Oleh : Bahtiar Gayo/ Wartawan Waspada di Takengen
Saya sempat tersentak, ketika ada seorang wakil rakyat berucap “ Aku suara ku beli. Gere ipilih beta pelin. Dele modal si kusempaki – Suara yang kudapat karena ku beli, bukan ketulusan rakyat memilihnya. Banyak modal yang dikeluarkan”.
Kata kata itu membuat saya merenung. Mungkin ada benarnya juga pernyataanya anggota dewan yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Saling memanfaatkan, dia mampu memanfaatkan kelemahan rakyat dan rakyat juga memanfaatkanya dalam sebuah pesta demokrasi.
Teman saya lainya juga bercerita. Ketika dia menyatakan maju saja sebagai Caleg, modal harus disiapkan. Tanpa modal tidak usah maju untuk Caleg. “Coba abang bayangkan, baru pernyataan maju kita harus siap siap, belum lagi nanti saat kampanye waktunya cukup lama.
Begitu rumit ya, untuk mendapatkan kursi “terhormat”? tanya saya. “Ya tanpa modal yang besar, peluang untuk duduk di kursi terhormat, sangat sulit,” sebutnya.
Ketika menyatakan diri maju, sudah ada yang mendekat, minta menjadi tim sukses (TS). Duduk kumpul, makan dan minum, serta uang transport mereka harus disiapkan. Terus mulai lagi dengan yang lainya, otomatis dananya besar.
Padahal kampanye masih lama. “ Kalau gak direbut, TS ini bisa jadi nanti dia diambil oleh Caleg yang lain. Capek juga bila saat menjelang kampanye baru dilakukan penggalangan, tentunya harus dimulai dari nol,” kata teman saya ini.
Sejak para TS ini bergabung jauh hari sebelum kampanye, mulailah “terkuras” stok dana. Beragam persoalan pribadi TS disampaikan. Dari anaknya sunat, istrinya sakit, mau pesta, atau mau usaha perlu modal, mau perbaiki kenderaan, sampai ada yang minta pinjaman.
Rata rata TS memanfaatkan momen ini. “Bagaimana kita mau melayani semuanya? Beragam persoalan mereka dikeluhkan kepada Caleg, rata rata hampir semuanya seperti itu. Ada kesan bagaikan menjadi sumber “penghidupan baru” saat menjelang pesta demokrasi.
Namun ada juga yang ihlas, apa yang kita berikan itu yang mereka terima, tidak mengeluh. Namun jumlah ini sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari. “Mereka rata rata memanfaatkan momen pesta demokrasi. Mereka dibalut kesan nanti setelah duduk, anggota dewan lupa kepada mereka.”
Masuk masa kampanye, itu lebih besar lagi pengeluaranya. Mulai dari spanduk, TS, sampai dengan saksi, dan ada kalanya harus merayu pemilih dengan materi.
Mahal sebuah pesta itu………….. Maka ketika ada yang menyebutkan menghabiskan uang ratusan juta, itu wajar dengan proses yang seperti ini. Habisnya lumanyan banyak.
Bukan hanya itu, kalau sudah duduk di dewan, masih banyak yang menyampaikan keluh kesahnya yang semuanya bermuara kepada kepentingan pribadinya. Apalagi dalam bulan puasa, wowwwwww, bila dipenuhi nilainya sangat besar.
Apakah karena tingginya kost politik, lantas ada anggota dewan ketika duduk, berusaha menghindar kalau diminta ketemu atau dicari para TS? “ Tidak juga. Kalau mereka menyampaikan persoalan untuk publik dan memang harus diperjuangkan dewan, itu menjadi pemicu semangat anggota dewan untuk mengurusnya. Namun ketika mereka menyampaikan persoalan pribadi ini yang pusing….. hehehehehe,’ sebut teman saya.
Di masyarakat, para TS juga unik penjelasanya. “ Kite ini ibubun ne kin totor– Kita ini buatnya untuk jembatan”. Bahkan ada yang kasar menyebutnya, kiteni kin pengkaro, nge kona akang, akite taring ne (Kita ini untuk memburu, ketika rusa sudah didapatkan, kita ditinggalkan.).
Makanya, ketika ada kesempatan saat pesta demokrasi, kesempatan itu yang dimanfaatkan. Dalam taburan janji para Caleg, dan karna sudah dibiasakan, akan beragam permintaan. Ada yang minta sarana olah raga, peralatan dapur, pakaian seragam, sejumlah alat pertanian dan lainya. Pemilih harus ada kompensasi dari suara mereka.
Bahkan ada yang sepertinya sudah diatur. Setiap Caleg yang datang ke sebuah kampung, orang orang yang mendampinginya juga diatur silih berganti. Mereka saling berbagi. Namun ada juga yang benar benar militan.
Saling memanfaatkan nampak jelas. Sama sama punya kepentingan. Ada tarik menarik kekuatan. Tidaklah heran ketika hari H, suara yang didapat dari seorang caleg jauh dari perhitungan. Data di atas kertas bukan jaminan, walau selama ini sudah cukup banyak “menabur”.
Saya jadi pening sendiri memikirkanya. Kalau keadaan seperti ini siapa yang mau disalahkan???? Bagaikan mencari simpul benang kusut. Rakyat meminta karena yang diminta memberi dan sudah dibiasakan.
Kemudian ada yang sudah duduk lupa diri. Ya bisa jadi karena terlalu banyak modal yang dihabiskan. Walau sebenarnya, tugas mereka ketika duduk dilembaga terhormat harus mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi dan golongan (sesuai sumpah jabatan).
Namun kenyataanya banyak diantara mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Walau ada juga beberapa yang serius memikirkan rakyat, namun….. ah sudahlah…….. Bungkusan kepentingan memang mengalahkan yang lain.
Siklus pesta demokrasi ini seperti sudah mendarah daging. Siapa yang harus disalahkan???? Bagaimana untuk memulainya agar pesta demokrasi bersih??? Kapan wakil yang duduk atas nama rakyat, benar benar berjuang untuk rakyat????