TUBUHNYA terbilang kecil, kurus. Rambut dan jenggotnya sudah memutih. Rakyat di Gayo Lut begitu mengenalnya. Bahkan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar melontarkan kelakar untuknya pada sambutan resmi malam keakraban atlet PORA ke- 13.
Dia hobi menyelempangkan kain sarung di pundaknya. Tulisannya bernas dan diperhitungkan. Selain ahli dalam menulis, khususnya feature dan indep, dia juga dikenal sebagai seniman Gayo yang ahli menuangkan kata kata. Bahkan bait bait kalimatnya, membuat pembaca mengernyitkan dahi. Berpikir apa arti dan makna syair syair Gayo yang kaya akan filosofi.
Dipenghujung sambutan Bupati Shabela, ketika dilangsungkan malam keakraban dengan para atlet PORA , bupati menyampaikan kalimat terahir dalam bahasa Gayo. “Ke ara laing ku lepas, so wih deras bubun penanute- Kalau ada kata yang salah, jadikanlah air yang deras untuk menghanyutkanya”.
Sambungan kalimat ini, sebut bupati, kita tanyakan pada orang yang suka memakai kain sarung. Bupati diam sejenak, kemudian melanjutkan kalimatnya. “ Siapa dia?” tanya bupati sambil memandang hadirin. Kemudian pertanyaan itu kembali dijawab Shabela “ Bahtiar Gayo”. Hadirin riuh, memberikan aplusan.
Bahtiar Gayo yang berdiri didekat penulis “kaget”. Dia ikut tertawa dengan pernyataan Bupati Aceh Tengah diantara riuhnya tepuk tangan. Pertanyaan bupati ditujukan kepada wartawan senior yang sudah mengantongi kompetensi utama ini, karena memang ia ahli dalam menyusun syair syair Gayo.
Syair syairnya yang dipublis di dunia maya, menjadi khazanah perbendaharaan kata kata Gayo yang sudah jarang didengar. Bahasanya halus, menyentuh. Demikian dengan tulisannya. Banyak dinanti oleh “penggemarnya”.
Dalam beberapa kegiatan, Bahtiar Gayo menyampaikan puisi dalam Bahasa Gayo. Bahkan M. Jihad, tokoh adat Gayo, yang ikut pada hari Pers di Gayo yang diselenggarakan PWI, ikut membahas syair syair karya wartawan ini, ketika menerima copian syiar “ Jinger” yang mengisahkan tentang kinerja wartawan.
Sepenggal syair “Jinger”
Kerna kao kin hariye
Nemah berite kin insen heme
Gelah selese mata munerah
Enti pengen canang semelah
Kerna kao munemah cerak
Enti kire surak enti kire serbak
Beperi keta kao lah bijak
Ke koa cacak heme begalak
Enti ku jih tason ko rara
Enti ku waih tunin ko poa
Kire kin sulih wih mumata
Lagu emun putih rangke kekata
Kalau persoalan kain sarung, wartawan Waspada yang gemar bermain catur ini, bagaikan sudah menjadi keseharianya. Kerap lelaki yang sering memberikan materi tentang jurnalitik ini, mengenakan kain sarung, bahkan dalam pesawat juga dia menyelempangkan kain sarung.
Bukan kainya sarungnya yang menjadi ukuran. Namun karya karya buah pikirannya yang dituangkan dalam tulisan menjadikan lelaki kurus ini menjadi perhatian. Semoga jejaknya banyak yang mengikuti, khususnya dalam merangkai kata sejuta makna.[] **Irwandi MN/Leuserantara.com