Bagaikan mengurai benang kusut, sengketa tanah antara Pemda Aceh Tengah dengan masyarakat tak kunjung tuntas. Kali ini kembali giliran masyarakat yang memasang plang di lokasi tanah sengketa. Genderang “perang” sudah ditabuh.
Masyarakat sudah mempercayakan kasus tanah itu kepada Badan Penelitian Aset Negara (BPAN) Aliansi Indonesia. Masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah, bersama dengan BPAN Aliansi Indonesia, pada hari Rabu pagi (12/12/2019), mendirikan plang di tanah sengketa.
Plang yang berdiri itu bertuliskan, tanah ini milik negara seluas 5,5 hektar, yang hak garapnya diberikan kepada Samsul Bahri, M. Saleh dan Saipullah beserta warga masyarakat. Saat ini tanah tersebut berada dibawah pengawasan Badan Penelitian Aset Negara (BPAN) Aliansi Indonesia.
“Kami memasang plang ini, karena tanah ini memang milik kami. Dokumen yang kami miliki sudah kami sampaikan ke BPN Aceh Tengah sesuai dengan undang undang. Namun pihak BPN belum membuat sertifikat,” sebut Samsul Bahri, masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah.
Samsul kepada Dialeksis.com menjelaskan, proses pembuatan sertifikat di BPN Aceh Tengah tidak tuntas. Pihak BPN menerima surat dari Bupati Aceh Tengah yang menyebutkan dilokasi tanah itu akan dibangun fasilitas umum untuk kepentingan publik.
“Kami sudah mengajukan permohonan pembuatan sertifikat sesuai dengan aturan yang berlaku. Persyaratan kepemilikan sudah kami lengkapi dalam dokumen, bahkan juga sudah ada surat resmi dari DPRK Aceh Tengah yang meminta BPN untuk melakukan pengukuran atas nama masyarakat,” sebut Samsul.
Namun karena persoalanya tidak kunjung tuntas, ahirnya masyarakat mempercayakan BPAN Aliansi Indonesia, untuk membantu mempercepat penyelesaian kasus itu. Aliansi ini dalam pengurusnya menuliskan Presiden sebagai pelindung dan Joko Widodo sebagai pembina. Organisasi ini bergerek cepat dan kini sudah memasang plang di atas tanah yang disengketakan itu.
Tanah itu terletak di Paya Ilang, Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Areanya terbilang luas, Pemda mengklaim eks irigasi itu luasnya mencapai 150 hektar. Di sana sudah berdiri berbagai fasilitas pemerintah, mulai dari kantor, pasar dan terminal.
Masyarakat tak mau menempuh jalur hukum atas tanah miliknya yang dikuatkan dengan sejumlah dokumen. Pemda juga tak kunjung menggugat ke Pengadilan, walau bupati sudah menjanjikan akan menempuh upaya hukum. Namun janji bupati dua tahun yang lalu, tidak pernah sampai ke pengadilan.
Masyarakat pernah mengajukan gugatan ke pengadilan, namun gugatan itu bukan persoalan kepemilikan tanah, namun tentang perbuatan hukum yang dilakukan Pemda Aceh Tengah yang membongkar paksa dan melarang masyarakat beraktifitas di tanah tersebut.
Gugatan masyarakat ditolak Pengadilan Negeri Takengon. Namun vonis pengadilan negeri Takengon tidak menyebutkan tentang status kepemilikan tanah. Masyarakat tetap mengklaim tanah tersebut adalah miliknya sesuai dengan dokumen.
Babak Baru
Sengketa tanah antara Pemda Aceh Tengah dan masyarakat sudah lama mencuat. Penulis yang mengikuti perkembangan sengketa itu sudah melihat dokumen kedua belah pihak. Bukti kepemilikan yang dipegang oleh masyarakat umurnya lebih tua bila dibandingkan dengan bukti Pemda (penyerahan tanah dari Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo).
Kini “genderang” perang di tanah sengketa itu memasuki babak baru. Kedua pihak yang bertahan tidak mau menggungat ke pengadilan (Pemda pada pertemuan 3 Agustus 2018 menyatakan akan menggugat).
Masyarakat mempercayakan kepada BPAN Aliansi Indonesia untuk memfasilitasi kasus yang mereka alami. Organisasi ini bertindak cepat. Pimpinanya jendral purnawirawan Jhoni Lubis, mengirimkan surat pemberitahuan kepada berbagai pihak, bahwa BPAN akan melalukan pemasangan plang di atas tanah tersebut.
“Kami sudah mengirimkan surat ke intansi terkait. Surat tersebut langsung dikirimkan oleh DPP BPAN Aliansi Indonesia. Bahkan kami sudah menyampaikan ijin kepada Kapolda Aceh,” sebut Asri Didiansyah, Ketua tim Reaksi Cepat BPAN Aliansi Indonesia Provinsi Aceh.
Menjawab Dialeksis.com disela sela pemasangan plang itu, Asri Didiansyah menjelaskan, pihaknya membantu masyarakat untuk memperjelas dan mempertegas tentang kepemilikan tanah, siapa sebenarnya yang berhak memilikinya.
