Refleksi 9 Tahun Perdamaian Aceh:Damai Dalam Sekam

Oleh: Hanif Sofyan*

Berbagai fenomena politik paska pileg dan pilpres 2014, dapat dibaca sebagai sinyal perdamaian yang rapuh. Karena setiap pertikaian, perbedaan pendapat dan tuntutan yang diatas namakan ‘rakyat Aceh’ dapat dengan serta merta dipolitisir menjadi muatan politik yang bertendensi konflik.

Perbedaan pendapat di tingkat elit, sekalipun wacananya panas-dingin mengindikasikan banyak pergulatan yang memicu kekuatiran kita sebagai rakyat kecil. Mestinya perbedaan pemikiran dan persepsi politis tidak muncul dalam ruang publik secara ‘vulgar’. Apalagi kisarannya konflik hanya berputar pada kepentingan yang sama berulang-ulang, karena counter via media antar pihak yang bertikai, seperti ‘mempermainkan’ perdamaian. Meskipun perbedaan pendapat adalah hal jamak dalam sebuah demokrasi yang tengah dibangun dan ditumbuhkan, namun harus memahami tindak etis sosial, politis, agar tidak meresahkan.

Panjangnya ‘jeda’ konflik hari ini, jika perdamaian bisa dimaknai demikian karena tingkat kerentanannya yang timbul tenggelam. Terus menjadi mainan politik di tingkat elitis, semakin tinggi pemahaman secara politik, semakin tinggi juga ‘peran’ mereka dalam mengaduk nanggroe menjadi suasana yang gamang.

Padahal dalam dinamika roda pemerintahan yang telah berjalan selama ini, berbagai alasan yang pada awalnya dianggap pemicu ketidakstabilan politik di nanggroe, secara perlahan telah terkikis dengan berbagai kebijakan pusat yang mulai ‘bersahabat’. Namun disisi lain juga kembali dibangun semacam ‘bargaining power’ baru yang dijadikan amunisi sebagai ‘bom waktu’ klonflik baru.

Lambang dan bendera yang sempat membuka babak baru ‘ketidakharmonisan’, diikuti berkembangnya wacana  ALA-ABAS sebagai basis lahirnya konflik horizontal, lalu dilanjutkan dengan  soal KKR dan bagi hasil migas, yang secara substansial  menjadi  wacana yang rentan jika tidak disikapi dengan cara bijaksana dan didorong menjadi muatan konflik baru.

Disisi lain pemikiran yang terus didorong adalah kita mesti bekerja ekstra keras atas ‘pekerjaan rumah’ membangun keadilan dan kemakmuran dengan ‘uang yang kita miliki hari ini. Kita mesti bijaksana menyikapi berbagai persoalan, dalam arti kita juga harus instospeksi , melakukan evaluasi atas kerja-kerja kita selama ini. Apakah karunia Allah azzawajala berupa perdamaian dengan guyuran dana otsus triliun rupiah yang melimpah telah benar kita jalankan amanahnya?. Apakah dana melimpah itu telah kita jadikan fondasi bagi Aceh Masa depan yang lebih mandiri?,apakah tata kelola dana telah sampai kepada para penerima berkah kemakmuran, utamanya rakyat di semua lini dari Kota hingga gampong?.

Jika pertanyaan substansial itu belum terjawab, karena di tataran elitis belum bisa menuntaskan kasus korusi yang merajalela, masih berlakunya nepotisme, kolusi, sistem kekerabatan dalam membangun nanggroe. Belum dijalankannya amanah UUPA menjadikan Aceh negeri  bersyariah yang madani. Maka sudah semestinya kita tidak menafikan persoalan negeri sendiri yang karut marut dengan bertindak sebagai orang yang tidak melihat gajah dipelupuk mata, namun bisa melihat semut di seberang lautan. Kita bertindak munafik atas realitas karunia yang tidak dioptimalisasikan untuk membangun basis perdamaian dan kemakmuran.

Berbagai cara pandang dalam menyikapi perdamaian yang diwarnai kepentingan politik partai dan golongan yang kronis menyebabkan perdamaian nanggroe kita tidak pernah bisa menemukan bentuknya yang hakiki. Setiap  kerikil perbedaan menjadi sandungan bagi perdamaian yang bisa diciptakan dengan mudahnya.

Dinamika perpolitikan paska pilpres yang paling mutakhir, yang mendorong evaluasi total dari para elit dipemerintahan hingga usulan ‘memberhentikan’ Gubernur, namun tidak wakilnya menimbulkan ekses kebingungan publik atas wacana yang bergulir. Sebagaimana kekuatiran yang disuarakan politisi Ghazali Abbas Adan. Terlepas dari apapun model muatan politis yang akan didorong, kelahiran semua model wacana harus memiliki argumentasi yang dapat menenangkan publik. Setidaknya alasan logisnya adalah karena siapapun yang duduk di pemerintahan dan parlemen hari ini adalah wakil rakyat langsung melalui proses yang katanya ‘demokratis’. Jadi tidak semestinya mendorong perdamaian yang telah diperjuangkan lebih dari 30 tahun menjadi perdamaian yang basi dan sia-sia.

Suara rakyat adalah suara Tuhan, ketika amanah rakyat kepada para pemimpin tidak diindahkan maka Allah bisa berkehendak kepada siapapun yang tidak mau bersyukur dan tidak mau berubah!.

*Pegiat – aceh environmental justice (AEJ)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.