Hal senada juga disampaikan Wen Ruhdi Batin, yang sering menyaksikan prosesi eksekusi cambuk di Takengen.
“ Masih banyak judi-judi skala besar yang merusak moral masyarakat Aceh Tengah, seperti judi togel dengan omset diduga mencapai ratusan juta/hari, namun pertanyaanya, pernahkah mereka ditangkap dan di cambuk. Mengapa rakyat kecil ditangkap,” tanya pemerhati sosial ini.
Penulis pernah menurunkan berita, ketika dilakukan eksekusi cambuk (maisir) di halaman Kantor Bupati Aceh Tengah, 4 tahun yang lalu. Saat itu ada wanita yang dicambuk, namun ada juga oknum TNI yang juga tertangkap bersama wanita ini. Tapi sang oknum TNI tidak terjamah qanun syariat Islam Aceh.
Kini kembali dilakukan eksekusi cambuk, namun masyarakat menilai hukuman itu masih pilih kasih. Rakyat kecil yang bermain judi di gardu, warung kopi (warteg) dengan taruhan “iseng” yang diincar pihak penyidik, sementara taruhannya besar, bagaikan dibiarkan. Apakah hukum cambuk ini untuk sikecil? Pertanyaan itu kini menjadi pembahasan rakyat di Dataran tinggi penghasil kopi arabika terbesar di Indonesia ini. (Bahtiar Gayo/ Waspada edisi, Sabtu 28/6/2014)