Kehidupan seseorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal mereka, lingkungan nelayan membentuk pola kehidupan mereka sebagai nelayan dan akan melahirkan bentuk-bentuk permainan bagi anak-anak mereka sebagai nelayan, kehidupan sebagai petani akan melahirkan pola kehidupan sebagai petani dan akan melahirkan bentuk-bentuk permainan yang mencerminkan kehidupan sebagai petani. Anak-anak yang tinggal di daerah pesisir sebagai nelayan dan di daerah pegunungan sebagai petani, biasa lebih kreatif dan lebih cepat mandiri bila dibanding dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan, kreativitas dan kemandirian mereka muncul karena bentukan dan tuntutan alam.
Anak yang tinggal di kota mempunyai keinginan untuk bermain, permainan yang dimainkan semuanya sudah tersedia di pasar-pasar sehingga mereka dapat menggunakan secara langsung tanpa memerlukan pikiran bagaimana mainan itu di buat, atau juga mereka tidak pernah melihat bagaimana mainan itu dibuat. Sebaliknya anak-anak yang tinggal di desa, mereka harus berpikir bagaimana cara mendapatkan mainan, jalan yang ditempuh adalah meminta pada orang tua atau kepada orang yang lebih dewasa untuk dibuatkan mainan. Ketika mainan dibuat seorang anak biasa melihat dan memperhatikan cara pembuatannya, sehingga suatu saat nanti dia dapat membuat mainan sendiri.
Jenis mainan yang dibuat berhubungan dengan musim yang sedang berlangsung, contoh beberapa mainan yang berkaitan dengan musim bersawah, karena bersawah juga sangat ditentukan musim. Ketika orang tua mencari kayu untuk pagar bibit padi yang akan disemai, saat ini anak-anak memanfaatkan kayu yang dicari orang tua untuk membuat gasing. Gasing ada dua model; gasing paci, gasing ini dibuat dengan bentuk buah delima dengan memasang paku yang sudah dipotong dibagian yang lonjong, ada juga gasing paci yang dibuat dari plastik bulat yang disebut dengan gasing paci tek tok. Ada juga gasing berulu (gasing banan), gasing ini dibuat dari kayu dengan bentuk bulat lonjong punya bahu, leher dan kepala.
ketika orang tua mencari bambu (uluh utung) untuk tulang atap rumah yang akan disusun padi yang baru di potong (seladang) anak-anak memanfaatkan potongan bambu bagian bawah yang dicari orang tua untuk gegiriten, gegiriten ini dibuat dengan sederhana yaitu dengan mengambil buku bambu sepanjang sejengkal orang dewasa dan dibuat lobang dengan memasukkan kayu sebagai as dan membuat gagang kayu dan tempat duduk dari jalinan tali kerto dengan menggunakan pelicin batang keladi yang sudah tua dan busuk atau daun ubi jalar.
Pada saat orang tua mencari bambu (uluh biang) yang digunakan untuk mengusir burung dengan menggantung pelastik di ujungnya anak-anak memanfaatkan bambu ini untuk membuat pepilo (baling-baling),Pepilo ini dibuat berukuran besar dan dipasang ditiang dan berfungsi untuk mengusir hama burung pada padi dan yang berukuran kecil dipegang oleh anak-anak dan diputar sambil berlari untuk mendapatkan angin. Pepilo tidak hanya dibuat dari bambu yang tipis (uluh biang) tetapi juga dibuat dari kayu yang sangat ringan yaitu pohon bayur.
Ketika padi mulai berbuah dan berisi (gegaluhen), orang tua menghalau burung (mumio) biar tidak memakan padi, anak-anak menangkap burung pemakan padi (burung pipit “tumpit”) dengan muneritit. Alat yang digunakan untuk muneritit berbentuk peluit yang dibuat dari pohon seperti bambu (pelu) yang mengeluarkan suara mirip suara burung pipit, orang yang muneritit bersembunyi di bawah rerumputan ilalang (sange) dengan meletakkan getah pada pohon sange tersebut dan terkadang meletakkan satu ekor burung sebagai pancingan untuk datangnya burung yang lain.
