Takengen |Lintas Gayo– Mursyid, asisten Pemerintahan Pemkab Aceh Tengah, ketika diminta menjelaskan tentang status dan kronologi tanah Paya Ilang Versi Pemda, dalam pertemuan dengan komisi A dan masyarakat, menjelaskan asal usul tanah tersebut.
Tanah tersebut diserahkan oleh keturunan Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo, pada 31 Desember 2014. Keturunan Pengulu Kemili dan Pengulu Gayo, berani mengangkat sumpah atas penyerahan tanah Paya Ilang, serta bertanggungjawab secara hukum. Tanah tersebut diserahkan untuk kepentingan fasilitas publik.
Di dalam surat penyerahan yang diterima langsung oleh Bupati Aceh Tengah Nasaruddin dan disaksikan oleh Kapolres, Dandim, DPRK, Kajari, MPU, ada pernyataan dari Penggulu Gayo dan Penggulu Kemili,” untuk menghindari penguasaan oleh pihak lain, dimana saat ini sudah ada pihak yang menguasainya. Demikian kata-kata yang tercantum dalam surat penyerahan tersebut.
Untuk penertiban administrasi asset daerah, sebut Mursyid, Pemda Aceh Tengah mengajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), guna diproses sertifikat. Tanah yang akan disertifikat itu sesuai dengan dengan batas yang disebutkan Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo dalam surat penyerahan.
Lokasinya sangat luas, mulai dari Kampung Kemili sampai Tan Saril (5 kampung). 4 kampung lainya (Tan Saril, Blang Kolak 2, Musara Alun, Lemah Burbana) sudah dilakukan pengukuran tidak ada masyarakat yang complain soal kepemilikan tanah.
Sesampainya di Kemili, ada masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik dan juga sudah mengajukan proses ke BPN untuk mendapatkan sertifikat. Karena ada sangahan BPN belum memproses usulan sertifikat,” sebut Mursyid.
Mursyid dalam pertemuan itu sepakat agar kasus itu diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan legitimasi hukum. Namun, kata-kata dalam surat penyerahan dari Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo, tentang ada pihak lain yang memiliki tanah tersebut menjadi pembahasan hangat.
“Berarti sebelum diserahkan ke Pemda, Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo sudah mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang memiliki /menguasainya. Klien kami sudah menguasainya sejak 53 tahun lalu. Klien kami membayar pajak atas tanah tersebut, dan pemda menerima pajak. Ini menjelaskan, bahwa status tanah tersebut adalah milik klien kami,” sebut Duski SH.
Tiga anggota DPRK (Sirajuddin, Hamdan, Hamzah Tun), mempersoalkan, bahwa sebelum diserahkan berarti tanah tersebut sudah dimiliki pihak lain. Sementara kini terjadi sengketa antara Pemda dengan masyarakat pemilik. Sebaiknya kasus ini dilakukan musyawarah dengan Pemda, namun bila tidak ada titik temu ditempuh upaya hukum.
Sementara M. Nazar anggota dewan lainnya menyarankan agar dibentuk panitia Sembilan untuk mencari kebenaran tentang tanah tersebut. “Diadakan musyawarah terlebih dahulu, karena Gayo itu dikenal beradat. Tidak harus semua persoalan diselesaikan melalui pengadilan. Berperkara artinya arang habis besi binasa,” sebut Nazar.
Bila ditemukan titik temu melalui musyawarah, Pemda juga sangat membutuhkan tanah itu, tidak ada salahnya diajukan dalam anggaran untuk ganti rugi. Mari kita tempuh upaya musyawarah sesuai dengan adat,” pinta Nazar.
Namun Mursyid, mewakili Pemda Aceh Tengah dalam pertemuan itu menyampaikan, agar persoalan itu ditempuh upaya hukum, agar ada legitimasi tentang kepemilikan tanah. (LG001/LG003) (bersambung)