Ketika kopi dunia harganya turun, kopi Arabika Gayo harganya tetap stabil di pasaran 17 negara. Mengapa bisa? Kopi dari negeri dingin pegunungan Aceh ini, memang memiliki cita rasa unik dan kualitas terbaik.
Kopi arabika Gayo tetap menjadi idola para bayer dunia, karena aroma dan citarasanya yang khas. Kadang kala kopi Gayo dicampur oleh pelaku bisnis kopi dunia dengan kopi dari negara lain, tapi tetap menjaga kualitas dan aromanya.
Ciri khas kopi arabika Gayo belum tergantikan oleh produk kopi dari manapun di dunia ini. Maka tidaklah heran bila bupati di negeri penghasil kopi ini, selalu mempromosikan kopi dan kerap kedatangan tamu dari manca negara untuk melirik dan menikmati kopi arabika.
“Sejak kopi arabika Gayo resmi ditetapkan Uni Eropa sebagai produk pertama Indonesia dalam daftar Protected Geographical Indications (PGI) atau indikasi geografis terlindungi, kopi Gayo semakin dikenal dunia,” sebut Shabela Abubakar Bupati Aceh Tengah kepada Waspadaaceh.com, via selular, Senin (10/9/2018).
Promosi yang dilakukan Gayo (Aceh Tengah dan Bener Meriah) ke dunia luar, membuahkan hasil. Kini semakin banyak negara yang “memburu” kafein Gayo ini. Uni Eropa dan negara negara penikmat kopi dunia, sudah lama menjadikan Gayo sebagai rujukan mereka.
Gayo sudah memiliki PGI, yang selalu dideteksi oleh para penampung kopi di dunia. Pihak lain tidak bisa mengklaim kopi Gayo sebagai produk mereka. “Dari mana kopi itu berasal akan dapat dideteksi oleh para bayer di Uni Eropa dengan alat yang semakin canggih,” kata Shabela.
Beberapa varietas kopi Gayo sudah mendapatkan indikasi geografis dari Kemenkumham. “Selain itu ada beberapa koperasi di Gayo yang sudah memiliki sertifikat fair-trade, sehingga harga kopi Gayo di dunia tetap stabil, walau harga kopi di pasaran dunia anjlok,” sebutnya.
Shabela menjanjikan akan memperluas area buah merah dari taburan bunga putih yang semerbak mewangi ini. Bupati memiliki program membagikan tanah seluas 2 hektare untuk 1 kepala keluarga.
Bukan semua kepala keluarga akan mendapatkan “jatah” tanah dari bupati. Tanah untuk perkebunan kopi itu dikhususkan bagi kepala keluarga baru dan harus menekuni perkebunan kopi sebagai sumber hidupnya.
Tanah HPL itu akan dikembangkan untuk perkebunan kopi. Tentunya dengan kualitas kopi yang digemari dunia, Arabika Gayo. Catatan Waspada di dua kabupaten (Aceh Tengah dan Bener Meriah), area perkebunan kopi mendekati angka 100.000 hektare. Mayoritas milik masyarakat. Sementara di Gayo Lues, areal tanaman kopi ini tidak mencapai 10.000 hektare.
Mayoritas jenis kopi arabika. Rata –rata produksinya dalam setahun 700-800 kilogram/ hektare. Artinya ada kebun kopi yang terawat dengan baik, hasilnya melebihi dari rata rata itu, namun ada juga di bawah rata-rata.
Mengingat kopi, Shabela mengakui resah. Pasalnya, Gayo sedang menghadapi masa krisis kopi, bila tidak ditangani secara serius. Saat ini, banyak tanaman kopi yang sudah tua, perlu peremajaan. Selain itu kopi juga mulai terserang hama jamur akar.
Selain itu tingginya pajak kopi mengundang resah pengusaha. Untuk persoalan pajak ini, Shabela sudah mengirimkan surat ke Gubernur Aceh, agar persoalan pajak kopi ini disederhanakan. Artinya pajak yang dikenakan bukan dalam bentuk biji kopi, namun dalam bentuk kopi yang sudah diolah.
Mengenai peremajaan kopi, Shabela mengakui persoalanya pelik, bila masyarakat tidak “berjibaku” menyelesaikan persoalanya. “Jangan sempat ketika kopi tua tidak berbuah baru kita terkejut. Untuk itu perlu peremajaan, jangan sampai terlambat” sebutnya.
“Pemerintah menyediakan dana untuk peremajaan. Namun bila sepenuhnya mengharapkan bantuan pemerintah untuk peremajaan kopi, prosesnya akan lama. Bertahap, tidak sekaligus. Tentunya tidak seluruh area bisa diremajakan pula,” lanjut Shabela.
“Untuk itu petani jangan lalai dengan persoalan ini. Mereka harus berani melakukan peremajaan, sambil bertanam hortikultura. Sembari menunggu kopi yang diremajakan itu menghasilkan,” ujarnya.
Shabela menambahkan, pemangkasan kopi adalah upaya yang harus dilakukan. Petani tidak boleh takut melakukan pemangkasan. Kini sudah dibentuk Satgas pemangkasan kopi Gayo yang siap membantu petani, agar tanamanya produktif dan berkualitas, sebutnya.
Mengenai penyakit jamur akar, tentunya petani juga harus rajin membasminya. Pemerintah juga berupaya mengatasi persoalan jamur akar kopi dengan menyediakan obat obatan.
“Bila dalam satu area ada tiga pohon kopi terserang jamur akar kopi, baik jamur akar putih atau coklat, maka berpeluang seluruh wilayah itu akan terserang penyakit,” sebut bupati.
Tanaman pisang, nangka, jeruk, sudah terserang hama. Untuk itu kopi harus diselamatkan. Selain pembasmian jamur akar, juga harus dilakukan peremajaan, katanya.
Dengan adanya Gayo Alas Mountain International Festival (GAMIfest), kata bupati, bukan hanya menjual kopi Gayo dan budayanya agar semakin dikenal dunia, namun ada pemasukan ekonomi untuk rakyat, khususnya petani kopi.
Budaya Gayo, alam Gayo, hasil bumi Gayo bisa dijual untuk kemakmuran rakyat. Mayoritas rakyat Gayo menggantungkan harapan hidupnya pada kopi. Menjaga sumber hidup ini adalah sebuah perjuangan yang harus tetap dilakukan, kata Shabela mengakhiri penjelasannya. (Bahtiar Gayo-Waspada/LG01).