Musim bersawah selesai, padi telah dipotong sambil menunggu musim untuk bersawah selanjutnya (musim lues belang), anak-anak memanfaatkan waktu lues blang untuk bermain bola. Main bola dilakukan pada musim ini karena di Gayo kebanyakan tidak ada tempat (tanah lapang) yang cocok untuk bermain bola selain dari sawah. Bola yang digunakan dalam bermain bola adalah asam girah giri (jeruk bali) yang sudah dilembutkan, ada juga bola plastik (kumpulan plastik bekas) yang sudah dibulatkan dengan rapi serta bola yang paling bagus pada saat itu adalah bola ramung (bola karet) yang dibeli dari pasar.
Permainan yang juga dilakukan anak-anak yang tidak berkaitan dengan musim bersawah, tetapi berhubungan dengan musim berbuahnya pepohonan. Kegiatan yang dilakukan adalah memasang sangkar burung (penjere tama) di pohon, penjere tama dibuat dari sange atau dari tangkai daun rotan dengan bentuk tangak asu (penjere tama satu pintu) dan penjere tama opat pintu. Ketika sangkar dipasang maka makanan yang disediakan di dalam sangkar juga tergantung pada burung apa yang akan ditangkap, kalau makanannya padi berarti untuk burung tumpit (pipit) dan bret. Pang babi, pisang dan kates untuk burung jejok dan urem-urem. setelah burung terperangkap dipelihara di sangkar (penjere). Burung yang ditangkap dengan sangkar biasanya dipelihara dan tidak disembelih
Cara lain untuk menangkap burung adalah dengan ketapel (terpel) yang dibuat dari kayu bercabang dua, dengan mengikat karet dari ban dalam sepeda di kedua cabang kayu serta ditambah dengan tapak kulit sebagai tempat meletakkan batu. Senjata yang juga di gunakan untuk menangkap burung adalah dengan letep, yang terbuat dari bamboo yang mempunyai ruas sampai satu meter bankan lebih (uluh ines) dengan anak panah bambu yang dibulatkan seperti pensil, sebelah depannya runcing dengan panjang sejengkal orang dewasa dan dibagian belakangnya dibungkus dengan kapas. Tapi karena kapas tidak ditemukan maka penggantinya adalah bambu yang dikupas dengan tipis dan halus dan dibalut ke anak letep, untuk selanjutnya ditiupkan kearah burung yang sedang bertengger di pohon.
Diantaranya juga permainan yang memanfaatkan kebun kopi adalah main kekaron, permainan ini dilakukan anak-anak dengan tidak menentukan batas jumlah orang, masing-masing mereka memainkan peranan, ada yang bertindak sebagai pemburu, anjing pemburu dan ada juga yang bertindak sebagai babi atau rusa dan binatang buruan lainnya.
Anak-anak di kampung tidak pernah melihat senjata dalam berbagai bentuk dan jenisnya bahkan juga tidak pernah mendengar suara senapan, tetapi kreasi untuk membuat senjata yang disebut dengan gegasak digunakan untuk main kekaron muncul. Senjata ini dibuat dari bambu satu ruas sebesar kelingking orang dewasa dengan penolak peluru juga dari bambu, pelurunya yang digunakan diambil dari bunga lamtoro atau boleh juga dari buah kesbeh.
Masih menggunakan bambu dengan bentuk yang hampir sama dengan gegasak, senjata yang pelurunya air juga dibuat dengan cara mengambil satu ruas bambu dengan meninggalkan satu buku dan membuat lobang kecil di dalam bukunya. Alat pendorong dibuat dari kayu dan dibungkus dengan kain bekas di ujungnya guna untuk dapat menarik dan mendorong air, alat ini disebut dengan ceccret (bentuknya hampir sama dengan pompa sepeda).
