Oleh : Ghazali Abbas Adan*
Mungkin benar pernyataan anggota DPD-RI asal Aceh HT Bahrum Manyak; “UUPA dan MoU Helsinki berpotensi melahirkan perpecahah di masyarakat bila tak ada satu pemahaman terhadap keseluruhan isi Undang-Uhdang dan MoU itu. Karenanya Gubernur Aceh harus mensosialisasikan UUPA dan MoU Helsinki ke seluruh rakyat Aceh dan pejabat pusat di Jakarta” (Serambi, 19/12/3013).
Tetapi menurut saya, pejabat Aceh juga tak paham UUPA dan MoU Helsinki itu. Oleh karenanya sudah menjadi fakta, terjadi perpecahan dalam masyakat. Lihat saja Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang memunculkan kontroversi dalam masyarakat. Ini disebabkan isinya banyak yang bertentangan dengan UUPA. Misalnya Wali Nanggroe harus sosok yang independen dan non partisan.Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya hanya sebagai pemimpin adat, berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lemgaga-lembaga adat, adat istiadat, serta berwenang pula untuk memberi gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Namun faktanya isi qanun itu berbanding terbalik dengan isi UUPA. Lembaga Wali Nanggroe lebih perkasa dari eksektif dan legislitif. Di eksekutif ada SKPA, sementara di Lembaga Wali Nanggroe ada rupa-rupa Majelis. Dengan isi demikian selain ditentang dan ditolak oleh berbagai elemen masyarakat di Aceh, Pemerintah Pusat-pun melalui Kemendagri sampai saat ini belum menyetujuinya.
Di mata mereka dalam UUPA dan MoU Helsinki yang ada hanya tentang Lembaga Wali Nanggroe, bendera dan lambang, sehingga begitu bersemangat membahasnya, dan sim salabim, lam siklep siklap sudah selesai dan langsung dimasukkan dalam Lembaran Daerah.
Padahal ada juga tentang syari’at Islam yang harus dibuat beberapa qanun sebagai fondasi niscaya syari’at Islam ditegakkan dan dilkasanakan, seperti Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. Juga tentang KKR dan Pengadilan HAM. Isinya jangan asal jadi, tetapi harus sesuai dengan kehendak dan aspirasi masyarakat. Hal-hal yang sebut ini sudah lama dan terus menerus dituntut berbagai elemen masyarakat untuk segera diwujudkan. Tapi faktanya seperti yang kita rasa dan saksikan sekarang.
Berkaitan dengan MoU Helsinki, alinea kedua Mukadimah MoU Helsinki dengan tegas mengamanahkan, yang intinya Aceh bagian dari NKRI, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Aceh terikat, tunduk dan patuh pada konstitusi Indonesia. Tetapi faktanya tidak demikian. Membuat aturan/qanun semaunya dan menabrak aturan yang lebih tinggi sesuai tata urutan hukum dan peraturan perundang-undangan NKRI.
Benar, mungkin para pejabat Aceh selalu “bertadarus” dengan MoU Helsinki dan UUPA, dari halaman awal sampai akhir sudah dihafal. Tetapi menurut saya, hal ini bukanlah indikator mereka sudah paham MoU Helsinki dan UUPA. Tetapi sejauh mana mereka mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Aceh sebagai bagian dari NKRI.
Dengan fakta ini, menurut saya, sosialisasi MoU dan UUPA tidak hanya untuk seluruh rakyat Aceh dan pajabat pusat, tetapi yang lebih utama dan diutamakan adalah semua pejabat eksekutif dan legislatif Aceh, dari Gubernur/Wakil Gubernur sampai dengan Keuchik. Demikian pula pimpinan dan anggota legislatif di semua tingkatan. Juga wakil-wakil Aceh di lembaga legislatif di pusat, yakni DPR dan DPD-RI. Sebab selama ini mereka agaknya membiarkan, bahkan kasat mata ikut mendukung perilaku yang tidak sesuai MoU Helsinki dan UUPA di Aceh yang menyebabkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat Aceh yang heterogen.
Wassalam
Salah seorang rakyat jelata di Aceh*