Oleh : Ismahyudi Mukhtar
Berkaca pada pengalaman yang telah lalu tentang kekecewaan masyarakat luas akan pemimpin yang berjanji manis pada saat kampanye namun berakhir pada kebencian dan penyesalan bagi sebagian besar pemilihnya. Efek jangka panjang yang kita rasakan bersama juga adalah menurunnya tingkat trust (kepercayaan) masyarakat kepada para calon pemimpin di masa yang akan datang.
Seharusnya kita selaku masyarakat, sadar bahwa tidak ada manusia yang benar-benar bersih di permukaan bumi ini (kecuali Rasulullah. SAW), akan tetapi pada prakteknya sebagian besar masyarakat tidak menyadari akan hal ini, sehingga menggantungkan harapan yang begitu besar dan tak terukur kepada pemimpin serta begitu mudah terbuai akan rayuan, janji manis para calon pemimpin ketika melakukan kampanye.
Tidak jarang juga masyarakat terjebak kedalam sosok yang mendadak populer akibat pencitraan media, yang lebih parah lagi melakukan praktek money politic demi menunjukkan sikap kedermawanan-nya, atau bahkan secara terang-terangan melakukan kontrak dengan masyarakat ketika memberikan sejumlah uang atau barang dengan syarat harus memilih beliau (red: calon) pada pemilihan yang akan berlangsung, juga tidak dapat dipungkiri hal itu terjadi akibat sikap ke-apatisan masyarakat terhadap dampaknya dengan asumsi “paling tidak sebelum terpilih sudah memberikan sesuatu, daripada tidak sama sekali”.
Sadar akan latar belakang pendidikan masyarakat yang beragam serta pemahaman tentang dunia politik yang masih begitu rendah jika dirata-ratakan, seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk mensosialisasikan dampak pelanggaran dan keapatisan masyarakat bagi kemajuan bangsa secara umum dan daerah yang kita tinggali khususnya.
Ada dua definisi Kampanye dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : (1) “Gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, mengadakan aksi, dsb.)” dan (2) “Kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara”.
Sementara dalam peraturan KPU Nomor 14 tahun 2010 tentang perubahan atas peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 69 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 5 ayat (1) “Kampanye Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah seuatu kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye/pelaksana kampanye/petugas kampanye untuk meyakinkan para pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan sebesar-besarnya, dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon secara lisan atau tertulis kepada masyarakat…”
Jika merujuk kepada definisi tersebut, Kampanye sesugguhnya adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengajak serta meyakinkan orang banyak terhadap visi, misi serta program dari satu orang atau kelompok tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan. Keterbatasan definisi serta peraturan tersebut memberikan peluang untuk melakukan sesuatu yang tidak tercantum didalamnya (dalam praktek kampanye), seperti demi mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat, maka partai politik atau pasangan calon bisa saja melakukan kebohongan kepada masyarakat awam tentang siapa dia, mengucilkan lawan politik lain, atau bahkan melakukan praktek money politic (yang meskipun kini telah ada UU yang mengaturnya namun sampai saat ini masih terjadi).
Jika boleh, sebagai Muslim dan juga daerah Aceh yang notabene penduduknya adalah Muslim, tidak ada salahnya jika kita mengenal etika kampanye dalam Islam yang pada tulisan ini hanya secara garis besar saja dan menjadi tugas kita bersama untuk terus belajar bagaimana Islam mengatur Kampanye.
Ikhlas dan membebaskan diri dari motivasi rendah. Tidak perlu mati-matian, menghalalkan segala cara, karena sejatinya jabatan adalah kepercayaan, yang kalau Allah berkehendak maka tidak ada yang mampu mencegahnya. Sehingga terpilih atau tidak, tidak ada beban dalam diri kita karena keikhlasan terhadap takdir.
Menyampaikan program, visi dan misi dengan cara yang baik, tanpa harus menunjukkan kejelekan lawan politik sesuai sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (Ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).
Tidak Memaksa, Jika kita fahami, Kampanye sebenarnya sama dengan Dakwah, yaitu mengajak. Sehingga pada prakteknya sama dengan dakwah, yaitu jangan memaksa orang lain untuk mengikuti atau memberikan hak pilihnya.
Tidak mengandung dusta. Untuk terlihat baik tidak perlu mengada-ada, menceritakan kebohongan atau bahkan menceritakan kebohongan tentang keburukan lawan politik.
Tidak berlebih-lebihan. Tidak harus menjual sawah, ladang atau bahkan rumah demi melakukan kampanye, sehingga mengakibatkan kalau terpilih harus mengambil hak orang lain untuk mengembalikan aset. Atau jangan melebih-lebihkan janji dalam berkampanye, sehingga khawatir tidak dapat ditepati.
Tidak memuji-muji diri sendiri. Tidak ada manusia paling bersih diantara kita, setiap orang memiliki sisi positif dan negatif, sehingga tidak perlu memuji diri sendiri untuk terlihat paling baik diantara yang lain, jujur terhadap kekurangan akan lebih baik daripada memuji kebaikan sendiri akan tetapi mendapat gunjingan disaat yang bersamaan tentang kekurangan kita.
Ada banyak hal yang dapat diteladani dari etika kampanye dalam Islam, yang kalau kita kupas lebih dalam tentunya dapat menjadi acuan yang konkret dalam berkampanye.
Semua pihak bertanggung jawab tentang jalannya kampanye dan pemilukada yang tidak lama lagi akan diadakan di daerah. Pemerintah harus mampu menciptakan regulasi yang mempersempit atau menghilangkan kesempatan para calon untuk melakukan pelanggaran dan kecurangan, melakukan pengawasan yang lebih ketat serta transparan dalam mengawasi proses kampanye dan pemilihan.
Akademisi dan para aktivis seharusnya juga turut serta mengawal pemerintah, serta mengedukasi masyarakat terkait Kampanye dan Pemilukada, sehingga kedepan kita berharap akan lahir pemimpin yang benar-benar bisa menjadi tauladan bagi masyarakat dan mampu membawa daerah kearah yang lebih baik.
Penulis : Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Sains Manajemen di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe