“Tidak ada istilah anggota dewan. Wajib cuci muka. Kalau gak sportif silakan pulang.” Semua mata yang hadir memperhatikan anggota DPRK Aceh Tengah, Edi Kurniawan dari Partai Gerindra. Penulis sempat terseyum ketika Edi mengambil air mineral.
Air mineral itu berpindah ke mukanya. Walau Takengen lagi diguyur hujan, dingin menusuk tulang, Edi tetap membasuh mukanya. Tidak ada istilah malam atau siang. Bila kena giliran membasuh muka, harus tetap dilakukan.
Penulis juga sempat terkejut dan kena jatah cuci muka, ketika awal penulis bergabung dengan komunitas ini, dalam pekan terahir Agustus 2016. Baru pertama gabung, di tengah malam yang dingin, penulis juga membasuh muka. Kemudian berpindah tempat duduk.
Tidak ada istilah ada yang lolos dari cuci muka. Rata rata kelompok yang membangun kebersamaan ini sudah mendapatkan giliran cuci muka. Itulah peraturan, harus diikuti. Kelompok ini bermain batu domino. Yang kalah ronggeng (pindah tempat duduk), kalau kalahnya telak (putih) harus cuci muka.
“Woi mau kemana tu,” tanya mereka yang hadir menyaksikan pemainan domino (Baik di Anan Coffe atau Umah Supu, Takengen, Aceh Tengah). Yang ditanya dengan sungkan-sungkan memberi alasan. “Udah kebas duduk, berdiri sebentar.” Atau ada istilah lainya yang muncul, memberikan contoh kepada orang ini, agar mereka juga pandai ronggeng.
Bila tidak tahan mental ketika diejek, mereka tidak lagi mengikutkanya dalam pertandingan. Bahkan saat membasuh muka, teman-teman yang lain memegang HP untuk difoto. Tetapi bagi yang sudah terbiasa, pemandangan itu adalah hal yang lazim, karena hampir semua peserta pernah melakukanya.
Dalam kelompok ini tidak ada kasta, srata sosial. Di sana ada Yunadi. Marwan, Aat, Jabar Iman, Alwin, Konadi, Feri, Edi Kurniawan. Ada juga Kandar Robi dan Zuhri. Sementara Yos lebih sering memposisikan diri sebagai juri, walau kadang kala juri menjadi sasaran “amarah” pemain yang ronggeng atau cuci muka.
Mereka semuanya membangun kebersamaan sambil refresing “mengosok meja” (mengocok batu). Kemudian menyusunya angka demi angka. Rasa kebersamaan yang tinggi. Siapa yang memiliki rejeki, dia yang bayar minuman saat bersama. Bahkan ada kalanya mereka sepakat kumpul uang untuk membeli nasi dan makanan.
Di sana tidak ada istilah anggota dewan, wartawan senior, politikus, atau aktifis. Ketika giliran harus membasuh muka, dalam dinginya malam juga harus dilakukan. Rasa kebersamaan dan persaudaraan yang mereka bangun, patut menjadi pelajaran.
Dalam kelompok ini ada beragam tim sukses Balon Bupati Aceh Tengah. Mereka tidak satu suara dalam menjagokan bupati. Punya prinsip masing-masing. Namun mereka tidak pernah saling “melemahkan” seseorang kandidat.
Hampir semua Balon yang maju dalam Pilkada ini, ada orang yang menjagokanya dalam kelompok ini. Namun kelompok ini tetap kompak, membangun kebersamaan. Berbeda pilihan dan jagoan adalah soal biasa, tetapi siapa yang kalah telak dalam permainan, harus tetap cuci muka.
Catatan Bahtiar Gayo wartawan Waspada.