Banda Aceh | LintasGayo.com- Taru Sininh, adalah tarian sakral. Tarian ini hanya dipergunakan untuk raja. Tarian Sining terahir kali dipraktekan tahun 1942. Ketika itu dilangsungkan pendirian rumah adat untuk raja Syiah Utama dipinggiran Danau Lut Tawar, Aceh Tengah.
Memasuki masa penjajahan Jepang, tarian sakral ini dilarang untuk ditampilkan. Sining merupakan tarian yang harus memiliki keahlian khusus. Penarinya pemuka adat, dimainkan di atas tiang bara lintang rumah, dengan ketinggian 8 meter dari tanah.Tidak semua orang bisa memainkanya.
Setelah tahun 1942, tari ini tidak pernah lagi muncul kepermukaan. Karena tari itu “punah”, maka dilakukanlah penelitian. Kebetulan saksi hidup, Arifin Banta Cut, yang merupakan keturunan dari Raja Syiah Utama, masih sehat dan mampu memberikan keterangan.
Dosen Gajah Putih ini, saat itu berumur 10 tahun. Arifin Banta Cut berkesempatan menyaksikan bagaimana tari Sining itu dimainkan, ketika itu kakeknya dinobatkan menjadi Raja Syiah Utama pada tahun 1942. Mantan kepala BP7 Aceh Tengah ini, memberikan penjelasan detil tentang tari Sining.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Salman Yoga, Tari Sining itu kini dapat disaksikan publik. Gerakanya memang unik dan dimainkan di atas dulang ( bentuk bulat seperti tampah, terbuat dari kuningan dan tembaga, sering dipergunakan untuk meletakan kapur sirih, saat digelar pesta perkawinan dan sering diletakan di sisi kiri dan kanan pelaminan).
Gerakan tari Sining ini, menurut Salman, sesuai hasil penelitianya yang waktunya hanya tiga bulan atas ijin Menteri Kebudayaan, gerakanya berasal dari belibis langka. Wo dan punguk. ( Wo adalah sejenis belibis –itik, di hutan yang ukuranya lebih besar dari itik biasa, bulunya indah, berwarna warni, hitam mengkilat).
Gerakan yang bagaikan ada mistis itu, ahirnya tercipta kembali setelah Ana Kobath, seorang pelatih tari membantu penelitian ini. Peragaan tari itu dipraktekan dihadapan Arifin Bantu Cut (86 tahun), yang ketika dia kecil menyaksikan tarian itu. Saat tari itu sudah “sempurna”, untuk pertama kalinya setelah tahun 1942, kembali dimunculkan ke publik.
Tari Sining “menggegerkan” publik dan sempat menjadi perdebatan. Apalagi dimainkan di atas dulang. Paska tahun 1942, baru pada Januari 2018 tari itu kembali ditampilkan. Penampilan perdana paska nyaris punah ini, dilangsungkan saat penobatan Bupati dan wakil bupati Aceh Tengah (Shabela Abubakar- Firdaus), awal Januari 2018 di pendopo Aceh Tengah.
Lokasi tarinya bukan lagi di atas bara lintang, tiang rumah, yang ketinggianya 8 meter. Namun, diperagakan di atas dulang. Tari diatas dulang ini memunculkan banyak kritikan pada awalnya, karena dianggap tidak etis.
Menurut Salman, tari ini ada di atas dulang dan ada di atas bara lintang rumah. Untuk mendirikan rumah raja, saat dilakukan penaikan reje tiang (tiang utama rumah), tarian Sining ini harus dilakukan di atas bara lintang, yang ketinggianya 8 meter dari tanah. Tiang tempat menari ini ukuran lebarnya antara 10 sentimeter sampai 15 sentimeter.
Disanalah kemampuan penari diuji dan hanya bisa dilakukan oleh petua adat, dengan keahlian khusus, tidak semua orang dapat melakukanya. Sementara tarian dengan mempergunakan dulang sebagai wadah tempat berpijak dipergunakan untuk Nik ni Reje (penobatan raja) dan munirin reje (memandikan raja).