Dokumen yang dimiliki masyarakat tentang kepemilikan tanah, sudah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan sertifikat. Dokumen masyarakat itu kembali dikuatkan dengan keluarnya surat dari DPRK Aceh Tengah yang meminta pihak BPN untuk melakukan pengukuran tanah atas milik masyarakat.
Namun pihak BPN tetap belum membuatkan sertifikat dengan argument adanya sanggahan dari Pemda Aceh Tengah. Untuk itu BPAN Aliansi Indonesia, berupaya membantu masyarakat untuk menyelesaikan persoalan ini, sebut Asri Dediansyah.
Sengketa Panjang
Catatan Dialeksis.com, sengketa tanah Paya Ilang, Kemili, Aceh Tengah berlarut larut dan panjang, karena tidak menempuh upaya hukum. Masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik “enggan” mengugat Pemda, dengan alasan mereka akan dikalahkan menggugat penguasa.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar dalam sebuah pertemuan pada 3 Agustus 2018, dengan masyarakat, pihak pro dan kontra tentang kepemilikan tanah itu, menjanjikan akan menempuh upaya hukum. Namun janji bupati itu sampai kini belum sampai ke pengadilan.
Tanah itu dulunya rawa-rawa (Pemda menyebutkan eks irigasi). Masyarakat sudah mengantongi surat kepemilikan, ada surat tertulis di tahun 1968 dan 1978. Tanah itu kini menjadi sentral kehidupan di Aceh Tengah.
Bangunan pemda sudah berdiri di atasnya, ada terminal, kantor, bahkan pasar. Masih banyak lokasi tanah yang tersisa. Lokasi tanah yang tersisa dan sebagain sudah dipergunakan Pemda itulah yang menjadi ajang sengketa.
Masyarakat memiliki surat tahun 1968 dan 1978. Pemda juga memiliki surat, tanah itu diserahkan oleh Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo kepada Pemda untuk dipergunakan demi kepentingan publik. Penyerahan tanah oleh Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo, kepada Pemda Aceh Tengah, dalam dokumen tertulis pada 31 Desember 2014.
Sengketa berlanjut. Pemda Aceh Tengah melakukan penertiban aktifitas masyarakat di tanah tersebut, bahkan Pemda mendirikan posko di sana. Aksi Pemda melakukan penertiban pada 20 Januari 2016, nyaris terjadi benturan fisik.
Aparat keamanan dari Polisi, bahkan ada personil TNI juga terlihat di lapangan, membantu petugas Satpol PP melakukan penertiban. Atas sikap Pemda itu, masyarakat mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pengadilan menolak gugatan masyarakat. Namun dalam amar putusanya, majlis hakim tidak menyebutkan tanah tersebut milik siapa. Obyek yang digugat masyarakat (perbuatan melawan hukum) tidak diterima majlis hakim.
Sengketa terus berlanjut, ahirnya DPRK Aceh Tengah melalui komisi A turun ke lapangan. Hasil kerja komisi A, DPRK Aceh Tengah mengeluarkan surat rekomendasi tertanggal 7 April 2018 dengan nomor 310/133/2018. Inti surat itu meminta BPN untuk dapat melakukan proses pembuatan sertifikat, terhadap para pemilik tanah di Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah ini.
Walau sudah mengantongi surat kepemilikan tahun 1968 dan tahun 1978 dan dikuatkan dengan surat rekomendasi dari DPRK Aceh Tengah, persoalan tanah itu tak kunjung tuntas. Pemda Aceh Tengah melakukan sanggahan saat masyarakat akan membuat sertifikat.
Walau pernah ditertibkan, masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah tetap melakukan aktifitas di sana, upaya penimbunan dilakukan. Kembali petugas Satpol PP melakukan penertiban. Sengketa itu berkepanjangan.
Kini masyarakat mempercayakan kepada BPAN Aliansi Indonesia untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan mendapatkan sertifikat. Pihak BPAN Aliansi Indonesia mengirimkan surat resmi kepada pihak terkait, bahwa mereka akan mendirikan plang di sana.
Sebagain kata kata tertulis dalam plang itu”. Walaupun langit akan runtuh, keadilan dan kebenaran harus ditegakan. Perhatian….. !!!! tanah ini milik negara, seluas 5,5 hektar, yang hak garapnya diberikan kepada saudara; Samsul Bahri, M. Saleh AR, Saipullah beserta warga masyarakat. Juga tertulis di sana kronologis kepemilikan tanah sampai tindak lanjut pembuatan sertifikat.
Sisi kiri plang pengumuman tentang kepemilikan tanah itu, ada plang berlogo organisasi Aliansi, di bawahnya ada gambar Presiden Jokowi dengan sejumlah kalimat pernyataan.Disisi kanan plang kepemilikan itu ada gambar Presiden dan wakil Presiden, serta ketua Aliansi.
Warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah melalui BPAN Aliansi Indonesia sudah mendirikan plang di sana. Namun Pemda Aceh Tengah sebagai pihak yang bersengketa, belum menunjukan sikapnya. Sampai kapan genderang perang di tanah Paya Ilang? (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)
berita terkait: Paya Ilang