Oleh: RIFKI ANDRIAN*
Bener Meriah salah satu Kabupaten pemekaran dari Aceh Tengah pada tahun 2003. Kabupaten ini telah di pimpin oleh 3 kepala daerah, 2 kepala daerah sebelumnya terpidana kasus korupsi diputus oleh pengadilan atas penyidikan dan penyelidikan yang di lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan saat ini sedang menjalani hukuman. Pada tahun 2016 vonis 5 tahun oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Ruslan Abdul Gani kala itu sudah sebagai mantan Bupati Bener Meriah. Kedua tahun 2018 vonis 3 tahun terhadap Bupati non Aktif Bener Meriah Ahmadi oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
2 kasus yang divonis hakim Tipikor Jakarta itu, sampai saat ini belum mengubah pola pelayanan, transparansi, akuntabilitas publik dari Pemerintahan Daerah Bener Meriah dalam menjalankan dan mengelola kepemerintahannya.
Yang sudah seharusnya 2 peristiwa itu semakin menerangkan jika upaya mitigasi, pengawasan dan aturan masih dianggap lemah, bahkan mungkin sudah masuk dalam katagori buruk. Sayangnya momentum tersebut, sampai saat ini tidak menjadi pelajaran yang berharga, sehingga potensi-potensi tindak pidana korupsi masih memungkinkan terjadi.
Apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan rencana undur diri dan di klarifikasi 1 hari kemudian mengurungkan rencana tersebut oleh Bupati. Semakin menjadi tanda bahwa komitmen Kepala Daerah Bener Meriah terhadap pemberantasan korupsi semakin tidak jelas, mengawang dan gelap.
Tidak jelasnya aturan, belum adanya terobosan, hingga tidak transparansinya kegiatan pemerintahan Bener Meriah membuat masyarakat semakin apatis, bahwa pemberantasan korupsi di Bener Meriah semakin tidak tentu arah dan cenderung berpotensi mengulang sejarah kelam korupsi di Bener Meriah.
Ditambah lagi dengan pemenuhan hak masyarakat yang masih dinilai jauh dari kata layak, sebab terlalu banyaknya kepetingan oknum aktor politik. Yang terlihat ketika rencana dan pelaksanaan beberapa kegiatan pemutasian di lingkungan Pemerintahan Bener Meriah.
Tentu keadaan ini menimbulkan kecurigaan dan dugaan bahwa kepala Daerah masih mengedepankan kepentingan individu untuk menempatkan posisi pejabat lingkungan pemerintahan. Kondisi ini diperparah lagi dengan politik lokal yang telihat antara eksekutif dan legislatif di Bener Meriah tidak harmonis dan cenderung di duga berbenturan.
Menurut beberapa kajian ilmu politik, inilah yang disebut sebagai bentuk gagal dan belum optimalnya kepala daerah dalam mendesign komunikasi politik, pendekatan politik dan sikap politik antara kepentingan eksekutif dan kepentingan legislatif di daerah.
Apakah kedepan pemberantasan korupsi akan menjadi prioritas dan terjadi perubahan di Kabupaten Bener Meriah? Tentu pertanyaan ini sulit untuk dijawab, mengingat kondisi faktual pemerintahan di Bener Meriah belum terang dan jelas antara hulu dan hilir. Anehnya, masih ada aktifis anti korupsi yang seolah menciptakan narasi, bahwa Kepala Daerah Kabupaten Bener Meriah patut di apresiasi dan di dorong untuk bertahan.
Karena dinilai berkualitas, membangun dan lain sebagainya. Sayangnya pernyataan ini tak dibarengi dengan bukti dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kabupaten Bener Meriah.
Dari pengamatan penulis diatas, meyimpulkan bahwa agenda pemberantasan korupsi di Kabupaten Bener Meriah semakin sumir apalagi ketika perilaku masyarakat sebagai pengontrol sosial di politisasi.
Dinamika ini kami kira dapat menjadi dan mengambil pembelajaran yang berharga bagi pemerintahan Kabupaten Bener Meriah dan masyarakatnya. Upaya control sosial dapat menguat serta di jauhkan dari upaya politisasi.
Selain kesadaran oknum pemerintahan, juga masyarakat sipil harus lebih bisa menjadi mitra kerja dan pengawas kerja yang independen, jika Kepala Daerah Bener Meriah ingin memutus rantai tindak pidana korupsi di daerah yang sejuk dan indah ini.
* Penulis adalah Sekjen HIMABEM-SU