Oleh : Ghazali Abbas Adan
Relasi antara Aceh dan pemerintah pusat saat ini berbeda dengan sebelum penandatangan MoU Helsinki dan lahirnya UUPA, di mana kala itu Aceh dan pemerintah pusat berada pada posisi head to head, berhadap-hadapan dan antagonis satu sama lain.
Aceh saat ini de jure, de facto dan pengakuan internasional bagian yang tegas dari NKRI. Dengan demikian Aceh berada pada posisi di bawah “kendali” dan bersentuhan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan gubernur adalah perpenjangan tangan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemerintahan di Aceh.
Karenanya menurut saya, paradigma head to head dan pendekatan antagonistik tidak tepat lagi untuk dipraktik ketika melakukan interaksi dan komunikasi antara keduanya. Ketika melakukan komunikasi dan interaksi timbal balik tidaklah dalam wujud head to head dan antagonistik itu, tetapi penuh kekeluargaan, kedewasaan, dialogis, santun, cerdas dan argamentatif. Tidak perlu emosional, arogan, penampilan wajah sangar, tutur bahasa vulgar dan kasar, serta mengeluarkan ancaman ini dan itu.
Sekaitan dengan wacana Mendagri mengevaluasi kembali beberapa qanun Aceh, menurut saya sejatinya pula diserspon bukan dengan cara head to head dan antagonistik, marah-marah, serta mengeluarkan kata-kata kasar. Apalagi, sebagaimana berita terbaru, bahwa Mendagri belum memutuskan qanun yang dievaluasi itu.
Seandainya kelak Mendagri benar-benar mengevaluasi qanun-qanun Aceh, sementara qanun-qanun itu dikehendaki dan disetujui oleh segenap lapisan, tidak ada yang kontroversi di tengah-tengah masyarakat Aceh, maka secara bersama-sama, pemerintah Aceh, DPRA, DPD, DPR -RI, dan representasi berbagai elemen masyarakat Aceh yang ada di Aceh di luar Aceh bertemu, serta dengan santun, cerdas, dewasa dan argumentatif berdialog dengan Mendagri.
Karenanya, sangat tepat keinginan berbagai pihak, bahwa pemerintah Aceh harus menjalin relasi, komunikasi, kolektif kolegial bersama wakil-wakil Aceh di parlemen Indonesia (DPR dan DPD RI), demikian pula sebaliknya, sekaitan dengan kebutuhan dan kepentingan Aceh di tingkat pusat, karena memang fungsi mereka di Senayan adalah penyambung lidah rakyat Aceh di tingkat pusat itu.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi DPR dan DPD RI wakil Aceh itu meninggalkan pemerintah Aceh sendirian dalam upaya memperjuangkan hak-hak konstitusional dan aktual rakyat Aceh pada pemerintah pusat. Untuk hal ini, tentu harus ditempuh dengan cara-cara dewasa, santun, cerdas dan argumentatif, sebagai wujud nyata karakter pemimpin-pemimpin modern, beradab dan bermartabat.(Rel/LG007)
Wassalam
Penulis : Senator Indonesia dari rakyat jelata di Aceh.