UNSYIAH; Antara Syiah dan Syi’ah

Oleh: Hanif Sofyan*

hanif sofyan
hanif sofyan

Ketika wacana penggantian nama Unsyiah sebagai universitas tertua di Aceh, bergulir, pertanyaan pertama adalah mengapa baru sekarang?. Sehingga dengan kompleksitas masalah yang tengah dirundung unsyiah yang lebih substansial seperti akreditasi, sebagian orang berargumen alasan penggantian nama ini bukan persoalan krusial. Bahkan ada yang secara satir menyebut sebagai wacana kekuatiran belaka.

 

Kemunculan wacana ini sesungguhnya juga bukan kali pertama, sebelum terungkap dalam pidato Rektor Unsyiah, Prof Dr Ir Samsul Rizal MEng saat melantik pengurus Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unsyiah periode 2014-2016 di Banda Aceh, Rabu (25/6/2014). Wacana ini selintas juga pernah digulirkan dalam lustrum Fakultas Tehnik. Kala itu sebutan untuk “syiah” pada kata Syiah Kuala bahkan dipertegas dengan syah tanpa tambahan ‘i’ untuk “menghilangkan” konotasi ‘keterlibatan dan keterkaitan” unsyiah dengan ‘syi’ah sebagai muasal bergulirnya wacana perubahan nama Unsyiah yang makin hangat dan santer belakangan ini.

 

Wajar, jika kemunculan gagasan ini menimbulan pro kontra yang meluas, bahkan kekuatiran yang mendalam karena bukan tanpa alasan. Namun penting digaris bawahi, kemunculan diskursus wacana ini harus dimaknai positif sebagai langkah mencari solusi kongkrit agar lahir dan menguatnya basis pemikiran bersama bagi siapapun yang berkomitmen dan terusik dengan kemunculan wacana ini ditataran publik. Ruang diskusi yang terbuka harus menjadi sebuah referensi penting memenuhi harapan perlu tidaknya merubah nama Unsyiah. Dan mungkin lebih bijaksana jika kita menyebutnya sebagai upaya ‘meluruskan sejarah’.

 

Wacana Ala Gusdur?

Tidak dalam kapasitas melecehkan, namun wacana model begini, mengingatkan kita pada gagasan mantan Presiden Gus Dur. Ketika mewacanakan mengganti Assalamualaikum dengan “ucapan selamat pagi, siang dan malam”. Ketika gagasan ini menimbulkan pro dan kontra di tataran publik, lalu dengan enteng Gus Dur berujar, “kalau banyak yang keberatan, kembalikan saja ke salam semula, itu saja kok repot!”. Namun yang patut digarisbawahi secara positif dari munculnya wacana Gus Dur tadi yang diterjemahkan sebagai upaya memahami substansi salam dan maknanya, tidak sekadar salam belaka. Intinya, wacana yang bergulir hari ini, mungkin bisa bermakna dan disikapi sesederhana itu, bisa rumit dan mudah tergantung kebutuhan dan kepentingannya.

 

Dan muasal didorongnya wacana ini menjadi konsumsi publik, juga dalam  kerangka itu, menuntaskan diskursus yang timbul tenggelam, dengan menyerap sebanyak mungkin aspirasi, alternatif solusi dan referensi sekaligus. Artinya ini sebuah upaya kongkrit yang didorong para civitas akademika dalam menyikapi kemunculan opini di luaran yang mendorong seolah Syiah Kuala merepresentasikan ajaran Syi’ah yang tidak sepenuhnya diterima dengan baik di Indonesia. Plus disangkut pautkan dengan konstelasi friksi politik Syi’ah-Sunni yang gamang di Timur Tengah. Sehingga ada sedikit kekuatiran kita bisa terbawa dalam arus deras politik mondial gara-gara konotasi nama tadi.

 

Dan dalam kerangka pemikiran yang skeptis, kekuatiran ini mungkin juga muncul dari pihak “lua nanggroe”, yang tidak memahami substansi akar sejarah Aceh, sehingga menyangkut pautkan dengan syi’ah. Meskipun pemikiran ini masih hanya sebuah tesis, dugaan yang butuh telaah dan tidak dimaksudkan untuk makin memperuncing persoalan yang sederhana menjadi makin kompleks dan tidak terarah.