Memandikan raja dilakukan setahun sekali, ketika sang raja sudah melaporkan ke rakyatnya apa yang sudah diperbuat (Saat sekarang ini dalam bentuk Laporan pertanggungjawaban tahunan). Ketika laporan raja diterima, maka raja harus dimandikan ke air bersih, dan harus diiringi dengan tarian Sining.
“Memandikan raja ini agar sang raja kembali bersih dalam memimpin setahun ke depanya. Upacara khusus dilakukan, yang disaksikan para petua adat, tengku (ulama), serta raja raja lainya yang diundang,” sebut Arfin Banta Cut, seperti dikutip Salman kepada Media.
Karena gerakan tari Sining berasal dari dua hewan, Salman menjadikan dua penari untuk mengikuti gerakan Wo dan Unguk. Bagaimana halusnya gerakan Wo dan Unguk, yang dimainkan di atas dulang. Walau tidak 100 persen, persis benar seperti tari Sining pada tahun 1942, yang disebut sebut ada kekuatan magis di dalamnya, namun tari sining hasil penelitian ini sudah layak dinikmati publik.
Sementara itu, Joni, seorang Dosen Universitas Gajah Putih menambahkan, tari Sining di atas dulang juga dilakukan ketika memilih bakal calon raja. Dulangnya juga harus ada 7. Upacara sakral ini dilakukan dengan adat khusus.
Karena Tari Sining yang hampir punah itu, kini kembali muncul, Pemda Aceh Tengah sudah mendaftarkanya ke Kementrian Hukum dan HAM. Sudah dilakukan pengkajian dan seminar terhadap budaya tak benda ini untuk mendapatkan hak patenya, sebagai milik Gayo Lut.
“Benar sudah didaftarkan dan SK dari Kemenhum dan HAM sudah ada. Bahkan baru baru ini kita juga sudah mendapatkan sertifikat dari Menkumham tentang keni Gayo,” sebut Shabela Abubakar, ketika media keteranganya, Minggu (12/8/2018).
“Sukur alhamdulilah kalau sertifikat dari Kemenkumham sudah ada. Karena kami dari peneliti, kreografi dan tim penari sining belum melihat sertifikat dari Menkumham,” sebut Salman Yoga.
Kini tari yang hampir punah itu dimunculkan di PKA ke-7, pagelaranya akan dilangsungkan, Selasa (14/8) malam, di panggung utama Sri Ratu Syafiatuddin. “ Tari ini sengaja ditampilkan di PKA, agar publik mengetahui, bahwa dari Gayo itu ada tari yang berhubungan dengan raja,” sebut Uswatuddin ketua PKA Aceh Tengah, Minggu (12/8) di Banda Aceh.
Setelah setengah tahun tari Sining ini tampil perdana di Pendopo bupati Aceh Tengah, paska tahun 1942, saksi utama yang merupakan keturunan Reje Syiah Utama, menghembuskan nafas terahir. Arifin Banta Cut yang menyaksikan kakeknya dinobatkan sebagai raja dengan tarian Sining, pada 31 Juli 2018 menghadap Ilahi dengan usia 86 tahun.
Saksi mata itu sempat memberikan yang terbaik untuk daerahnya, dengan menghidupkan kembali Tari Sining, sebelum dia kembali ke Ilahi. Sosok pendidikan yang punya banyak ide ini, semasa hidupnya mengakui, paska pelarangan dari penjajah Jepang untuk tidak mengadakan upacara adat kerajaan, telah membuat kerajaan di Gayo hilang.
Kemudian memasuki masa Pemerintahan Indonesia, kerajan di Gayo sudah melebur dalam NKRI, dampaknya tari Sining tidak pernah lagi dipraktekan saat upacara resmi kerajaan. Kini tarian Sining yang hampir punah itu kembali dimunculkan agar tetap lestari. (Relis)