Jakarta | Lintasgayo.com – Hasil Rapat Komisi II DPR RI dan Pemerintah bersama Penyelenggara pemilu, (16/01/2018) yang menyepakati tidak diperlukan Verifikasi Faktual terhadap parpol lama untuk pemilu 2019, menimbulkan potensi ketidakpastian hukum.
“Oleh karena itu, Kami dari beberapa pemerhati dan pemantau pemilu untuk demokrasi, kiranya perlu mengeluarkan sikaf terkait hal ini”, Ujar Titi Anggraini, Mewakili Perludem.
Adapun Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu 2019, yang didalamnya terdiri dari, JaringanPendidikan Pemilih untuk Rakyat(JPPR), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, KoDe Inisiatif, CORRECT, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Universitas Andalas.
Pernyataan Sikaf Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu 2019.
“TIDAK VERIFIKASI FAKTUAL = INKONSTITUSIONAL”
Geliat kompromi ditunjukkan oleh Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti Putusan MK No 53/PUU-XV/2017. Putusan bersifat final dan terakhir ini telah mengabulkan pengujian pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) soal verifikasi partai politik peserta pemilu dan menolak pengujian pasal 222 soal ambang batas pengusulan presiden.
KPU selaku penyelenggara Pemilu menjadi lokomatif utama untuk menindaklanjuti Putusan MK ini. Mengacu kepada Putusan MK, artinya KPU harus melaksanakan verifikasi faktual terhadap seluruh partai politik calon peserta pemilu 2019 tanpa ada kecualinya. Ini artinya KPU tidak hanya melakukan verifikasi faktual terhadap 4 partai politik baru yaitu Partai Garuda, Berkarya, Perindo dan PSI saja, namun juga melakukan verifiaksi faktual kepada 12 parpol peserta pemilu 2014 lalu, yang dikecualikan dalam norma pasal 173 ayat (3) yang dibatalkan oleh MK. Dengan demikian, pekerjaan KPU adalah meneruskan proses verifikasi faktual kepada 12 parpol ini. Kesiapan ini telah ditunjukkan oleh KPU dan langsung mengeksekusi dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan komisi II DPR.
Namun melalui proses RDP yang dilakukan pada Selasa (16/1/2017) kemarin, kesepakatan untuk menindaklanjuti putusan MK justru dilenturkan oleh Komisi II. Komisi II menilai KPU tidak harus melakukan verifikasi faktual kepada parpol calon peserta 2019 untuk memaknai putusan MK, melainkan cukup membaca maksud putusan MK dengan verifikasi administrasi. sehingga KPU cukup menetapkan keseluruhan 16 parpol yang telah lolos tahap administrasi menjadi peserta pemilu 2019.
Komisis II DPR mencoba menafsirkan ulang dengan sangat bertentangan dari maksud subatansial putusan MK no 53/PUU-XV/2017. Bahwa semangat dari Putusan MK adalah untuk memberikan keadilan bagi seluruh parpol agar tidak ada perlakuan yang berbeda, sehingga maksud UU Pemilu pasal 173 ayat (3) bagi parpol telah lulus verifikasi tidak perlu diverifikasi ulang dan ditetakan sebagai peserta pemilu itu jelas bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap hal ini, jika KPU tidak melakukan verifikasi faktual terhadap seluruh parpol calon peserta pemilu adalah bentuk dari pengingkaran terhadap putusan MK.
Oleh sebab itu, *koalisi masyarakat sipil* mendorong KPU selaku pemegang pemain utama dalam proses ini harus menujukkan sikap percaya diri dengan posisi semula untuk taat melaksanakan putusan MK dengan melakukan verifikasi faktual pada seluruh partai yang lolos penelitian administrasi. Karena KPU selaku institusi penyelenggara akan menjadi pertaruhan untuk melihat seberapa berani KPU menjadi lembaga yang mandiri lepas dari kepentingan pihak terkait. Hal ini harus didorongkan kepada KPU, mengingat sifat RDP pun tidak lagi mengikat pasca putusan MK terdahulu, sehingga KPU bisa melaksanakan putusan MK ini sesuai dengan mandat konstitusional Putusan nya. Dengan begitu, verifikasi faktual adalah hak yang mutlaq, tidak melakukan verifikasi faktual adalah prilaku inkonstitusional terhadap Putusan MK.
Jakarta, 18 Januari 2018
Sunanto, Koordinator Nasional JPPR.
Kaka Suminta, Sekjen KIPP Indonesia.
Veri Junaidi, KoDe Inisiatif.
Hadar Gumay, Pembina CORRECT.
Feri Amsari, PUSaKO UNAND.
Titi Anggraini, Perludem. ( YHR/LG 008)