 

Mengulik Sejarah

Kajian kesejarahan dibutuhkan untuk menguatkan dasar dan filosofi mengapa kita pada akhirnya memilih nama Syiah Kuala sebagai nama perguruan tinggi terbesar dan tertua di Aceh. Dan makin menguatkan mengapa kita harus mempertahankan nama Syiah Kuala kepada seluruh lini civitas akademika Unsyiah agar memahami akar sejarah dan menjadi mafhum adanya.Bisa jadi persoalan mendasarnya adalah pemahaman yang lemah tentang nilai kesejarahan Unsyiah tadi. Jangankan pihak luar yang hanya mengenal Unsyiah dari kepanjangan Universitas Syiah Kuala, beberapa generasi Unsyiah yang baru bergabung dengan kampus barunya, juga tak sepenuhnya memahami substansi nama kampusnya sendiri, ini realitas yang bisa dibuktikan melalui kajian.

 

Secara historis, penabalan nama Syiah Kuala, bagi penamaan Universitas Terbesar dan Tertua di Aceh, sudah ada sejak 2 September 1959. Gagasan ini diinisiasi ketika pembentukan Propinsi Aceh, rintisan Unsyiah bahkan telah digagas pada tahun 1957. Ketika itu Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel H. Syamaun Gaharu dan Mayor Teungku Hamzah Bendahara, dengan dukungan para penguasa, cendikiawan, ulama, politisi, dan pemuka-pemuka masyarakat lainnya meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan pendidikan daerah Aceh dalam upaya mengatasi keterbelakangan di berbagai bidang pembangunan.

 

Sebagai catatan untuk menelusuri akar muasal sejarah, sebagai basis awal pemikiran kita, perlu disarikan bahwa, nama Syiah Kuala adalah nama alias Teungku Syekh Abdurrauf As Singkily, ulama besar kelahiran singkil 1615 yang tak lain adalah kemenakan kandung dari ulama sufi terkenal Hamzah Fansury. Riwayat pengembaraan ilmunya hingga keantero Mesir, Makkah dan Madinah menjadikannya ulama, negarawan, ahli hukum dan pengarang yang mumpuni.

 

Dimasa sebelum meninggalnya pada 1693 dan dikebumikan di Banda Aceh, dekat Kuala Krueng Aceh, Beliau dikenal menjadi salah satu pelopor dan pendorong pembangunan manusia, melalui berbagai dayah, institusi pendidikan setingkat Perguruan Tinggi yang didirikan dan dikelolanya, yang selanjutnya juga ditabalkan dengan namanya “Syiah di Kuala”.

 

Dalam kapasitasnya sebagai mufti  Agung dan Kadhi Malikul Adil pada masa Pemerintahan Sultanah Tajul Alam Sri Ratu Safiatuddin hingga Sultanah Sri Ratu Keumalat Syiah, hidupnya didedikasikan sepenuhnya bagi kemajuan dayah. Sebagaimana dituang dalam Sarakata Aceh, bahwa fokus utama yang di dorong oleh Kesultanan Aceh adalah pendidikan, disamping tiga pilar lainnya sebagai basis penguatan berbagai persoalan lain yang melemahkan Aceh sejak dahulu hingga sekarang ini.

 

Lalu dalam masa yang berbeda, ditahun 1959 namanya kemudian ditabalkan menjadi nama perguruan tinggi pertama di Aceh, Kampus Darussalam Jantong Hate Rakyat Aceh- Universitas Syiah Kuala. Ini sekaligus menjadi titik balik kesejarahan rakyat Aceh mengenang ulama besar yang memelopori pembangunan manusia melalui dayah. Dan membangun institusi pendidikan yang modern dengan semangat kepeloporan beliau.

 

Realitas kesejarahan tadi kiranya bisa menjadi basis pemikiran kita ketika mewacanakan kembali gagasan untuk memilih mengubah atau tidak, nama Unsyiah. Tidak hanya sekedar untuk meghilangkan risau dan kekuatiran kita karena  munculnya konotasi syi’ah. Karena jika itu akarnya, mungkin alternatif sosialisasi intensif lebih bijaksana daripada mengutak-atik sejarah yang telah menjadi keniscayaan kultur kita. 

*Pegiat ‘aceh environmental justice’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.