Permainan yang mendorong kreatifitas adalah main mobil-mobilan (memotoren). Mobil-mobilan dibuat dari batang pisang bagian bawah yang terdapat disetiap kebun kopi yang biasa berdekatan (sekitar) kampong, karena itu setiap saat seorang anak dapat membuat mobil-mobilan. Bentuk mobilan yang dibuat biasanya hanya satu bentuk yaitu mobil jeep, karena mobil itulah yang popular saat itu disamping membuatnya lebih mudah.
Di dataran tinggi Gayo sangat sulit mencari air deras dan irigasi, yang ada hanyalah air yang digunakan untuk sawah secara tradisional dan kalaupun ada, irigasi itu sudah di atas tahun 80-an. Air yang digunakan untuk mengairi sawah, hulunya sangat jauh dengan hilir untuk mengairi sawah, di dalam air hanya terdapat tiga jenis ikan: lokot, kepras dan bontok. Anak-anak menangkap ikan ini dengan cara neldik, nangil, munyekot dan nube.
Neldik, ini dilakukan dengan cara menagambil rumput (cemucut) dan menusukkannya ke cacing (ketol) sampai berbentuk setengan bundaran, umpan cacing ini didekatkan ke tanah berlobang yang diduga rumah ikan (umani lokot) atau ke bawah pohon dan dedaunan yang jatuh ke sungai dan biasa dijadikan tempat bersembunyinya ikan. Ketika ikan memakan cacing, dengan cekatan penangkap ikan (peneldik) menariknya.
Nangil, menangkap ikan menggunakan mata pancing (mata nikik) dengan umpan cacing memakai tali (atom) sepanjang sehasta, dengan gagang setengah hasta yang dipancang ke tanah. Mata pancing yang sudah dipasangi umpan dimasukkan ke lubang tanah yang di duga sebagai rumah ikan lokot atau ke bawah pohon atau dedaunan yang ada dalam aliran sungai.
Nyekot, mengarahkan aliran air ketempat yang lain dengan menutup hulu aliran yang pertama. Ketika air tidak lagi mengalir, anak-anak penangkap ikan yang telah menyiapkan akar kayu (tube jenu) memukulnya dengan batu untuk selanjutnya direndamkan ke air yang sudah tergenang, ikan yang ada di dalam menjadi pingsan untuk memudahkan menangkapnya.
Sampai tahun 1980-an sudah dikenal yang namanya main kelereng tapi tidak begitu popular sebagai sebuah permainan, disamping sulitnya untuk mendapatkan kelereng. Tapi permainan yang serupa dan dimainkan oleh anak-anak di Gayo dinamakan dengan men kenek, permainan ini persis sama dengan main kelereng hanya saja dengan menggunakan buah kemiri. Kemiri yang digunakan untuk gacuk (emping) adalah kemiri yang bagus, dibuat lobang di atasnya dan mengeluarkan isinya dengan kawat serta menggantinya dengan pecahan besi atau batu agar lebih berat dan ditutup kayu yang disebut dengan nama kerseng, dan yang dijadikan anaknya adalah kemili mumen (kemiri yang tidak ada isi).
Bentuk permainan dengan menggunakan buah kemiri ini diantaranya adalah men penter, yaitu dengan menggunakan kekuatan satu jari untuk melepaskan kemiri dari genggaman tangan yang berlawanan dan berupaya mengenai kemiri yang menjadi buah dalam permainan. Men patok, yaitu berusaha melempar gacok (kerseng) untuk mengenai kemiri yang menjadi buah dan dilempar dengan jarak garis yang telah ditentukan sesuai kesepakatan.
(Note : masih banyak bentuk permainan yang belum ditulis dalam kesempatan ini, insya Allah akan dilanjutkan)